Alat Pertanian Modern Ancam Mata Pencaharian Buruh Tani di Perkampungan

TIMESINDONESIA, PANGANDARAN – Alat pertanian modern tidak selalu menguntungkan masyarakat kecil. Bagi buruh tani di perkampungan, kemajuan teknologi menjadi ancaman mata pencaharian.
Bahkan dengan kemajuan teknologi pertanian bisa menggerus tradisi masyarakat lokal dalam bergotong royong saat bertani, yaitu antara petani sebagai majikan pemilik lahan sawah dengan buruh tani yang menggantungkan hidupnya menjadi buruh.
Advertisement
Sebelum tahun 1975, tradisi lokal di Pangandaran saat musim panen padi menjadi harapan penyambung rezeki bagi buruh tani dengan mengikuti panen yang disebut gacong. Sedangkan, di musim tanam buruh tani mengikuti tandur atau proses tanam.
Salah satu warga Pangandaran Anton Sugandi yang akrab disapa Aki Atong mengatakan, modernisasi alat pertanian telah menghapus gotong-royong dan mengancam mata pencaharian masyarakat kecil.
"Musim panen yang biasanya menjadi harapan penyambung nafkah buruh tani kini terancam dengan adanya mesin perontok padi," kata Aki Atong.
Biasanya saat musim gacong padi hasil panen dibagi antara majikan pemilik sawah dengan jatah 6 rantang, sedangkan buruh tani mendapat satu rantang.
"Tradisi enam berbanding satu tersebut sudah berjalan sejak lama secara turun temurun," tambahnya.
Secara teknis dalam perlakuan padi dari mulai pemotongan hingga menjadi beras antara zaman dulu dengan sekarang banyak perbedaan.
"Pemotongan dulu ukurannya dua jengkal ke bawah dari biji padi menggunakan etem atau aniani," terang Aki Atong.
Pemotongan juga dilakukan dalam satu genggaman tangan orang dewasa dengan sebutan istilah sapocong yang lalu diikat menggunakan tali dari bambu.
"Ikatan sapocong tersebut lalu disatukan dengan sapocong lainnya dengan sebutan sagedeng," papar Aki Atong.
Aki Atong menjelaskan, pocongan tersebut dijemur menggunakan bambu yang membentang di tempat yang panas dengan kondisi berjajar. "Jika sudah terjemur maksimal, padi yang masih ada dalam tangkai kekuatannya mencapai lima tahun," jelasnya.
Sedangkan proses dari padi menjadi beras biasanya melalui tradisi ngagondang.
"Alay gondang terdiri dari sebuah tongkat yang terbuat dari kayu dengan sebutan halu berukuran panjang 2,5 meter dan ada yang disebut lisung sebuah tempat dari kayu yang dijadikan untuk tempat padi," sambung Aki Atong.
Sekitar tahun 1975, kata Aki Atong, mulai ada guller yang biasanya disebut oleh orang kampung dengan sebutan heler. "Sejak ada guller, tradisi gotong-royong bertani mulai terkikis dan mata pencaharian buruh tani pun mulai berkurang," tambahnya.
Betapa tidak, lewat alat pertanian modern, padi yang dipanen di sawah langsung dipisahkan antara batang dan biji padi. Lalu, dijemur untuk selanjutnya diproses menjadi beras.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |