Pendidikan

Apa Kewajiban Ahli Waris dari Tersangka Kasus Korupsi yang Meninggal? Begini Penjelasan Dosen Hukum

Sabtu, 27 April 2024 - 18:16 | 21.13k
Dosen Hukum UMM, Radhityas Kharisma Nuryasinta, S.H., M.Kn. (Istimewa)
Dosen Hukum UMM, Radhityas Kharisma Nuryasinta, S.H., M.Kn. (Istimewa)

TIMESINDONESIA, MALANG – Ketika seorang meninggal, maka harta benda yang dia miliki akan menjadi hak dari ahli waris. Namun, yang akan turun pada ahli waris tak hanya berupa harta, tetapi juga tanggungan pewaris semasa hidupnya. Lantas bagaimana jika seorang yang meninggal itu merupakan tersangka kasus korupsi, dan mempunyai kewajiban mengembalikan aset negara, namun belum bisa terpenuhi?

Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Radhityas Kharisma Nuryasinta, S.H., M.Kn. menjelaskan, utang atau tanggungan seseorang yang meninggal juga menjadi kewajiban bagi ahli waris.

"Jadi tidak hanya mendapatkan aset, ahli waris juga bisa diwariskan utang oleh pewaris termasuk mengembalikan aset negara jika pewaris dinyatakan sebagai koruptor,” ucapnya.

Namun, lanjut Tyas, ahli waris yang ditinggalkan tidak akan tiba-tiba dimintai pertanggungjawaban terkait aset negara yang belum memiliki putusan pengadilan. Pewaris harus dipastikan betul bahwa ia merupakan terpidana koruptor dan aset yang dimiliki adalah aset negara. Setelah putusan pengadilannya jelas, barulah kemudian dicari aset-aset negara yang memang wajib dikembalikan.

Ketika meninggal, kewajiban seorang koruptor tidak akan terhapus. Kewajibannya ini akan turun atau diwariskan ke ahli waris. Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan melakukan gugatan terhadap ahli warisnya terkait jumlah aset yang harus dikembalikan oleh ahli waris. Inilah alasan mengapa tindak korupsi disebut sebagai extraordinary crime atau kejahatan yang luar biasa.

“Selain merugikan negara, korupsi juga merusak moralitas bangsa. Sehingga harus ada sanksi yang tegas sekalipun pelaku yang menjadi pewaris sudah meninggal,” jelasnya.

Secara umum dia menjelaskan, bahwa hukum pewarisan yang berlaku di Indonesia ada tiga jenis, yaitu hukum waris barat, hukum waris Islam dan hukum waris adat. Ketiga jenis ini masih berlaku karena faktor masyarakat Indonesia yang multikultural. Sehingga dengan adanya pluralisme masyarakat Indonesia, hukum waris ini adalah pilihan hukum.

Tyas menjelaskan bahwa masyarakat boleh memilih ingin menggunakan hukum waris adat, hukum waris islam atau hukum waris barat. Hukum pewarisan ini tidak seperti Undang-Undang Dasar (UUD), serta Undang-Undang tindak pidana korupsi (UU Tipikor) yang memiliki hukum yang jelas.

Sumber hukum waris barat adalah Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalau hukum waris Islam jelas bersumber dari Alquran. Sedangkan hukum waris adat, sesuai dengan tempat adat tersebut masih berlaku, seperti adat Minang, adat Batak, Bali, Jawa, dan lainnya.

Unsur dari pada hukum waris ada tiga, yaitu pewaris atau pihak yang meninggalkan warisan, ahli waris yang menerima warisan dan objek. Pewarisan akan terbuka ketika pewaris meninggal. "Selain aktiva seperti pendapatan berupa tanah, rumah dan aset lainnya, ada juga peninggalan pasiva seperti utang, tanggungan biaya rumah sakit, biaya pemakaman yang juga merupakan harta waris," pungkasnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES