Harga Kedelai Impor Naik di Luar Kebiasaan, Perajin Tempe di Lamongan Pegang Jidat

TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Harga kedelai impor yang terus mengalami kenaikan membuat perajin tempe di Kabupaten Lamongan memegangi jidatnya.
Salah satu perajin tempe di Lamongan, Abdul Rokhim, mengatakan saat ini harga kedelai yang menjadi bahan baku tempe telah mencapai Rp11.000 per kilogram. Padahal sebelumnya hanya di kisaran Rp9.500 per kilogram.
Advertisement
"Seminggu sebelum tahun baru (2022) itu masih Rp9.500, tapi setelah itu naik terus secara perlahan sampai sekarang Rp11.000," kata Rokhim, saat ditemui di tempat produksinya, di Lingkungan Bandung, Kelurahan Sukomulyo, Kecamatan Lamongan, Rabu (16/2/2022).
Menurut Rokhim, kenaikan harga kedelai sebenarnya sudah menjadi hal yang biasa. Setiap tahun pasti harga kedelai mengalami turun naik.
Namun yang membuat Rokhim mengerutkan jidat, kenaikan yang terjadi saat ini di luar kebiasaan. Menurutnya, harga kedelai saat ini berada di titik termahal selama dia menggeluti bisnis tempe hampir 20 tahun lamanya.
"Baru kali ini harga kedelai sampai Rp11.000. Sebelum-sebelumnya itu mentok Rp10.500, lalu turun lagi," katanya.
Bapak empat anak itu pun mengaku tidak tahu pasti faktor apa yang menyebabkan harga bahan baku tempe tersebut melambung tinggi.
"Saya sempat tanya ke tempat saya ambil kedelai di Surabaya, katanya impornya memang sudah naik. Untuk penyebab naiknya itu ndak tahu," tutur Rokhim.
Meski harga kedelai mahal, namun Rokhim belum berani mengambil siasat untuk menyikapi kondisi yang terjadi. Dia dan perajin tempe lainnya masih mencoba bertahan dengan kondisi yang ada.
"Sementara ini belum bisa menyiasati. Bertahan dulu, yang penting tidak sampai rugi, bisa membayar pekerja yang ada di sini," ujarnya.
Jika memang nantinya harus menentukan langkah untuk menyelamatkan usahanya dari kebangkrutan, maka mengecilkan ukuran tempe menjadi satu-satunya jalan keluar.
Karena menurut Rokhim, menaikkan harga tempe sangat tidak mungkin, karena kondisi perekonomian masyarakat sedang goyah akibat pandemi Covid-19.
"Sedangkan kalau menurunkan kualitas tempe dengan mengurangi kedelai dan memperbanyak jamur juga tidak mungkin. Selain tempe lebih cepat rusak, rasanya juga menjadi tidak enak, sehingga pelanggan sudah pasti akan kabur. Jadi bagi saya lebih baik mengurangi ukuran, daripada menurunkan kualitas," tuturnya.
Lebih lanjut Rokhim mengatakan, dirinya juga tidak mungkin beralih menggunakan kedelai lokal, karena ketersediaan barang sangat mini. Selain itu dari segi kualitas juga berbeda.
Saat ini para perajin tempe masih tertolong dengan daya beli masyarakat yang sedikit meningkat, karena sedang musim panen. Sehingga perajin tempe tidak sampai menurunkan jumlah produksi.
"Setiap hari sekitar 4 sampai 5 kuintal," ujar Rokhim.
Rochim dan perajin tempe lain di Lamongan berharap pemerintah segera turun tangan mengatasi kenaikan harga kedelai impor yang terus terjadi. "Jangan sampai terjadi kenaikan yang tidak terbendung," kata Rokhim. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Rizal Dani |