TIMESINDONESIA, MADURA – Gus Yaqut, Sang Menteri Agama RI yang gesit dan berani ini, lagi-lagi menunjukkan taringnya di hadapan Masyariq Arab Saudi. Dengan lantang Gus Yaqut mengatakan, "jangan pernah bicara kompensasi dengan saya. Dan saya tak akan makan sebelum jamaah makan."
Kelugasan Gus Yaqut, bukan saja menandakan keharuan dari dan untuk kemaslahatan jamaah. Lebih dari itu, Gus Yaqut, seperti kibarkan filosofi luhur Madura, "lebbi begus pote tolang katembeng pote mata." Ya, putih tulang tak akan terlalu terlihat. Masih (bisa) tersembunyi. Tapi putih mata, akan selalu terang seketika. Putih mata, identik sebagai penakut, ciut, tak bernyali, dan kehilangan keberanian. Terlebih sebagai lelaki, dalam tradisi luhur Madura, pikir dan moralitas kesatria, merupakan sikap utama yang tak bisa ditawar.
Menjaga mata tetap "hitam," adalah prinsip. Sehingga kita tetap bisa sehat dan obyektif melihat, mencerna, dan menyikapi dinamika sosial yang terjadi. Dengan mata tidak "putih" atau pudar, masih meminjam tradisi luhur Madura, tiap pribadi terjaga keberaniannya.
Keberanian adalah wujud dari ketegasan, kelugasan, kecerdasan, dan keperkasaan. Keberanian akan selalu muncul dan tertransformasi dari eksistensi diri yang integralistik, diri yang "tidak retak." Diri yang tahu dan sadar betul akan posisi dan kebenaran yang diyakini. Dari sini, keberanian jelas tak bisa disamakan dengan kenekatan.
Nekad itu tindakan yang sering lepas dari "kalkulasi" dan nalar serta prinsip kebenaran. Banyak masyarakat menyebutnya "ngawur" dan sembrono, tanpa racikan logika, nalar, dan tatanan kebenaran. Sebaliknya, keberanian, terkonstruksi dari logika, nalar, dan prinsip kebenaran. Sehingga mengedepankan kalkulasi yang matang, pencermatan obyektif, tepat ruang, dan tindakan efektif.
Dalam fenomena kroditnya pengaturan jamaah haji Indonesia di Armuzna, Gus Yaqut meneladankan konstruksi keberanian. Meluapkan fakta dengan penuh lantang. Tak peduli lagi popularitas, baik sebagai Menteri Agama RI atau pun Ketua Umum GP ANSOR. Terlebih realitas Armuzna itu menyangkut hak jamaah. Dan seperti kata Gus Yaqut berulangkali, "membela dan memperjuangkan hak itu harus diutamakan. Apalagi menyangkut hak jamaah. Bahkan nyawa pun mesti dipertaruhkan demi hak."
Sebagaimana filosofi keberanian dalam tradisi Madura, ketika menyangkut hak yang diambil pihak lain, taruhannya adalah nyawa. Hak itu akan dikejar sampai dapat. Hak itu wajib diikatkan kembali pada diri. Karena kehilangan hak, ada korelasinya dengan "lunturnya" martabat diri. Lebih-lebih, Gus Yaqut merupakan Amirul Haj, yang di pundaknya akuntabilitas senantiasa terpancang.
Keberanian Gus Yaqut, adalah wujud sikap keumatan dan kebangsaan. Terutama sebagai Amirul Haj, Menteri Agama RI, dan mewakili martabat bangsa Indonesia. Patut diapresiasi dan diakumulasi oleh kita masyarakat Indonesia. Sehingga Masyariq Arab Saudi betul-betul aspiratif, akomodatif, investigatif dan edukatif menyelesaikan kroditnya Armuzna baik untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Kurang elok kita terjebak pada pro-kontra terhadap keberanian Gus Yaqut. Apalagi, demi membela hak jamaah, Gus Yaqut seakan tidak menghiraukan lagi sebagai tamu umat Arab sekaligus Tamu Allah. Sebab kebenaran hak harus diletakkan seproporsional mungkin, tidak boleh diabaikan hanya posisi diri sebagai tamu. Kebenaran tetap kebenaran. Ia bersifat universal, tidak terjepit oleh ruang dan waktu.
Protes keras Gus Yaqut kepada Masyariq Arab Saudi, seyogiyanya dibaca dan ditempatkan, minimal pada dua garis. Pertama, ia bentuk pengembanan amanah dari jamaah dan bangsa Indonesia. Karena itu, tak baik kita malah mendistorsi dalam ruang sosial dan leveling kebijakan. Apalagi melibatkan "tendensi" destruktif, atau "negative thinking" yang kebablasan.
Kedua, keberanian Gus Yaqut merupakan "ibrah hasanah" dalam konteks pelaksanaan keberhajian. Ini harusnya dikawal secara kolektif sebagai diplomasi kebangsaan. Apalagi Indonesia selalu mengirimkan jamaah haji terbilang banyak (besar). Sehingga Masyariq Arab Saudi tidak menempatkan Indonesia semata "obyek bisnis" urusan haji. Lebih dari itu, mengikat Indonesia sebagai sahabat, keluarga, dan "tim kerja" tersendiri tiap musim haji. Sebab keberanian, simbol dari kejujuran, pertanggungjawaban dan fitrah kemanusiaan.
***
*) Oleh: Masmuni Mahatma, Putra Madura Asli.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Khoirul Anwar |
PLN Mobile Proliga 2025, Samator Kunci Juara Tiga Usai Bekuk Bank Sumsel
Harmoni Budaya, Religi dan Ekonomi dalam Festival Jogokariyan 2025 Kota Yogyakarta
Jalur Seleksi Mandiri UNAIR Tahun Akademik 2025 Sudah Dibuka, Ini Syarat dan Jadwalnya
Laga Arema FC vs Persik: Ditonton 2.850 Aremania, Diamankan 2.113 Personel Gabungan
Lewat Talent DNA, Khofifah Dorong Kader Muslimat NU Jadi Motor Organisasi Adaptif
Seminar Pekikan Sastra 2025, Fakultas Sastra UM Angkat Isu Kesetaraan Gender
Festival Perak Kotagede 2025 di Kota Yogyakarta, Kolaborasi Apik Tradisi dan Inovasi
Bethesda Heritage Fun Run 2025, Ribuan Peserta Lari Sambil Napak Tilas Sejarah Yogyakarta
Kunjungi Pendidikan Karakter Panca Waluya, Kak Seto Pastikan Hak Anak Tetap Terlindungi
Bungkam Arema FC, Persik Kediri Akhiri Puasa Kemenangan Sekaligus Jaga Rekor Positif