Fashion For Words: Pentas dan Pameran Busana yang Membebaskan

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Fashion For Words, sebuah ajang fesyen yang digagas oleh InterSastra, dengan dukungan
Koalisi Seni Indonesia dan Kedutaan Besar Norwegia, resmi dibuka. Bagian dari Creative Freedom Festival 2018-2019, Fashion For Words mengeksplorasi medium fashion untuk menyuarakan isu kebebasan berekspresi.
Awal tahun ini, RUU Permusikan ramai menimbulkan kontroversi karena pasal-pasal yang dinilai berpotensi membatasi kreativitas. Bahkan dinilai mengkriminalisasi pekerja musik hanya karena karyanya tidak disukai oleh penguasa.
Advertisement
Selain itu, sejak 2015 kembali banyak terjadi penyerangan terhadap acara-acara budaya dan diskusi.
Pada 2016, Komisi Penyiaran Indonesia mengedarkan surat yang melarang stasiun televisi menampilkan 'pria yang kewanitaan'. Salah satu contoh pengekangan terhadap tubuh dan ekspresi gender serta seksualitas. Semua ini merupakan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi warga negara.
Ide untuk Fashion ForWords ini muncul setelah novelis Eliza Vitri Handayani mendapat kabar bahwa
peluncuran novelnya From Now On Everything Will Be Different di Ubud Writers & Readers Festival 2015 telah dibatalkan karena adanya keberatan dari polisi. Untuk menanggapi pembatalan tersebut, Eliza melakukan protes dengan pakaian, yakni kaos yang disablon dengan kutipan-kutipan novelnya.
“Dari situ aku jadi ingin melakukan eksplorasi yang lebih luas lagi. Aku terpikir, kenapa dunia sastra dan fesyen sangat terpisah. Padahal pakaian dan pikiran sama-sama sering dibatasi dan diseragamkan di negara kita. Aku ingin bekerja bersama seniman-seniman yang punya perhatian serupa, aku ingin tahu belenggu apa saja yangmereka rasakan, dan bagaimana busana dapat menjadi medium pembebasan,” kata Eliza, yang juga pendiri Inter Sastra dan penggagas serta pengarah acara Fashion ForWords.
Bertempat di Cemara 6 Galeri-Museum, rangkaian acara Fashion ForWords terdiri dari pentas fesyen di malam pembukaan, 27 April 2019. Dilanjutkan dengan pameran karya dari 30 April hingga 18 Mei 2019. Selain itu, direncanakan lokakarya dan diskusi bersama seniman pada 4, 12, dan 18 Mei 2019.
Fashion ForWords dibuka secara resmi oleh perancang busana ternama Auguste Soesatro. Rangkaian acara diawali dengan sebuah pentas fesyen yang disutradarai oleh Heliana Sinaga. Pentas ini menampilkan karya-karya dari empat seniman: Ayudilamar, A. Andamari, Wangsit Firmantika, dan Kolektif As-Salam.
Kurator untuk Fashion
ForWords, Ika Vantiani, memilih seniman-seniman tersebut berdasarkan perspektif kemanusiaan pada karya kreatif mereka.
Ayudilamar, berkolaborasi dengan Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), yang memperjuangkan hak-hak dan kesetaraan bagi para buruh. Sehari-hari para buruh menjahit ratusan baju di pabrik. Tapi tak pernah memiliki sendiri baju-baju itu, tidak diundang ke peluncuran koleksi baju itu, dan tidak mendapat bagian keuntungan dari penjualan baju-baju itu. Untuk karyanya di Fashion ForWords, Ayudilamar membalik semua itu.
Ia membuat pakaian untuk 8 orang buruh perwakilan FBLP, berdasarkan gambaran dari mereka dan wawancara tentang siapa mereka, apa kegelisahan dan kekuatan mereka. Para perwakilan buruh ini juga tampil sebagai model di pentas fesyen Fashion ForWords.
Andamari mempertunjukkan empat karya yang menanggapi intaian terhadap tubuh dan pakaian perempuan.
“Tubuh perempuan terus-menerus dilihat sebagai objek. Perempuan tidak merasa aman, tidak dapat bergerak bebas dan mengekspresikan diri,” kata Andamari.
Dalam karyanya Men.On.Pause, Wangsit Firmantika merekonstruksi pakaian laki-laki yang ditemukannya di toko-toko dan memadukannya dengan unsur-unsur lain, seperti tutu dan boneka. “Pakaian untuk laki-laki selalu terbatas dalam pilihan variasi, bentuk, dan warna,” kata Wangsit.
“Hal ini membuat masyarakat kita cenderung mencemooh ketika melihat laki-laki berdandan di luar kebiasaan. Padahal, laki-laki punya banyak sekali ragam ekspresi," tambahnya.
Karyanya mengajak kita merombak asumsi kita tentang laki-laki: ia tak mesti kasar, jorok, atau kekar.
Ia boleh saja menangis, suka memasak, atau apa pun.Kolektif As-Salam menawarkan pakaian-pakaian muslim sehari-hari yang bervariasi, didesain dengan berbagai lambang dan pesan progresif, dengan dan tanpa hijab. “Ini bentuk protes kami terhadap wajah Islam yang kini semakin diseragamkan, bahkan menjauh dari hal-hal yang manusiawi,” kata para anggotanya, FS Putri Cantika,
Eliza Vitri, dan Yuri Nasution. “Pun kami ingin menampilkan pengalaman keseharian anak muda Islam
Indonesia yang beragam, dalam bentuk pakaian.”
Penyelenggara Fashion For Words berharap dapat menarik minat kalangan yang lebih luas untuk
memperhatikan isu-isu represi terhadap kebebasan berekspresi, di dunia fesyen dan di masyarakat. “Kebebasan berekspresi esensial bagi demokrasi dan kehidupan pribadi,” kata Eliza. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |
Sumber | : TIMES Jakarta |