Kopi TIMES

Filsafat Keislaman dan Masa Depan Generasi Z

Minggu, 05 Mei 2024 - 11:17 | 27.67k
Abdul Mukti Ro’uf, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Abdul Mukti Ro’uf, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Belakangan, percakapan mengenai generasi Z membanjiri ruang-ruang diskusi publik baik yang tersaji secara populer maupun ditulis secara serius di berbagai jurnal ilmiah. Generasi digital yang oleh katagori Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall, (2004) lahir antara tahun 1995-2010 ini setidaknya memiliki enam karateristik: fasih teknologi (mahir dan gandrung akan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer), intens berinteraksi melalui media sosial dengan semua kalangan, Ekspresif dan cenderung toleran dengan perbedaan kultur dan sangat peduli dengan lingkungan, Multitasking. Mereka terbiasa dengan berbagai aktivitas dalam satu waktu yang bersamaan, fast switcher. Cepat berpindah dari satu pemikiran dan pekerjaan ke pemikiran dan pekerjaan lain, dan senang berbagi.

Dari banyak studi, terlepas dari keterampilan digital dan kreativitasnya, sebagian besar Generasi Z harus menghadapi tantangan unik dalam hidupnya. Yang kerap menghampiri generasi Z adalah permasalahan kesehatan mental dan emosional. Studi Jean M. Twenge dalam buku iGen: Why Today's Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy and Completely Unprepared for Adulthood (2017), laporan mengenai tingkat stres dan kecemasan Gen Z lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Permasalahan Gen Z ini tercermin dalam tiga ranah: kesehatan mental, tekanan prestasi, dan isu lingkungan. Generasi Z merasa terbebani dengan tekanan untuk berhasil secara akademis dan profesional. Seemiller dan Grace dalam buku Generation Z: A Century in the Making (2019) mencatat bahwa umumnya generasi Z sering berfokus pada bagaimana meraih kesuksesan dan prestasi. 

Harapan tinggi ini dalam batas-batas tertentu dapat menekan mental dan menimbulkan stress. Kabar tentang perubahan iklim yang mengancam dunia juga mnejadi bagian dari kecemasan generasi ini. Begitu juga dengan tantangan dunia kerja/bisnis yang tidak stabil menjadi bagian dari tantangan generasi ini. Era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity) telah menciptakan lanskap bisnis yang penuh ketidakpastian dan perubahan mendalam. Tantangan tersebut mencakup perubahan teknologi yang cepat, pergeseran perilaku konsumen, dan fluktuasi ekonomi global.

Dengan karakteristik dengan keunikan Generasi Z dan seluruh tantangannya di masa depan, bagaimana perspektif filsafat keislaman memandang fenomena ini?

Manusia, Agama, dan Teknologi

Manusia, pada level apapun generasinya, pertama-tama harus dipotret secara ontologis agar dapat melintasi fase sejarah hidupnya. Perspektif ontologis ini tidak lagi membatasi apakah berada di level generasi Baby Boomers (lahir 1946-1964), Generasi X, (lahir 1965-1980), (Generasi Y atau Millenial, (lahir 1981-1994), atau Generasi Z, (lahir 1995-2010). Kamera ontologis juga dapat melampaui fase sejarah pengetahuan manusia dari pengetahuan primitif hingga era positivisme yang kini sedang berada di era informasi teknologi.

Menurut Plato, ilmu pengetahuan atau filsafat merupakan dasar untuk mencapai kebahagiaan sejati. Oleh karena itu, perkembangan teknologi juga harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat secara umum. Sementara Al-Ghazali menekankan bahwa teknologi harus digunakan secara etis dan bertanggung jawab untuk membawa manfaat dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat tanpa merugikan orang lain atau lingkungan. Jadi, secara teoritis dan etis, ilmu pengetahuan dan teknologi harus berdampak pada kebahagiaan manusia. Jika yang terjadi sebaliknya, semisal kecemasan manusia maka upaya mengoreksi jalan pikiran menjadi keharusan. 

Dalam kerangka pikir modern, ilmu dan agama seringkali bagaikan minyak dan air. Kendati keduanya berpotensi bicara tentang realitas, masing-masing mempunyai dasar sudut pandang yang berbeda. Dalam kenyataan, keduanya bahkan bisa terasa saling menafikan. (Bambang Sugiarto: 2005). Sebagai contoh, jika prestasi dan kesuksesan dimaknai secara modern dalam pengertian materialistik, maka sejatinya seseorang tengah terjebak pada makna ontologis manusia sebagai makhluk yang serba-zat. Maksudnya, manusia dipahami sebagai “makhluk materi” semata dimana kebahagiaan bertumpu pada hal-hal yang bersifat bendawi. Harapan tinggi tentang prestasi dan kesuksesan yang menghantui generasi Z, jika dimaknai sebagai “kesuksesan bendawi” akan menjadi bagian dari tekanan mental dan berujung pada kesehatan mental (mental healt).

Dalam filsafat Islam, secara ontologis, manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan mengharmonisasikan tiga dimensi yang melekat pada dirinya: badan, akal, dan ruh. Kemajuan, kebahagian, dan kesempurnaan manusia bergantung pada keselarasan dan keharmonisan ketiganya. Doktrin Islam tidak menerima materialisme yang tersisih dari ruh. Atau sebaliknya, spiritualitas yang menjauh dari materi. Keduanya bersenyawa.

Kecemasan yang menghantui manusia, termasuk kecemasan Generasi Z akan masa depannya seringkali diukur dari skala derajat yang lebih rendah, bendawi. Padahal, “dimensi benda” adalah salah satu dimensi yang segera ditinggal dalam batas ruang dan waktu. Kecemasan yang dilatar belakangi justru oleh peralatan teknologi dan imajinasi kesuksesan dan prestasi serba-zat (materi) adalah kecemasan yang kurang dibimbing oleh dimensi manusia yang utama: akal dan ruh (jiwa). Filsafat Islam sejak awal menawarkan doktrin kebahagian manusia yang harus bertumpu pada kolaborasi antara hikmah (filsafat)/ilmu pengetahuan dan agama (syariah) sebagaimana diingatkan oleh Ibn Rusyd: filsafat dan agama adalah “saudara sesusuan” yang senantiasa membimbing manusia menuju kesuksesan sejati yang melintasi sukses bendawi.

Al-Farabi, seorang filsuf Islam terkenal abad ke-9, memandang bahwa teknologi harus dirancang untuk melayani tujuan etis dan mempromosikan kebahagiaan manusia. Al-Farabi percaya bahwa teknologi yang dikembangkan dan digunakan dengan baik dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Namun, pemanfaatan teknologi harus dilandasi oleh etika dan nilai-nilai agama Islam. Ia menekankan pentingnya membangun masyarakat yang adil, harmonis dan penuh kebajikan. Menurutnya, teknologi tidak hanya dilihat sebagai alat praktis, tetapi juga memiliki dimensi moral yang penting. Teknologi harus digunakan dengan cara yang membantu membangun masyarakat yang baik, mempromosikan nilai-nilai etika, dan mencapai tujuan moral. 

Maka, dari sudut pandang filsafat Islam, Generasi Z, apapun keunikan dan tantangannya, ia tidak bisa melepaskan dirinya sebagai “manusia ontologis” yang memiliki tanggung jawab mulia: membangun peradaban sebagai “khalifah” di muka bumi sebagai kodrat yang tidak bisa ditepikan untuk tujuan kebahagiannya sendiri. Dan tidak ada kebahagian sejati yang bertumpu pada dimensi material. Kecemasan yang meliputi generasi Z akibat karakter yang melekat pada dirinya dan berbagai tantangan yang kompleks pada masa depannya sejatinya bagian dari “takdir historis” yang tidak bisa ditolak. Kunci mengatasinya adalah dengan mempertimbangkan dimensi etis sebagai peralatan pengetahuan yang bertumpu pda orientasi paling jauh: Tuhan.

***

*) Oleh : Abdul Mukti Ro’uf, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES