Ekonomi

Era Digitalisasi Membuat Pasar Gotong Royong Probolinggo Kian Redup

Senin, 02 Oktober 2023 - 18:47 | 134.78k
Kondisi Pasar Gotong Royong yang lenggang akibat sepi pembeli. (Foto: Rizky Putra Dinasti/TIMES Indonesia)
Kondisi Pasar Gotong Royong yang lenggang akibat sepi pembeli. (Foto: Rizky Putra Dinasti/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Senyuman pedagang dan pengunjung di Pasar Gotong Royong, Kota Probolinggo, semakin luntur. Era digitalisasi telah menggoncang dunia perdagangan, dan sejumlah pasar konvensional secara perlahan kehilangan daya tariknya.

Generasi muda  semakin cenderung berbelanja secara online dan tempat-tempat perbelanjaan modern. Perubahan ini tentu berdampak signifikan, salah satunya terlihat di Pasar Gotong Royong.

Advertisement

Menurut analisis TIMES Indonesia dalam satu minggu terakhir, jumlah pengunjung di Pasar Gotong Royong sangat minim, baik siang maupun sore hari. Terutama pedagang yang menjual barang-barang di luar kebutuhan pokok seperti pakaian, kacamata, dan aksesori lainnya. Beberapa bahkan hanya memiliki satu pelanggan dalam 10 hari terakhir.

Seperti yang diungkapkan oleh Hotibah (53), seorang penjual baju asal Kelurahan Sukoharjo, Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo. Perempuan dua anak itu, mengaku bahwa penjualan di Pasar Gotong Royong saat ini mengalami penurunan drastis. Kondisi ini juga dirasakan oleh pedagang yang lain.

Kondisi-Pasar-Gotong-Royong-Probolinggo-a.jpgBanyak toko dan bedag di Pasar Gotong Royong yang tutup karena sepi. (Foto: Rizky Putra Dinasti/TIMES Indonesia)

"Jujur saja, Saya baru dapat 1 pelanggan dalam 10 hari terakhir ini mas. Padahal, ini merupakan penghasilan saya satu-satunya. Jadi saya hanya bisa mengelus dada dan bersabar," ujar Hotibah saat ditemui TIMES Indonesia, Senin (2/10/2023) siang.

Hotibah, yang telah berjualan baju sejak tahun 1988, mengakui bahwa seiring dengan masuknya era digitalisasi, pasar konvensional mulai ditinggalkan. Dia menjelaskan, Era kejayaan Pasar Gotong Royong ini sekitar tahun 1990-an. "Masuk tahun 2000 lambat laun pangsa pasarnya mulai turun. Lebih lagi masuk pandemi hingga saat ini. Mukin bukan redup lagi, tapi sudah tiarap,” katanya sembari mengusap air matanya.

Meskipun situasinya sulit, Hotibah dan suaminya masih bertahan untuk terus berjualan di tempat tersebut. Bahkan ia mengakui bahwa barang-barang di toko bajunya sudah termasuk dalam kategori stok lama. Bukan karena mereka tidak ingin menyegarkan stok, melainkan karena kondisi keuangan mereka tidak memungkinkan untuk menambah stok baru.

"Di sini, bajunya paling murah Rp 15 ribu untuk anak-anak. Dan paling mahal Rp 150, itu pun untuk model gamis. Saya ambil keuntungan Rp 4-10 ribu per barang. Bahkan banyak yang belum terjual sampai saat ini. Itulah sebabnya stok kami sebagian besar adalah barang lama. Bahkan untuk makan saja sulit," tambahnya.

Menurutnya pada masa kejayaan, sekitar tahun 90-an, masih sedikit sekali toko baju modern, dan penjualan online belum ada.

"Bahkan ketika dilakukan penjualan secara live, harganya jauh lebih murah. Padahal, jika dibandingkan dengan harga di toko kami, selisihnya hanya sedikit. Namun, generasi sekarang lebih suka berbelanja online," imbuhnya. 

Selain itu, setiap bulan mereka juga harus membayar retribusi kepada pemerintah. Beberapa di antaranya membayar sekitar Rp 310 ribu per bulan untuk satu toko atau bedak, tergantung pada ukurannya yang dihitung per meter persegi. "Saat ini tarif per meter persegi adalah Rp 4.000, Mas. Dan setiap toko luasanya tidak sama," tambahnya.

Hal senada juga diungkapkan Andrin (35), penjual baju asal Kebonsari Kulon, Kecamatan Kanigaran. Sebelumnya, dia mengelola toko yang dulunya dimiliki oleh almarhum mertuanya, Aji Suparmi. Menurutnya, saat ini terjadi perubahan dalam budaya dan kebiasaan, terutama di kalangan generasi muda yang lebih mementingkan gengsi dan mencari kemudahan, seperti berbelanja online atau melalui platform live online. Selain itu, target pasarnya juga mencakup sejumlah toko baju modern.

"Jadi ketika ditanya beli dimana, beli onlien atau beli di KDS atau GM, sebab rasanya ketika mengatakan beli di Pasar Gotong Royong, seolah-olah itu menurunkan martabat. Hal ini tentunya terkait dengan gengsi," ucapnya.

Kondisi-Pasar-Gotong-Royong-Probolinggo-b.jpgHotibah tetap bertahaan dengan stok baju lamanya. (Foto: Rizky Putra Dinasti/TIMES Indonesia)

Dan lagi, proses tawar menawar ini kadang membuat pembeli enggan. “Ada yang merasa takut kemahalan, ada yang merasa tidak bisa tawar, dan ada yang khawatir penjual akan marah jika harga terlalu rendah," kata dia.

Padahal, menurutnya pembeli juga perlu bijak. Pedagang tidak bisa mengambil keuntungan besar, jadi proses tawar-menawar seharusnya wajar. “Jadi keluhan teman-teman, kadang kondisi capek, barang sulit laku, dan giliran ada yang masuk ke toko dan nawar, turunnya diluar nalar jadi mereka juga jengkel,” Imbuhnya.

Dan lagi, sebagian besar penjual di Pasar Gotong Royong adalah penjual konvensional yang tetap berjualan seperti biasa. Kebanyakan dari mereka yang sudah lama berjualan juga kesulitan untuk beralih ke penjualan online.

Menurutnya, jika ini terus berlanjut, Pasar Gotong Royong bisa tutup dalam 5-10 tahun ke depan. Sekarang pun, dari 96 kios di pasar, hanya sekitar 20 yang masih buka. Yang lainnya memilih tutup dan menyewakan karena kesulitan membayar retribusi pasar.

"Kalau total sama toko yang di luar kurang dari 200-an. Kalau di dalam saja ada 4 blok, masing-masing blok ada 24 toko. Nah, per bloknya yang buka bisa dilihat hanya lima toko. Bahkan yang baru menyewa toko di depan saya tidak melanjutkan sewa karena merasa tidak menguntungkan," katanya.

Mereka hanya bisa berharap pada peran pemerintah. Karena jika hanya mengandalkan inovasi dari pedagang yang kesulitan mencari nafkah, akan sulit.

"Kami berharap ada peran serta dari pemerintah agar pasar ini ramai. Memang semua pasar, saya yakin musiman, misalnya jelang lebaran. Namun, untuk saat ini, dengan banyaknya toko modern dan penjualan online, maka sangat sulit bagi kami," tutupnya

Sementara itu, Kepala DKUP Kota Probolinggo, Fitriawati Jufri, menyatakan pemerintah tidak mengabaikan situasi ini. Saat ini, sedang dalam masa pemulihan setelah pandemi COVID-19. Banyak masyarakat hanya berbelanja kebutuhan pokok.

"Untuk pedagang pakaian atau kebutuhan sekunder memang agak sepi karena saat ini masyarakat lebih mengutamakan kebutuhan pokok," tegas Fitri

Disinggung mengenai pembayaran retribusi Pasar Gotong Royong yang juga dikeluhkan pedagang, ia menyatakan bahwa pembayaran retribusi tetap dilakukan, meskipun tidak sedikit pedagang yang tidak membayar karena mengeluh sepi pembeli. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Muhammad Iqbal
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES