Ekonomi

Perang Dagang AS Vs China, Pakar: Akan Terjadi Spillover Effect

Rabu, 16 April 2025 - 13:27 | 32.45k
Pakar ekonomi UB, Dr.rer.pol.Wildan Syafitri, SE., ME. (Dok. TIMES Indonesia)
Pakar ekonomi UB, Dr.rer.pol.Wildan Syafitri, SE., ME. (Dok. TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) Vs China masih terus memanas. Hal itu setelah  Presiden Amerika Serikat, Donald John Trump mengeluarkan kebijakan Resiprokal dan kenaikan tarif impor China sebesar 145%.

Dikutip dari berbagai sumber, kebijakan tarif impor 145% untuk China, merupakan bentuk respon dari AS akan tindakan Beijing terhadap kebijakan tarif sebelumnya, yang awalnya mengalami kenaikan sebesar 125%, mengalami penambahan sebesar 20% sebagai bentuk hukuman terhadap peran China sebagai penyuplai fentanil ke AS.

Advertisement

Menanggapi isu kenaikan tarif tersebut, pakar ekonomi Universitas Brawijaya, Dr.rer.pol.Wildan Syafitri, SE., ME menyoroti ada motif utama untuk perlindungan ekonomi dalam negeri yang dilakukan oleh AS.

"Jika dilihat dan perlu diketahui bahwa, kebijakan tarif impor Trump ini memiliki tujuan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan dan neraca pembayaran AS terhadap Cina,” ujarnya.

Pria yang juga sebagai Ketua Program Studi S2 FEB UB itu menerangkan,akan ada banyak dampak atas hal ini. Salah satunya yakni akan terjadinya spillover effect. Spillover effect sendiri adalah dampak yang menyebar dari suatu peristiwa ekonomi ke perekonomian lain.

"Menurut saya, gejala spillover ini akan muncul, karena China tidak hanya sebagai negara pengekspor, tapi juga mengimpor bahan baku dari negara lain, salah satunya dari Indonesia,” imbuhnya.

Sementara itu, dalam sisi kenaikan tarif impor terhadap china, Wildan lebih menyoroti adanya kontradiktif akibat kenaikan tarif impor China oleh Trump. Wildan mengungkapkan bahwa, tarif Trump ini sebenarnya sangat kontras dengan konsep dari free trade atau sistem perdagangan bebas, serta seharusnya persaingan ekonomi global itu memang didasarkan atas daya saing produk itu sendiri, bukan dari tarif.

"Jadi, ini yang dimaksud oleh Bu Sri Mulyani yang bilang bahwa, kebijakan ini tidak bisa dianalisis dengan menggunakan ilmu ekonomi,” tambah Wildan.

Wildan juga menegaskan bahwa, dalam teori klasik, seperti teori keunggulan komparatif, teori keunggulan kompetitif, dan teori keunggulan absolut, menyebutkan bahwa, semakin efisien perekonomian suatu negara, maka semakin kuat daya saing ekspornya.

Maka dari itu, Wildan mengatakan menurut ekonomi klasik, isu ini dapat menurunkan consumer surplus karena harga barang akan cenderung tinggi.
"Tidak menutup kemungkinan akan terjadi Dead Weight Loss  yang berarti bahwa tidak ada seorang pun yang akan mendapat keuntungan,” kata Wildan.

Dia menambahkan, dampak lain atas hal ini, yakni adanya ketidakpastian dalam ranah politis. Dimana, ketika suatu negara secara tiba-tiba meningkatkan tarif impor tanpa adanya perjanjian dengan negara lain maka, itu menjadi kesempatan bagi negara-negara lain untuk melanggar kebijakan free trade dan akan berisiko pada bisnis serta investasi.

Lebih lanjut, Wildan menjelaskan bahwa, Indonesia pada masa setelah covid, perekonomian Indonesia mengalami surplus, sedangkan kondisi perekonomian global, bahkan saat sebelum covid sudah mengalami gejala penurunan. "Jadi, Indonesia itu selamat dari inflasi, selamat dari resesi,” kat Wildan.

Atas fenomena itu, Wildan menawarkan solusi strategis yang bisa dilakukan oleh Indonesia untuk merespon hal ini. "Solusinya ya bisa pengalihan produk ekspor AS ke negara lain, seperti Singapura, meningkatkan daya saing ekspor dengan meningkatkan investasi inovasi, meningkatkan kemudahan bisnis, serta mendorong supply dan demand dalam negeri,” pungkas Wildan. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES