Ekonomi

Iuran Tapera Banjir Kritik, Akademisi UMJ: Sangat Tidak Berpihak pada Rakyat Kecil

Jumat, 31 Mei 2024 - 15:52 | 85.86k
Akademisi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Hamli Syaifullah. (FOTO: dok pribadi)
Akademisi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Hamli Syaifullah. (FOTO: dok pribadi)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Akademisi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Hamli Syaifullah, mengatakan, pemungutan gaji 3 persen dari seluruh pegawai untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera, dinilai keputusan sepihak dari pemerintah yang sangat tidak berpihak kepada rakyat kecil di tengah situasi ekonomi yang tak menentu. 

"Karena rakyat dipaksa membayar oleh pemerintah sebesar 3 persen dengan menggunakan peraturan yang menurut saya sangat represif," katanya saat dihubungi TIMES Indonesia, Jumat (31/5/2024).

Advertisement

"Kenapa represif? Peraturan tersebut nampak sangat sewenang-wenang di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sedang tidak baik-baik saja," jelas dosen Perbankan Syariah, Fakultas Agama Islam, UMJ ini.

Ia menyampaikan, bila yang dipotong ialah kelas menengah atas, tentu potongan sebesar 3 persen bagi masyarakat kelas menengah atas tidak akan memberikan dampak apa-apa. 

"Tetapi, bagi masyarakat menengah ke bawah, potongan sebesar 3 persen akan sangat memberikan dampak bagi mereka. Harusnya dana tersebut bisa untuk  menambah biaya hidup, akhirnya harus teralokasi untuk bayar Tapera," jelasnya.

Ia menilai, terkait pemotongan 3 persen tersebut yang komposisinya ialah 2,5 persen dibayarkan pekerja dan 0,5 persen dibayarkan perusahaan atau tempat pekerja bekerja sesuai dalam Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat, akan ada dua pihak yang cukup berat. 

Pertama, pihak pekerja, karena pekerja dipaksa membayarkan 2,5 persen dari gaji yang didapatkan. Sementara itu, pekerja juga sudah mengalami pemotongan dari BPJS Kesehatan mungkin juga BPJS Ketenagakerjaan. 

"Belum lagi pemotongan-pemotongan lainnya yang sifatnya personal. Maka, adanya pemotongan dari pemerintah sebesar 2,5 persen untuk Tapera sangat memberatkan. Bahkan mungkin, bagi sebagian masyarakat menengah ke bawah akan semakin menyulitkan hidup mereka," katanya.

Kedua, pihak pemberi kerja. Pihak pemberi kerja harus membayarkan sejumlah 0,5 persen sehingga menjadi genap 3 persen. Pembayaran 0,5 persen oleh perusahaan sebagai pemberi kerja, juga akan sangat memberatkan. 

Karena, perusahaan ataupun institusi harus membayarkan 0,5 persen dikalikan sejumlah karyawan yang bekerja di tempat tersebut. Hal tersebut, kata dia, tentu akan membuat perusahaan menjadi semakin tidak efisien dalam menjalankan usahanya. 

"Perusahaan yang semakin tak efisien, tentu akan semakin sulit untuk bersaing. Nah, bukannya pemerintah mendorong perusahaan untuk bisa bersaing, dengan adanya Tapera akan semakin sulit bersaing, karena sudah semakin tak efisien lagi," jelasnya.

Selain dua dampak tersebut, lanjut dia, dampak lain dari Peraturan Pemerintah terkait pemotongan gaji sebesar 3 persen ialah, bagi masyarakat yang sudah memiliki rumah atau sedang menjalani cicilan KPR.

"Untuk apa mereka dibebankan pemotongan 3 persen tersebut? Bukankah mereka telah memiliki rumah. Tentu, ini harus  dijawab oleh pemerintah. Sehingga masyarakat tidak berpolemik bahwa pemotongan 3 persen dalam peraturan tersebut menjadi lebih jelas dan tidak mubazir," katanya.

Oleh karenanya, ia sangat berharap Peraturan Perundang-Undangan yang akan dikeluarkan ke depannya harus diarahkan untuk kepentingan rakyat Indonesia. 

"Sehingga, Peraturan Perundang-Undangan memberikan kemaslahatan untuk masyarakat Indonesia dan bukan memberikan kemanfaatan untuk segelintir orang," ujarnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES