Produksi Kopi di Banyuwangi Terancam Akibat Cuaca Ekstrem

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Dampak dari kondisi cuaca ekstrem yakni kemarau panjang, mulai mempengaruhi produksi komoditas kopi di Kelurahan Gombengsari, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur.
Kelurahan Gombengsari adalah salah satu daerah penghasil kopi di Banyuwangi dengan luas lahan perkebunan kopi rakyat sekitar 850 hektare yang bisa menghasilkan kurang lebih 700 ton kopi setiap tahun. Oleh sebab itu, cuaca panas yang terlalu ektrem sangat mempengaruhi produksi kopi.
Advertisement
"Jadi adanya hujan itu sangat pengaruh bagi produksi panen kopi," ucap petani kopi asal Kelurahan Gombengsari, Abdurrahman, Rabu (8/11/2023).
Lebih jelasnya, Rahman sapaan akrab dari Abdurrahaman mengatakan, komoditas atau tanaman kopi sangat membutuhkan air khususnya hujan, terutama setelah tanaman kopi melewati fase berbunga.
Kebutuhan tanaman kopi akan hujan sangat tinggi, saat setelah berakhirnya fase berbunga, yang kemudian masuk dalam fase bunga tersebut layu atau mulai mengering. Diterangkanya, ketika bunga kopi sudah dalam kondisi mengering itulah harus terkena air hujan, nantinya bunga kopi yang kering itu bakal rontok. Setelah itu muncul calon buah atau Chery kopi.
"Calon Chery kopi yang kecil itu mengonsumsi banyak mengonsumsi air hujan, ibaratnya bayi masih butuh banyak minum, jika sampai kering calon Chery akan busuk," terang Rahman.
Rahman juga menuturkan, tanaman kopi hanya mengalami tiga kali fase pembungaan dalam setahun. Yaitu hanya pada bulan September di pembungaan yang pertama hingga selesai, kemudian dengan jarak setengah bulan masuk fase pembungaan kedua, begitu pula sampai pembungaan ketiga.
"Padahal, pada bulan September dimana tanaman kopi sedang memasuki fase musim bunga," tutur pria yang juga menjabat sebagai ketua Pokdarwis Desa Wisata Gombengsari itu.
"Saat ini mungkin sudah fase pembungaan yang kedua, tapi hujan belum juga turun. Kemarin pun hujan cuma gerimis hanya dua kali, ibarat mandi ini belum sampai basah" imbuh Rahman seraya bergurau.
Selain masalah pada fase kopi berbunga, adanya hujan juga sangat membantu pertumbuhan cabang baru pada tanaman kopi. Pasalnya dalam dunia komoditas pertanian emas hitam itu, ada yang dinamakan Pangkas Lepas Panen (PLP).
Jadi PLP atau pemangkasan dilakukan, setelah cabang pada tanaman kopi sudah memproduksi sebanyak 3 kali berbuah. Selain itu juga dilakukan pada cabang yang sudah berumur tua sebagai bentuk peremajaan cabang.
Saat kondisi itulah, tanaman kopi butuh air hujan untuk masa pertumbuhan percabangan. Tidak adanya air atau hujan bakal menghambat pertumbuhan cabang yang bahkan tidak bisa menghasilkan Chery Kopi.
"Jika cabang tidak tumbuh, akan berakibat pada tidak adanya buah atau Chery dan cabang mengering. Makanyan hujan atau air sangat pengaruh atau penting pada fase tersebut," kata Rahman.
Meskipun demikian, Rahman mengungkapkan, jika hasil komoditi pertanian kopi di Gombengsari diuntungkan oleh sistem tumpang sari yang telah lama diterapkan. Seperti adanya komoditi lain seperti Kelapa, Durian Alpukat hingga Petai. Karena komoditas tersebut memiliki pohon yang besar dan tinggi, menjadi peneduh bagi tanaman kopi.
"Bisa jadi kalau tidak ada pohon-pohon itu, tanaman kopi sudah banyak yang kering dan mati akibat panas tinggi," ungkapnya.
Sebenarnya tanaman kopi adalah komoditas yang kuat tanpa air, hanya saja pada saat fase setelah berbunga dan masa PLP air sangat dibutuhkan bagi tanamam kopi. Walau begitu tanaman juga akan mati apabila terlalu lama tidak mendapatkan kebutuham air yang mencukupi.
"Hidup saja sudah untung, walau kondisi panas cukup tinggi," cetus Rahman.
Rahman pun berharap, semoga hujan sudah mulai menghujani kebun kopi masyarakat dalam waktu dekat. Karena untuk saat ini banyak dari bunga tanaman kopi masyarakat Gombengsari yang tidak jadi berbuah.
"Ya semoga saja bulan depan sudah hujan," harap Rahman. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ferry Agusta Satrio |
Publisher | : Sholihin Nur |