Cegah Penyebaran Covid-19 dengan Menerapkan Budaya Jawa, Berikut Tipsnya?

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Wong Jowo ora Jawani (Orang Jawa tidak menjiwai). Pepatah ini nampaknya sudah familier di tengah masyarakat suku Jawa yang memasuki era modern. Di tengah wabah Virus Corona atau Covid-19, orang Jawa nampaknya perlu menerapkan budayanya dalam berbagai segi kehidupan di tengah masyarakat.
Tujuannya adalah mencegah penyebaran Virus Corona atau Covid-19. Berikut budaya Jawa yang layak kembali diterapkan masyarakat menurut pandangan Kepala Dinas Kebudayaan Pemkab Sleman HY Aji Wulantara SH M Hum.
Advertisement
Aji Wulantara mengatakan, dahulu orang Jawa selalu menyiapkan gentong (tempat air dari tanah liat) berisi air bersih dan gayung dari tempurung kelapa (siwur) di depan rumahnya. Tentu, gentong berisi air memiliki makna dan maksud. Yakni, getong berisi air bersih tersebut dapat dimanfaatkan siapa saja yang melintas dan merasa kehausan setelah melakukan perjalanan jauh.
Selain itu, ada pula gentong padasan berisi air yang berada di luar rumah. Gunanya agar dapat digunakan sebagai sarana untuk berwudhu dan mencuci tangan dan kaki bagi tamu atau pemilik rumah sebelum masuk rumah.
Berikutnya adalah kebiasaan batuk atau bersin. Menurut Aji, dahulu orang Jawa sangat menjaga perasaan orang lain ketika akan batuk dan bersin. Dalam budaya Jawa, etika bersin atau batuk adalah dengan cara menutup mulut dengan menggunakan sapu tangan atau berusaha menghindar dari orang yang ada didekatnya. Dapat pula menggunakan tangannya sendiri kemudian segera mencucinya dengan air bersih.
“Sehingga, orang yang ada didekatnya tidak terdampak semburan batuk atau bersin yang bisa saja membawa virus,” terang Aji.
Selanjutnya, etika meludah. Dahulu orang Jawa selalu mengajarkan kepada anak dan cucunya agar tidak meludah disembarang tempat. Bahkan, di sekitar rumah telah disiapkan bokor paidon dan biasanya terbuat dari kuningan yang di dalamnya ada pasir. Di era modern sekarang dapat menggunakan kuwali terbuat dari tanah liat atau panci dari aluminium.
“Terus, untuk urusan membuang sampah. Dahulu masyarakat membuat lubang tanah di pekarangan sekitar rumahnya (jugangan). Setelah lubang penuh sampah kemudian dikubur atau ditimbun dengan tanah sehingga terurai dengan tanah,” papar Aji.
Begitu pula dengan tempat ibadah. Jalan setapak menuju serambi masjid selalu ada kolam dangkal sebagai tempat cuci kaki. Hal ini dapat ditemui di masjid-masjid pathok negoro yang ada di lingkungan Keraton Mataram Ngayogyakarto Hadiningrat seperti Masjid Kota Gedhe Komplek Raja Mataram, Masjid Plosokuning Sleman, Masjid Gedhe Kauman Barat Alun-Alun Utara, Masjid Pathok Negoro Mlangi dan lain sebagainya.
“Fungi kolam tadi untuk menghilangkan nyajis. Ya, siapa tahu selama perjalanan dari rumah menuju masjid kaki kita menginjak sesuatu barang najis atau terkena kotoran. Jadi, jamaah sebelum masuk masjid bisa mencuci kaki di kolam tersebut,” papar Aji.
Selain itu, budaya Jawa mengajar generasinya ketika berbicara dengan nada pelan namun jelas. Hal ini bertujuan agar ludah yang dikeluarkan dari mulut secara tidak sengaja tersebut tidak menyembur atau nyiprat ke lawan bicara atau orang lain. Adab sopan santun ini tentu sudah banyak ditinggalkan generasi.
“Begitu pun model berjabat tangan, bisa dengan posisi manembah atau nameste dan berjarak. Ini dapat dilihat dalam film-film kerajaan Jawa, posisinya seperti rakyat ketika akan bertemu dengan rajanya. Saat ini Bapak Presiden Jokowi dan Bapak Wapres KH Makruf Amin juga sudah menerapkan,” papar Aji.
Begitu pula dengan kebiasaan antre. Dahulu, ketika antre warga selalu berdiri berjejer dan menjaga jarak dengan yang didepannya, tidak berjubel seperti semut.
“Dahulu orang antre juga ada etikanya. Ada rasa ewuh pakewuh, tepo seliro (tenggang rasa), Ora ilok, mengko mundhak kuwalat (Tidak patut, nanti bisa kena risiko). Nyali orang yang merasa salah langsung menciut karena takut tadi,” papar Aji.
Selain itu, ada juga makanan dan minuman yang selalu dikonsumsi orang Jawa jaman dahulu yang sangat bermanfaat untuk menghindari berbagai penyakit dan membentuk kekebalan tubuh/imunitas. Diantaranya, setup jambu biji, bobor daun kelor, daun jeruk, dan gula Jawa. Dimana minuman tersebut memiliki banyak manfaat. Konon, minuman tersebut dapat meminimalisir serangan Virus Corona atau Covid-19. Sejumlah peneliti sudah membuktikan terhadap keampuhan tanaman tersebut.
Begitu pula dengan keampuhan bumbu dapur atau empon-empon yang sekarang ini kembali diminati banyak orang karena mengandung curcumin di dalamnya.
Bahkan, Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi telah mengkampanyekan keampuhan empon-empon untuk menjaga kebugaran dan kesehatan tubuh.
Kandungan curcumin terdapat dalam tanaman seperti jahe, kunyit, sereh maupun temulawak. Zat inilah yang dianggap bisa mencegah virus covid-19. Namun demikian, Aji Wulantara menegaskan cara memasak tanaman tersebut tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Ada teknik dan cara yang harus diperhatikan dengan benar agar khasiat tanaman tersebut tidak hilang. Yakni, sebelum dimasak tanaman tersebut harus dicuci dengan air hingga bersih.
“Setiap peradaban memang ada masanya, punya gayanya masing-masing. Namun, persoalan adat, budaya atau kebiasaan orang jaman dahulu sudah penuh perhitungan dan dimaknai sebagai ilmu titen. Termasuk dampak sosiologis dan sosial dalam masyarakatnya. Semoga, tips-tips budaya Jawa di atas dapat mengurangi penyebaran Virus Corona atau Covid-19. Sebagai manusia kita harus selalu berusaha,” jelas HY Aji Wulantara SH M Hum, kepala Dinas Kebudayaan Pemkab Sleman ini. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rizal Dani |
Sumber | : TIMES Yogyakarta |