Kisah Ganjur, Pelawak Kesenian Janger Banyuwangi yang Tak Pernah Luntur

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Jika anda penggemar kesenian Janger Banyuwangi, sudah pasti familiar dengan sosok pelawak senior yang bernama Ganjur.
Pria yang lahir pada 12 Maret 1954 tersebut terkenal karena pembawaannya yang humoris saat di atas panggung hiburan. Siapa saja yang menonton dirinya, bisa dipastikan akan tertawa dibuatnya.
Advertisement
Bahkan kata orang Banyuwangi, pria yang punya nama asli Sujito itu, tanpa bicarapun sudah memancing gelak tawa orang yang ada di depannya. "Meneng baen wes garai uwong gemuyu" (diam saja sudah membuat orang ketawa).
Ganjur terkenal karena perawakan fisiknya yang kurus, tapi punya tubuh yang tinggi, dan khas dengan tingkahnya yang lucu. Karena sebab itulah barangkali banyak kelompok-kelompok kesenian Janger yang sudah menggunakan jasanya.
Sempat Dilarang Orang Tua
Kepada TIMESIndonesia, Selasa (18/2/2020) di rumahnya yang berada di Dusun Sukomukti, Desa Kebaman, Kecamatan Srono, Ganjur mengaku jika ia gemar terhadap dunia seni sejak usianya masih kecil.
Maklum, almarhum ayahnya yang bernama Musiman memang penabuh jedor. Sehingga darah seni tersebut langsung mengalir kepada Ganjur.
"Dulu kalau bapak pulang manggung, selalu membawa jenang untuk saya. Itu jenang kesukaan saya," kata Ganjur mengenang kisah kecilnya.
Namun meski ayahnya seorang seniman, ternyata tak menjadi jaminan untuk dirinya bisa mulus terjun di dunia seni. Ganjur sempat dilarang ikut kelompok Janger.
Bahkan larangan tersebut bukan hanya datang dari sang ayah saja, sosok almarhumah Ibunya yang bernama Sajiem juga turut menolak jika Ganjur terjun di dunia hiburan.
"Saya sama ibuk disuruh bantu bapak ke sawah. Alasannya karena pemain Janger waktu itu bayaranya kecil, buat makan aja kurang," ungkap Ganjur mengingat petuah mendiang ibunya.
Tetapi petuah tersebut bukan membuat Ganjur menjadi sosok yang lemah. Malahan perkataan ibunya tersebut menjadikan Ganjur lebih semangat untuk terjun di dunia hiburan seni untuk membuktikan.
"Isun ngomong digai, rejeki iku wes diatur ambi Gusti Allah mak, dadi hing usah kuatir. Heng bakal mangan krikil, (Saya ngomong begini, rejeki itu sudah diatur Allah buk, jadi tidak usah kuatir. Tidak bakalan makan kerikil)," ujar Ganjur saat menjawab nasehat dari ibunya.
Bahkan saking cintanya ia terhadap dunia seni, Ganjur sampai putus sekolah. Ia tak tamat Sekolah Rakyat (SR) kini Sekolah Dasar (SD) karena terpaksa harus manggung saat ujian kenaikan kelas.
"Akhirnya saya ikut kejar paket A. Jangan ditiru pengalaman saya ini," ungkapnya menyesal.
Awal Karir Jadi Pelawak
Ganjur kecil sudah terbiasa dengan kesenian. Namun ia baru benar-benar berani manggung jadi pelawak Janger pada usia 17 tahun.
Sebelum jadi pelawak, dia lebih dulu bermain angklung panjak dalam setiap pagelaran Janger. Upahnya pun tak seberapa, dia mengaku hanya dibayar sekitar 30 rupiah saja sekali manggung.
"Saat itu sekitar tahun 1971, selain panjak juga ikut megang gendang, aron dan beberapa alat musik tradisional lain," terangnya.
Ganjur mengungkapkan, awalnya dia hanya melihat dagelan atau lawak dari kelompok Janger Cipto Budoyo Sukomukti, milik almarhum Hanipan dengan pemainnya Kliwon dan almarhum Klowor. Tapi ternyata keduanya tidak hadir.
"Karena bingung, akhirnya Pak Hanipan mencari pengganti. Lalu diserahkan kepada Sugiri, dia seorang Wayang di kelompok Janger tersebut. Kebetulan saya kenal, terus diajak manggung. Saat itu manggung di Gunung Gumitir," tuturnya.
Setelah naik ke panggung, ternyata diluar dugaan. Pemilik Janger puas dan terhibur dengan penampilan Ganjur, meskipun saat itu sempat gemetaran.
"Kamu bisa jadi pelawak, ndak usah jadi pemain panjak lagi," ungkap Ganjur mengingat pesan almarhum Hanipan.
Hijrah ke Luar Kota
Perjalanan menjadi pelawak kondang tidak semulus yang ia perkirakan. Peran pelawak di Janger Cipto Budoyo ternyata agak meredup. Ia kemudian memutuskan untuk hijrah ke Surabaya, Jawa Timur.
Di kota pahlawan tersebut, Ganjur ikut manggung di Tunilan (semacam pasar malam). Ganjur mengingat saat itu sekitar tahun 1973, disana ia kembali menjadi pemain panjak dan kendang. Ia di Surabaya sekitar 5 tahunan.
Hidupnya disana tak seindah yang diharapkan. Untuk makan pun ia harus berhutang di warung sekitar Tunilan karena pengunjung saat itu sepi. Maklum upah Ganjur tergantung dari banyaknya karcis yang berhasil dijual. Bahkan mau pulang ke Banyuwangi ia tidak ada ongkos.
Kembali Melawak
Lama mengadu nasib di luar kota dengan kondisi ekonomi pas-pasan tak membuat jiwa seninya luntur. Ia kemudian memutuskan untuk pulang kampung ke Banyuwangi.
Saat pulang itulah angin segar kembali menghampiri Ganjur. Pulang dari Surabaya langsung ada tawaran job untuk Janger Wargo Budoyo, Sawahan Banyuwangi.
Manggung pertama di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah lalu berlanjut ke Desa Badean, Kecamatan Kabat, (kini Kecamatan Blimbingsari). Di Desa Badean pelawak hanya satu yang ikut yaitu alm. Mentik asal Jember. Sedangkan satu lagi sedang sakit.
Kemudian oleh pemilik Janger, Ganjur langsung ditawari untuk manggung di tempat tersebut. Dia diminta untuk jadi pelawak. Saat itu Ganjur memperkirakan upahnya sekitar 7 rupiah saja.
Selama ini Ganjur tak mempersalahkan berapapun upah yang ia dapat. Baginya, bisa menyalurkan hasrat seni sudah sangat ia syukuri. Lambat laun akhirnya nama Ganjur kian dikenal.
Banyak job yang ditawarkan kepadanya. Bermain sendiri ternyata membuat ia tak nyaman, akhirnya dia mencari pasangan untuk melawak. Sudah berganti-ganti pasangan tapi tidak ada keselarasan kemistri.
Setelah dari Janger Wargo Budoyo, Ganjur lalu disewa untuk manggung di Janger Budi Utomo, asal Desa Lemahbang. Kemudian silih berganti karir Ganjur terus menanjak hingga kemudian ia bertemu dengan Suwarso (Bodos) yang saat itu masih berprofesi sebagai tukang kabel.
"Bodos lalu barengan manggung sama saya. Ternyata kok cocok, dia bisa ndagel. Akhirnya kami kemana mana bersama. Sampai kemudian ajal menjemput sahabat saya. Kami bareng mulai tahun 1998," kenang Ganjur kepada Bodos.
Ganjur mengatakan, dia manggung pertama kali dengan Bodos di wilayah Dusun Kedunen, Desa Bomo. Disana namanya kalah tenar dengan Bodos yang saat itu cukup dikenal disana. Namun dia akhirnya kecipratan juga setelah satu panggung dengan Bodos.
"Kami lalu mencari teman yang bisa nembang. Akhirnya ketemu Slamet (Memet) asal Desa Gumuk Agung yang awalnya pengamen. Tapi suaranya mantap. Pertama gak berani manggung, tapi lama kelamaan terbiasa," terangnya.
Waktu terus berjalan, pasangan demi pasangan lawak silih berganti. Namun keakraban tiga serangkai Ganjur, Bodos dan Memet kemudian berbuah menjadi sebuah grup lawak bernama Pelawak Osing (Pelos).
Ditipu Orang
Kian hari nama Pelos tersebut kian melambung. Namun cobaan juga semakin besar, Ganjur, Bodos dan Memet pernah ditipu orang.
"Pernah ada yang menghubungi lewat telepon katanya suruh manggung di Jajag. Malam itu kita langsung berangkat. Ndak taunya di Jajag tidak ada acara, kita nyari sampai jam 3 pagi itu. Eh tau tau acaranya di Sasak Perot sana," kenang Ganjur lagi.
Tak berhenti sampai disitu saja, mereka juga sering tidak dibayar ketika selesai manggung. Meski begitu tak menjadi masalah, cobaan demi cobaan berhasil mereka lalui.
Kini, Ganjur sudah jarang manggung bersama. Sahabat karibnya Bodos sudah lebih dulu mengahadap sang Khalik. Tinggal Memet yang terkadang ketemu bareng dalam satu panggung.
Meski tak satu kelompok Janger, namun komunikasi keduanya tak putus. Ganjur mengaku saat ini dirinya bergabung di Kelompok Janger Sastra Dewa Wonosobo, Kecamatan Srono.
"Dulu sempat ikut Janger Bongkoran. Ya begini ini, pindah pindah," aku Ganjur.
Sisi Lain Kehidupan Ganjur
Meski di panggung hiburan Ganjur terkenal dengan kekonyolannya. Namun dimata keluarga ia dikenal sebagai sosok penyayang.
Dari pernikahan dengan istrinya Indiyanti, Ganjur dikaruniai tiga orang anak. Anak pertama adalah Ita Rusdiana, kedua Ani Nuryaningrum, dan terakhir bernama Yoyok Kuswoyo. Namun, Ita sudah lebih dulu menghadap sang Maha Kuasa.
Almarhumah Ita meninggalkan seorang putra yang bernama Adi Rasianto. Menurut Ganjur, cucunya tersebut yang kelak akan menjadi penerusnya.
"Dia punya darah seni seperti saya. Mulai kecil sudah ada bakat bermain kendang dan ketipung," ungkap Ganjur.
Sementara itu kata Ganjur, kesenian Janger masa lalu dan masa kini, tak jauh berbeda. Tetapi ada sedikit pergeseran mengenai hal teknis.
"Seperti tata busana dan lagu lagu yang mengikuti perkembangan jaman. Seni itu adi luhung, tidak bisa direkayasa," cetusnya.
Ganjur prihatin mengenai generasi penerus Janger masa depan. Sebab masih sangat sedikit anak muda yang minat terhadap kesenian Janger.
"Kalaupun ada, anak muda sekarang maunya instan. Namanya seni itu gak bisa dipaksakan, istilahnya, harus menanam dulu baru tumbuh dan dipetik hasilnya," tandasnya.
Meskipun begitu, ia bangga kesenian di Banyuwangi terus tumbuh dan berkembang. Ganjur berharap ada seniman seniman Janger Banyuwangi baru yang muncul sebagai penggantinya di masa yang akan datang. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |
Sumber | : TIMES Banyuwangi |