Glutera News

Mengenal Survivorship Bias dalam Hidup, Apa Itu?

Rabu, 07 Februari 2024 - 07:42 | 60.86k
Ilustrasi
Ilustrasi

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Anda pasti tahu para selebritis atau selebgram yang sukses ?

Foto atau video yag ditampailkan lebih ke unsur kekayataan. Memang otomatis kisah hidupnya akan menjadi bahan motivasi banyak orang.

Nah, sebenarnya gak ada salahnya menjadikan mereka motivasi dalam menemukan arti sukses, kok. Asalkan cara pandang kita tentang sebuah proses menuju sukses itu tetap benar.

Ada orang yang beranggapan bahwa hidup enak dan kaya raya itu berarti harus jadi pengusaha. Pengusaha yang seakan bisa kerja semaunya hingga punya penghasilan 10 kali lipat dari pekerja kantoran.

Bahkan, ada yang beranggapan “Kenapa harus kuliah, kalo lulusan SMA juga bisa sukses?” Padahal, pola pikir semacam itu bisa jadi menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki tendensi survivorship bias. Cara pandang ini yang dapat membuat mereka tidak mampu melihat realitas secara keseluruhan.

Apa itu Survivorship Bias? 

Survivorship bias atau bias bertahan hidup adalah pemikiran yang cenderung hanya fokus pada keberhasilan dan mengesampingkan kegagalan. Misalnya, seseorang yang punya pemikiran ini melihat pengusaha sebagai sebuah profesi yang menjanjikan. 

Akibatnya, mereka lebih fokus pada para pengusaha yang sukses sebagai gambaran keseluruhan kelompok. Di sisi lain, banyak orang-orang yang gagal atau bangkrut menjadi seakan tidak terlihat.

Pemikiran ini termasuk dalam logical fallacy atau kesalahan logika berpikir. Model berpikir seperti “Kalau mereka bisa, aku juga pasti bisa” ini punya dampak yang negatif. Menurut Psikolog dari Inggris, Eva M. Krockow, cara berpikir tersebut membuat seseorang sulit melihat tingkat keberhasilan secara keseluruhan.

Melansir The Decision Lab, survival bias paling banyak terjadi dalam dunia bisnis. Motivasi-motivasi tentang kesuksesan komersial juga berpotensi mendistorsi persepsi seseorang. Mereka mungkin berharap bisa menjadi orang sukses seperti Bill Gates. 

Tapi, mereka justru mengabaikan tentang kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi. Padahal, faktor kesuksesan Bill Gates ini bisa sangat kompleks yang nggak hanya terdiri dari ide-ide cemerlang, tetapi keberanian untuk menjadi berbeda dari lainnya.

Contoh Kasus 1: Pesawat Perang Dunia II

Salah satu contoh kasus paling populer dari survivorship bias terjadi selama Perang Dunia II. Pada saat itu, militer Amerika Serikat berusaha memperkuat pesawat terbang pengebom atau bomber dengan mengevaluasi kerusakan pada unit yang kembali dari misi.

Mereka memeriksa dan menemukan bahwa bagian sayap pesawat yang berhasil kembali ke pangkalan penuh dengan lubang tembakan. 

Akhirnya, mereka menyimpulkan bagian tersebut harus diperkuat agar pesawat-pesawat tidak jatuh tertembak musuh pada misi berikutnya.

Namun, Abraham Wald, matematikawan dan ahli statistik dari Columbia University, menyadari bahwa pandangan insinyur dari militer AS ini termasuk survivorship bias. Wald menyarankan agar pesawat diperkuat pada bagian-bagian yang tidak ada bekas tembakan, yakni pada bagian kokpit, lambung, buritan, dan mesin pesawat.

Ini lantaran unit pesawa yang tidak terbang kembali ke pangkalan mungkin telah jatuh dan tertembak pada bagian-bagian tersebut.
Mengabaikan pesawat-pesawat yang hilang dalam evaluasi tentu berpotensi mengarah pada pengambilan keputusan yang fatal.

Contoh Kasus 2: Review Buku

Beberapa dari kita mungkin akan membaca resensi atau ulasan buku sebelum membeli buku tersebut. Menurut Nassim Nicholas Taleb, penulis buku Fooled By Randomness, mengatakan bahwa membeli buku berdasarkan review orang lain menjadi salah satu bentuk survivorship bias. Pembeli jadi terpengaruh dengan review dari sisi terbaik sebuah buku.

Contoh Kasus 3: Media Informasi

Rasa-rasanya hampir tidak mungkin ada media informasi yang mewawancarai salah seorang pengusaha yang bangkrut. Atau aktor yang tidak berhasil lolos casting film. Banyaknya kegagalan seperti itu sering kali tidak menarik untuk dilihat.

Dalam semua pemberitaan media, lebih menarik untuk meliput para tokoh yang sukses dengan bisnisnya atau aktor yang berhasil Go International. Sering kali kisah-kisah kesuksesan ini dibarengi oleh cerita tentang pengorbanan dan usaha keras mencapai itu.

Meski menarik, Taleb menekankan potensi adanya kesalahpahaman pada perspektif penonton terhadap kesuksesan. Lantaran, jenis-jenis cerita hidup ini dapat membuat penonton merasa wajib mengikuti jejak yang persis sama agar bisa sukses.

Dampak Survivorship Bias

Survivorship bias dapat menimbulkan dampak negatif pada berbagai aspek kehidupan Anda. Berikut adalah beberapa contohnya.

Penilaian yang tidak akurat

Kesalahan berpikir ini menyebabkan penilaian yang tidak akurat karena Anda hanya mempertimbangkan pengalaman dari orang-orang yang sukses. Ini bisa membuat Anda berpikir terlalu positif atau optimistis.
Sebagai contoh, Anda banyak mendengar cerita orang yang mendapatkan untung besar dari saham. Alhasil, Anda terlalu optimistis bisa mendapatkan keuntungan yang sama karena banyak orang telah mengalaminya.

Pandangan yang tidak realistis

Melihat gambaran orang lain yang berhasil dapat menimbulkan kecemasan dan ketidakpuasan pada diri sendiri. Hal ini bisa meningkatkan risiko gangguan mental, seperti stres dan depresi.

Pengambilan keputusan yang tidak tepat

Beberapa keputusan yang diambil berdasarkan survivorship bias membuat Anda “buta” pada kemungkinan adanya tantangan. Contohnya, Anda percaya bahwa suatu usaha dengan modal kecil bisa menghasilkan untung besar.
Ini membuat persiapan Anda jadi kurang memadai sehingga Anda lebih rentan mengalami kegagalan.

Pengembangan diri yang terhambat

Terjebak dalam bias bertahan hidup bisa menghambat pengembangan diri karena Anda hanya terinspirasi oleh keberhasilan orang lain tanpa memahami tantangan dan kegagalan yang juga dialaminya.
Akibatnya, Anda tidak memahami bagaimana cara menghadapi kegagalan dengan baik. Hal ini tentu bisa berdampak besar bagi banyak aspek kehidupan Anda.

Cara Mengatasi Survivorship Bias 

Pahami kelemahan dan kekurangan diri

Nah, hal yang pertama-tama harus dilakukan adalah mengenali diri sendiri. Kita mungkin punya impian menjadi seperti tokoh A atau tokoh B, namun yang sebenarnya perlu diperhatikan adalah potensi dan kekurangan kita. Memahami kekurangan itu penting agar kita bisa memperbaiki dan melakukan segala antisipasi.

Dengan memahami diri sendiri, tentunya kita jadi mudah menentukan tujuan dan menentukan langkah-langkah selanjutnya yang perlu dilakukan. Jadi, meskipun ada yang mengatakan “Gak perlu nilai bagus, yang nilai jelek juga banyak yang sukses”, kita tidak akan terpengaruh. Lantaran, kita tahu goals apa yang kita inginkan dan bagaimana kita bisa mencapainya.

Pertimbangkan data secara menyeluruh

Selanjutnya, pertimbangkan data yang tepat supaya kita bisa mengambil keputusan yang sempurna. Ketika terbiasa melihat segala sesuatu dengan sudut pandang luas, ini akan menghindarkan kita dari kegagalan. Dengan begini, kita juga bisa mempertimbangakan segala kondisi yang mungkin terjadi. So, kita bisa punya amunisi lebih dalam mempersiapkan perjalanan menuju kesuksesan.

Selalu bersikap kritis dan skeptis

Sadari bahwa setiap orang rentan pada survivorship bias. Anda mungkin lebih mudah terfokus pada kesuksesan dan kerap kali mengabaikan kendala yang ada di baliknya.

Ketika mendengarkan cerita keberhasilan orang lain, sesekali Anda perlu bersikap kritis dan bahkan skeptis dalam menilai kendala dan rintangan yang mungkin terjadi.

Tanyakan berulang kali pada diri sendiri

Sebelum benar-benar mengambil keputusan, tanyakan berulang kali pada diri Anda, “Apakah saya sudah melihat semua sudut pandang? Apa ada risiko dan tantangan yang saya abaikan?”

Pertanyaan tersebut dapat membantu Anda mengatasi survivorship bias serta memastikan bahwa pengambilan keputusan Anda telah didasarkan pada gambaran yang lebih luas.
Dengan menjadi pemikir yang kritis dan selalu berusaha melihat dari berbagai perspektif, Anda bisa terhindar dari jebakan bias kebertahanan.

Perluas Lingkungan Pergaulan

Punya lingkungan pergaulan yang luas memberikan banyak hal positif. Dengan mengenal dan membangun komunikasi dengan banyak orang, ini bisa membantu memperluas pengetahuan tanpa membaca buku. Punya teman-teman yang satu frekuensi pasti seru. Bisa saling bertukar pikiran dan memberi masukan. (*) 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Khoirul Anwar
Publisher : Rifky Rezfany

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES