Gaya Hidup

Totalitas Sutradara Muda Dyah Ayu Setyorini Ciptakan Kegilaan Pemuja Elliot

Kamis, 29 Agustus 2019 - 06:06 | 223.11k
 Dyah Ayu Setyorini, dalam sebuah diskusi Majelis Urban Sastra DKS, Surabaya. Ia menampilkan karya perdananya bertajuk Elliot yang penuh kisah dramatis, Rabu (28/8/2019) malam.(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia).
Dyah Ayu Setyorini, dalam sebuah diskusi Majelis Urban Sastra DKS, Surabaya. Ia menampilkan karya perdananya bertajuk Elliot yang penuh kisah dramatis, Rabu (28/8/2019) malam.(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Tepuk tangan di sudut Gedung Dewan Kesenian Surabaya mengantar naskah dramatis karya Dyah Ayu Setyorini dalam sebuah monolog bertajuk Elliot. Sebagai penulis naskah sekaligus sutradara, Dyah Ayu berhasil memikat emosi penikmat teater larut bersama kegilaan tokoh utama menuju sebuah naskah psikotik-realis. 

Elliot sendiri mengangkat kisah tokoh utama bernama Emma, salah satu pasien di sebuah rumah perawatan kejiwaan dengan konstruksi masa Victorian. Gadis pengidap Scizofrenia dan Dissociative Identity Disorder (DID) yang hidup dalam dunia khayalan abstrak. 

Advertisement

Elliot-2.jpg

Kehadiran sosok-sosok seperti Elliot (gaun yang hidup sebagai cermin dirinya), mama, ibu, kekasih dan para penyihir secara bergantian mempengaruhi kewarasannya.

Elliot merupakan gaun masa kecil Emma yang dibuatkan oleh ibu. Namun dalam kemalangan dan rasa takut, kegelisahan, sosok ibu berubah menjadi mama yang begitu ambisius layaknya iblis bagi Emma. Merubah ketenangan Emma 

Tak hanya itu saja, Dyah Ayu juga mengangkat gejolak kelas sosial serta feminisme pada masa itu.

“Era tersebut juga terdapat kemurnian pandangan orang terhadap perempuan. Feminisme merupakan pandangan yang sangat etiket. Pola etika menjadi suatu peraturan yang dikuasai oleh negara,” ulas alumnus Ilmu Sejarah Universitas Airlangga ini.

Wanita yang akrab disapa Ading itu sengaja memilih pesona gelap Dataran Britania sebagai sebuah pemahaman tentang sudut pandang perbedaan kelas berlatar belakang modal. 

“Saya menggunakan pendekatan dengan gaya barat tahun 1845 awal era Victorian di Inggris dan Britania yang menerapkan kelas sosial yang sangat tegas,” ungkap Dyah Ayu dalam diskusi yang digelar Majelis Sastra Urban DKS tersebut, Rabu (28/8/2019) malam.

Debut pertamanya tentang kegilaan perempuan, menciptakan ruang pergerakan atas cita-cita, norma dan cinta dengan sangat feminim. 

“Karena ini adalah naskah pertama dan akan dipentaskan saya ingin memberikan clue yang jelas bahwa ini yang akan kami jadikan idealisme. Melalui pendekatan yang lebih barat,” ucapnya..

Sebab, mengeluarkan sisi kegilaan adalah sesuatu yang ekstrem. Ading menilai kebanyakan orang tidak bisa jujur untuk mengungkap kamar gelap yang mereka miliki.

“Tidak mudah bagi setiap orang menciptakan ruang reflektif dan bisa mengakui bahwa ada kamar gelap yang mereka miliki,” imbuh jurnalis di salah satu media online regional ini.

Elliot-3.jpg

Perjalanan menemukan kegilaan akan sangat sulit ketika orang tidak mau terbuka akan dirinya. Baik Emma maupun Elliot menjadi gambaran perangkap yang hadir dari dongeng masa silam menjadi sebuah mitos keabadian.

Penderitaan Emma dalam kondisi DID adalah permasalahan nyata. Sedangkan Scizofrenia selalu memunculkan manifestasi berupa teman bayangan, dunia atau satu bentuk gambar.  

“Saya memunculkan kekasih dan sosok mama di dalamnya. Sedangkan DID sebagai gangguan mental saya menampilkan sosok Elliot tanpa dialog namun hidup. Saya menciptakan ruang keduanya dalam naskah ini,” demikian sambungnya 

Naskah Elliot merupakan sebuah kegilaan yang dimiliki setiap orang. Emma adalah manusia hari ini. Di mana masa kegilaan bukan lagi ranah surealisme tapi sosok hantu kasat mata di ruang realisme berwujud materi.

“Itu pandangan kami saat ini karena menurut kami tidak mungkin ada orang waras tanpa sedikit kegilaan. Saya lebih suka melakukan hal yang bersifat psikis. Bayangan yang dialami Emma merefleksikan kegilaan yang selama ini ditutupi,” tuturnya.

Namun Ading mengaku tak sendiri dalam mengerjakan karyanya. Naskah Elliot ia buat bersama tim No Exit Theatre, sekumpulan alumni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair yang berproses dalam dunia teater secara mandiri. Dan Elliot merupakan naskah serta pementasan perdana mereka.

“Mereka sama-sama memiliki peran penting dalam pembuatan naskah Elliot,” jelas Dyah Ayu Setyorini, pegiat seni yang juga aktif di dunia teater dan penulisan ini. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani
Sumber : TIMES Surabaya

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES