Entertainment

Mengenang Hasan Bahasyuan, Maestro Budaya Sulawesi Tengah

Kamis, 23 Maret 2023 - 16:36 | 317.46k
Lirik lagu Tananggu Kaili dan foto Almarhum Hasan Muhammad Bahasyuan (Foto: Dokumentasi Hasan Bahasyuan Institute (HBI) for Times Indonesia)
Lirik lagu Tananggu Kaili dan foto Almarhum Hasan Muhammad Bahasyuan (Foto: Dokumentasi Hasan Bahasyuan Institute (HBI) for Times Indonesia)

TIMESINDONESIA, PALU – Siapa yang tak kenal Hasan Bahasyuan. Pria kelahiran Parigi, 12 Januari 1930 ini memiliki banyak karya monumental yang masih kita nikmati hingga saat ini. Dia bukan hanya seorang seniman, budayawan, namun juga pejuang budaya nasional yang ada di Sulawesi Tengah.

Semestinya perjuangan mendiang Hasan Bahasyuan dalam memajukan budaya Sulawesi Tengah mendapat apresiasi dari negara. Penghargaan yang harus diberikan bukan hanya secara materil, tetapi penghargaan dalam bentuk melindungi dan melestarikan semua karyanya.

Advertisement

Mengapa demikian? Sebab hingga saat ini di Sulawesi Tengah belum menemukan sosok seperti mendiang yang mau mencurahkan hampir seluruh hidupnya untuk mengekspresikan seni budaya daerah. Pria bernama lengkap Hasan Muhammad Bahasyuan ini melakukan kerja-kerja seni budaya otodidak dan intens hingga akhir hayat.

Selain memberikan penghargaan secara materil, melindungi dan melestarikan semua karyanya harus pula dipikirkan. Jalannya adalah ada generasi baru yang menduplikasi atau mengadaptasi karyanya dalam bentuk kekinian sehingga hasil olah cipta seni mendiang Hasan Bahasyuan dapat menjadi inspirasi untuk kreasi selanjutnya.

Rizali Djaengkara, pemerhati kebudayaan daerah menyampaikan semasa hidupnya mendiang melakukan kerja kesenimanannya dengan penuh totalitas. Ia berkarya di tengah segala keterbatasan fasilitas dan infrastruktur pada zaman itu, namun dia mampu menghasilkan karya-karya besar.

“Sosok Hasan Bahasyuan harusnya menjadi panutan dan inspirasi bagi para seniman dan budayawan yang ingin berkarya, tidak boleh mengeluh karena keterbatasan infrastruktur, sarana dan prasarana. Itu tidak boleh menjadi alasan untuk orang tidak bisa berkarya,” ucapnya.

Bernada filosofis, Rizali bilang, setahun kita bisa menghasilkan 500 sarjana, menghasilkan 100 doktor, menghasilkan 10 guru besar, namun dalam 100 tahun kita belum tentu mendapatkan seorang seperti Hasan Bahsyuan.

“Artinya sosoknya itu sangat penting. Jadi sudah waktunya daerah ini memberikan apresiasi dari segi aspek apapun, seorang tokoh, seniman, maupun budayawan. Hasan Bahasyuan adalah seorang maestro budaya,” pandangnya.

Menurut dia, hal terpenting saat ini adalah pengakuan negara dalam konteks menjadikan sosok Hasan Bahasyuan dan karyanya itu menjadi sesuatu yang monumental bagi kebudayaan daerah dan nasional. Misalnya, mendorong nama Hasan Bahasyuan menjadi pahlawan nasional di bidang kebudayaan dari Sulawesi Tengah.  

Penghargaan lainnya bisa dengan membuat Aula Hasan Bahasyuan, atau pembangunan sekolah tinggi, atau akademik seperti Institut Seni Sulawesi Tengah Hasan Bahasyuan. Itu lebih monumental daripada sekedar penghargaan materi.

“Itu akan menjadi ikon monumental. Nilai karyanya masa lalu, konteksnya kekinian, dan ke depan itu menginspirasi bagi kita semua,” ujarnya.

Hal yang senada juga diungkapkan praktisi budaya dan sosiolog Fisip Universitas Tadulako, Hapri Ika Poigi. Baginya, mendiang adalah sosok seorang seniman, di zamannya yang melakukan kerja seni budaya yang sangat intens.

Karyanya monumental dan masih bisa kita nikmati sampai hari ini. Dalam amatan Hapri, nyaris seluruh waktu hidupnya diisinya dengan mengekspresikan seni budaya daerah. Tak hanya Kaili tetapi juga etnik-etnik lain yang berada di Sulawesi Tengah.

“Di zaman beliau kesenian itu sudah menjadi bagian terpenting sebagai bagian dari kehidupan. Jadi beliau mengabdikan hidupnya untuk membangun itu. Dia membangun pondasi seni budaya yang kuat,” ungkapnya.

Kecintaan Hasan Bahasyuan terhadap negeri Kaili, ia tuangkan dalam ekspresi kesenian. Misalnya karya tari Pamonte yang diciptakannya. Itu karya tari yang berangkat dari substansi potret masyarakat agraris Kaili ketika itu yang benar-benar di ekspresikan sehingga mewujudkan sebuah seni pertunjukan yang utuh.

Alur karyanya pun mudah dipahami. Lagu Tananggu Kaili dan tari Pamonte itu sebaris sebangun. Tananggu Kaili menjadi leadnya, dan Pamonte adalah hasil koreografinya.

“Jadi sampai hari ini belum ada yang bisa menggantikan sosok sang maestro,” hemat Hapri sembari mengamini pernyataan Rizali yang berharap agar mendiang ditahbiskan menjadi pahlawan nasional di bidang kebudayaan.

Sementara itu, Direktur Musik, Film dan Animasi, Kemenparekraf RI Mohammad Amin Abdullah mengatakan, mendiang Hasan Bahasyuan adalah seorang seniman yang jenius. Seorang seniman yang bukan hanya kreatif namun juga inovatif. Salah satu inovasi yang dilakukannya adalah mengubah, memperbaharui dan mengembangkan alat musik Kakula dari 7 buah dengan nada diatonic menjadi Kakula Modern sebanyak 24 buah.

“Ia mengubah kakula dengan nada diatonis, sehingga dapat dipergunakan untuk mengiringi tari maupun lagu dengan nada-nada pentatonis,” jelas Amin Abdullah.

Inovasi dari Kakula Tradisional ini menjadi Kakula Modern merupakan suatu inovasi yang brilian yang terus digunakan orang hingga saat ini.

Menurutnya, spirit dari Hasan Bahasyuan ini harusnya diteruskan, tetapi bukan berarti harus mengikuti gayanya Hasan Bahasyuan. Dengan puncak-puncak karya di zaman Kakula kreasi baru itu sudah terjadi pada Hasan Bahasyuan.

“Tugas dari generasi muda itu menangkap spiritnya untuk kemudian melanjutkan tradisi Kakula pada muara-muara yang baru. Misalnya Kakula Rock, Kakula Pop, Kakula Digital, Kakula Pendidikan, itukan bisa jadi muara baru,” ujarnya.

Kakula adalah salah satu alat musik tradisi Sulawesi Tengah yang berasal dari budaya Gong yang berkembang di Asia. Kakula telah menjadi bagian dari budaya tradisi Sulawesi Tengah sejak abad pertengahan bersamaan dengan masuknya peradaban Islam di daerah ini.

Di mata Shaiful Bahri H. Bahasyuan, anak semata wayang mendiang Hasan Bahasyuan menuturkan bagaimana proses kreatifnya bapaknya. Mendiang tak hanya mengandalkan intuisi dan feel seorang seniman namun juga melakukan serangkaian observasi dan eksplorasi mendalam terhadap setiap objek yang menjadi inspirasi dan tema bagi karya yang akan diciptakannya.

“Hal ini membuat karya-karyanya menjadi begitu monumental, dan komunikatif sehingga mendapatkan pengakuan dari masyarakat,” tutur dia sembari mengenang sosok bapaknya.

Untuk diketahui, karya-karya Hasan Bahasyuan ini tidak hanya diakui secara lokal tetapi juga mendapatkan pengakuan secara nasional bahkan internasional. Tari Pajoge Maradika dan Tari Pamonte bahkan pernah ditarikan secara masal pada pembukaan Asean Games 1962 di Jakarta.

Selain itu, tarian tarian tersebut juga terpilih sebagai salah satu dari enam Tarian terbaik di Indonesia untuk dipresentasikan pada acara Kesenian HUT ke-30 Kemerdekaan RI di Jakarta Convention Center kala itu. Lalu pada 2011, Tari Pamonte mendapat penghargaan tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan menciptakan rekor dunia tarian kolosal dengan jumlah 5461 penari.

Selain itu, karya yang juga mendapatkan pengakuan secara nasional yakni Tari Meaju yang menjadi salah satu kreasi terbaik pada event Tari Garapan Baru Tingkat Nasional Tahun 1985.

Siapa Hasan Bahasyuan dan Apa Saja Karyanya?

Banyak karya yang diciptakan Hasan Bahasyuan semasa hidupnya dan setiap karya-karya yang ia ciptakan memiliki spirit tradisi. Kemampuannya untuk mentransformasikan spirit tradisi ke dalam karya yang diciptakannya sungguh luar biasa.

Itulah yang membuat karya yang diciptakannya mempunyai warna dan corak tersendiri dan tak tercerabut dari akar tradisi.

Berdasarkan catatan Hasan Bahasyuan Institute (HBI) yang dirangkum dalam visual biografi Hasan Bahasyuan menceritakan kisah perjalanan karir sang maestro. Hasan Bahasyuan mengawali karir keseniannya sejak masih duduk dibangku Sekolah Rakyat (SR) pada 1939, saat masa pendudukan Jepang di Nusantara.

Kala itu, Ia menjadi peniup suling pendek pada sebuah kelompok musik bambu di Kota Parigi, tanah kelahirannya dan sekaligus menjadi pemimpin kelompok musiknya.

Saat terjadi peralihan pendudukan di Nusantara dari Jepang ke NICA, kondisi negara semakin tak menentu. Pergerakan menuntut kemerdekaan oleh anak negeri semakin marak di setiap daerah.

Pada awal 1945 arus perjuangan menuntut kemerdekaan semakin kuat dirasakan. Hasan Bahasyuan yang saat itu telah beranjak dewasa turut pula terlibat dalam pergerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia dengan bergabung bersama Barisan Keamanan Rakyat (BKR).

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia berhasil dicapai pada 1945. Ia kembali berkesenian. Pada 1946 ia bergabung dengan sebuah Kelompok Hawaian Band di Kota Parigi sebagai vokalis dan pemain ukulele.

Kemudian pada 1947, Hasan Bahasyuan membentuk sebuah Orkes Keroncong di Kota Parigi yang diberi nama ‘Irama Seni’. Dalam kelompok Orkes Keroncong itu, Ia adalah Pimpinan Orkesnya sekaligus vokalis dan pemain Biola hingga 1963.

Selain sebagai seniman, ia juga dikenal sebagai seorang atlet lari jarak menengah. Pada 1965, Hasan Bahasyuan hijarah ke Kota Palu. Ia pun memulai karir di Kota Palu, menjadi pelatih sekaligus pimpinan sebuah band bernama ‘Nada Anda’ yang kemudian berubah menjadi ‘Band Risela’ hingga 1970.

Maraknya penetrasi Budaya Pop dan kesenian-kesenian modern di Indonesia, yang berakar pada ‘budaya barat’ (Eropa dan Amerika), menyebabkan tergusurnya kesenian-kesenian dan tradisi lokal dengan segala kearifannya.

Realitas ini membuat seorang Hasan Bahasyuan prihatin dan gelisah. Itulah yang mendorongnya mengeksplorasi dan menggali kebudayaan dan kesenian tradisi masyarakat Sulawesi Tengah untuk kemudian diekspresikan ke dalam karya cipta baik dalam bentuk komposisi musik maupun tari.

Pada 1971 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah menunjuknya menjadi Pelatih Tari dan Pemimpin Band Ananta. Tugas ini diembannya hingga beliau memasuki masa pensiun pada 1981. Jabatan terakhir yang dipegangnya saat memasuki masa pensiun adalah Kepala Urusan Pengelolaan Seni Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud, Provinsi Sulawesi Tengah.

Setelah memasuki masa pensiun, Ia tetap bergelut dengan dunia kesenian hingga beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada 22 Mei 1987. Ia meninggalkan seorang istri Ellya Al Amri dan anak tunggalnya Shaiful Bahri serta sederet panjang karya monumental, baik di bidang musik, tari dan seni pertunjukan.

Semasa hidupnya Hasan Bahsyuan menciptakan karya musik/lagu sebanyak 51 lagu daerah Sulawesi Tengah. Sementara karya lainnya sebanyak 33 jenis tari.

Taman Budaya Hasan Bahasyuan

Belum lama ini Pemerintah Kabupaten Parigi Kabupaten Moutong bersama Hasan Bahasyuan Institut (HBI) bekerjasama menggelar event Culture Forum Gelar Mahakarya Hasan Bahasyuan. Ini adalah atribusi dan apresiasi atas hasil karya seorang maestro seni yang telah berjasa besar dalam menanamkan identitas budaya Sulawesi Tengah hingga ke mancanegara. Kegiatan dalam bentuk seminar, workshop dan FGD itu digelar di Auditorium Kantor Bupati Parigi Moutong.

Mohammad Taufan, Ketua Panitia Penyelenggara Culture Forum itu, mengundang sebanyak 85 orang yang terdiri dari pejabat Dinas Pendidikan Kebudayaan, pengurus Dewan Kesenian, dan penggiat seni se-Sulteng.

Menurutnya, kegiatan itu merupakan ide Bupati Parimo Samsurizal Tombolotutu dalam memberikan penghargaan tertinggi bagi maestro kebudayaan daerah ini yang kemudian dituangkan ke dalam konsep Gelar Mahakarya Hasan Bahasyuan. Ia berharap apa yang dilakukan panitia ini bisa bermanfaat bagi generasi penerus dalam membangkitkan spirit pemajuan kebudayaan di Sulawesi Tengah.

Senada, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Parigi Moutong Sunarti mengatakan Parigi merupakan tanah kelahiran dari Hasan Bahasyuan yang juga menjadi titik sentral proses berkaryanya. Ada banyak karya besar yang diciptakan Hasan Bahasyuan di daerah ini seperti Tari Pajoge Maradika, Tari Pomonte, Lagu Toraranga hingga Lagu Parigi Ri Kareme Nuvula. Itulah mengapa ia menyebutKota Parigi adalahh titik awal embrio seni kreasi baru di Sulawesi Tengah.

Culture Forum itu menghasilkan sejumlah kesepakatan antara lain, Pomonte, Pontanu dan Peulu Cinde itu akan direkam ulang dan dijadikan patron bagi seluruh koreografer yang ingin menggunakan karya–karya Hasan Bahasyuan.

Kemudian pemerintah setempat akan membangun Taman Budaya Hasan Bahasyuan sekaligus prasasti patung berisi memorabilia karya dari sang maestro. Direncanakan pula akan diadakan Gelar mahakarya Hasan Bahasyuan pada Juni 2023 mendatang.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES