Cek Fakta

Jelang Pemilu 2024, Hoaks Politik Meningkat Tajam

Jumat, 02 Februari 2024 - 12:31 | 42.91k
Ilustrasi Lawan Hoaks. (Foto: Agung Sedana for TIMES Indonesia)
Ilustrasi Lawan Hoaks. (Foto: Agung Sedana for TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) menemukan 2.330 hoaks selama 2023. Sebanyak 1.292 di antaranya merupakan hoaks politik. Jumlah hoaks politik tersebut naik dua kali lipat dibandingkan musim Pemilu 2019 sebanyak 644. 

Persentase hoaks politik tahun 2023 sebanyak 55,5% yang ditemukan Mafindo, selain menjadi yang tertinggi, juga memosisikan hoaks politik kembali mendominasi topik hoaks pasca 2019. 

Advertisement

Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho menjelaskan, pada masa pandemi, hoaks politik sempat turun rata-rata di bawah 33%. Menurutnya, masifnya hoaks politik mengganggu demokrasi di Indonesia, mengacaukan kejernihan informasi, dan dapat mengajak orang menolak hasil pemilu. 

"Karenanya upaya komprehensif perlu dilakukan untuk mencegah dan menangani hoaks untuk menjaga kedamaian Pemilu 2024," kata Septiaji dalam keterangan tertulis yang diterima TIMES Indonesia, Jumat (2/2/2024). 

Hoaks Politik Terbanyak di Youtube

Berdasarkan data Litbang Mafindo, platform Youtube menjadi tempat ditemukan hoaks terbanyak 44,6%, diikuti oleh Facebook (34,4%), Tiktok (9,3%), Twitter atau X (8%), Whatsapp (1,5%), dan Instagram (1,4%).

Septiaji menyampaikan, dominasi konten hoaks berupa video menjadi tantangan besar bagi ekosistem periksa fakta, karena konten hoaks video cepat sekali viral karena sering dibumbui dengan elemen yang emosional. 

"Sedangkan upaya periksa fakta konten video membutuhkan proses yang lebih lama ketimbang foto atau teks,” terang Septiaji.

Menjelang pemungutan suara pada Pemilu 2024, konten yang dibuat dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) pun sudah muncul, seperti video deepfake pidato Presiden Jokowi dengan bahasa Mandarin, maupun rekaman suara Anies Baswedan dan Surya Paloh yang dibuat dengan AI.

Ketua Komite Litbang Mafindo, Nuril Hidayah yang akrab disapa Vaya, menjelaskan yang membedakan hoaks pada Pemilu 2024 dan Pemilu 2019 adalah dominasi konten video.
 
“Pada Pemilu 2019, hoaks kebanyakan  berupa adalah foto atau gambar,” ujar Vaya. 

Dia mengakui hal ini menjadi tantangan pemeriksa fakta. Proses periksa fakta konten video lebih rumit dan lama, dan bisa mengaduk-aduk emosi. “Terlebih konten hoaks yang dibuat menggunakan AI, tidak mudah untuk bisa mendapatkan kesimpulan apakah itu hoaks atau bukan,” ujarnya.

Semua Kandidat Kena Hoaks Politik

Semua calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menjadi sasaran utama hoaks politik. Hoaks tentang mereka ada yang bernada positif (melebih-lebihkan kandidat), sebagian bernada negatif (yang menyerang atau memfitnah kandidat).

Anies Baswedan menjadi kandidat yang paling banyak tersebut dalam narasi hoaks, sebanyak 206 bernada positif, dan 116 bernada negatif. Selanjutnya Ganjar Pranowo (63 positif, 73 negatif), Gibran Rakabuming Raka (12 positif, 74 negatif), Prabowo Subianto (28 positif, 66 negatif), Moh. Mahfud Md (44 positif, 5 negatif), dan Muhaimin Iskandar (17 positif, 5 negatif).

Septiaji mengatakan konten hoaks politik itu masih didominasi saling serang antarpendukung kandidat. Sedangkan tingkat polarisasi dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjelang Pemilu 2024 ini tidak setinggi dibandingkan Pemilu 2019  dengan capres head-to-head Joko Widodo dan Prabowo. 

“Namun, jika pilpres masuk ke putaran kedua, perlu diwaspadai peningkatan hoaks dan ujaran kebencian yang menggunakan isu SARA,” ujar Septiaji.

Septiaji menyebut topik hoaks yang paling banyak ditemukan adalah dukungan/pengakuan kepada kandidat (33,1%), diikuti isu korupsi (12,8%) dan penolakan terhadap kandidat (10,7%), dan karakter atau gaya hidup negatif kandidat (7,3%). Sedangkan isu kecurangan pemilu sebesar 5% dan isu SARA 3,9%.

Septiaji mengatakan, isu kecurangan pemilu harus disikapi dengan sangat serius oleh penyelenggara pemilu. Karena isu tersebut yang diprediksi meningkat tajam setelah hari-H (14 Februari 2024), dan berpotensi membuat orang menolak hasil pemilu dan memantik keonaran.

"Kami sudah menemukan beberapa konten hoaks yang mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu seperti hoaks mobilisasi ODGJ (orang dengan gangguan jiwa), hoaks sistem teknologi informasi (TI) KPU, dan isu keberpihakan penyelenggara pemilu,” imbuh Septiaji.

Upaya menangani hoaks tidak cukup dengan melakuan fact checking atau pemeriksaan fakta. Septiaji memandang sangat penting upaya pencegahan dalam bentuk vaksinasi informasi atau prebunking. Caranya dengan menyajikan konten yang bisa mengedukasi publik sehingga memiliki kekebalan atau imun kuat saat terpapar hoaks.

Kolaborasi Hadang Hoaks Politik

Saat ini, kata Septiaji, Mafindo bekerja sama dengan Bawaslu RI dan Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Disinformasi Pemilu 2024 yang terdiri atas 20 organisasi masyarakat sipil, serta koalisi Cekfakta.com dengan 25 media online dan Koalisi DAMAI dengan 11 organisasi, berkolaborasi mengadang hoaks Pemilu 2024. 

Kolaborasi tersebut berupa monitoring, pelaporan, dan penanganan hoaks yang sedang dilakukan. Selain itu, koalisi juga memproduksi konten prebunking atau pencegahan hoaks pemilu terutama dalam bentuk video.

“Kolaborasi ini perlu terus diintensifkan dengan melibatkan platform digital, penyelenggara pemilu, pemerintah, dan warganet,” ujar Septiaji. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES