Mengapa Anak-Anak Lari ke Dunia Game? Ini Penjelasan Rhenald Kasali

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Akademisi Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali menyampaikan, ia sering kali mendapatkan banyak keluhan dari orangtua yang anaknya tergila-gila main game. Jika dibiarkan, sehari bisa lebih dari enam jam. Sementara itu, mengerjakan PR sekolah atau belajar, sulitnya minta ampun.
"Begitu pula ketika tiba waktunya untuk berangkat les, anak-anak kehilangan semangat. Mereka memang berangkat, tetapi gairahnya redup. Mereka pergi hanya untuk memenuhi keinginan orangtua," katanya dikutip TIMES Indonesia dari bukunya berjudul Strawberry Generation, Selasa (2/5/2023).
Advertisement
Menurutnya, sebagian orangtua mengaitkan main game dengan prestasi anak-anak di sekolah. Katanya, akibat terlalu sering main game, rapor anak-anaknya menjadi biasa-biasa saja, "Mungkin bukan yang terjelek, tetapi jelas bukan yang terbaik. Bukan juara pertama," jelasnya.
Bukan hanya itu, kata pengamat ekonomi itu, orangtua juga cemas atas kesehatan mata dan obesitas. Memang, terlalu lama menatap layar komputer bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mata dan gerakan anak.
"Oleh karena itu, banyak orangtua yang melarang anak-anaknya bermain game atau membatasinya hanya pada hari-hari libur dan jumlah jamnya dibatasi," jelasnya.
Namun, lanjut dia, tidak sedikit orangtua yang tidak peduli. Mereka membiarkan anak-anaknya bermain game seharian. "Alasannya, supaya anak-anak tidak mengganggu aktivitas orangtua yang mungkin sedang asyik menonton TV, membaca buku atau koran, ngobrol, atau bekerja," ujarnya.
Kaya Apresiasi
"Well, itulah kaitan dunia game dengan anak-anak dari sudut pandang orangtua. Namun, supaya fair, saya ajak Anda sebentar untuk melihat dunia game dari sisi pandang anak- anak," jelas Rhenald Kasali.
Dari pengamatannya, game memberi anak-anak dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia nyata. Dunia game bagi anak-anak adalah sangat apresiatif.
Ia menjelaskan, ketika anak-anak bergabung dalam suatu game, mereka langsung disambut dengan meriah. "Selamat datang. Inilah pahlawan yang akan membebaskan bangsa kita dari cengkeraman makhluk jahat," Begitu sambutannya kata Rhenald Kasali.
Lalu, lanjut dia, di game itu, anak-anak di-briefing dengan jelas tentang musuh-musuh yang bakal mereka hadapi. Siapa saja mereka, apa saja kehebatannya, dan sebagainya. Untuk menghadapi mereka, anak-anak juga dibekali berbagai "senjata" ampuh dan amunisi lainnya.
"Pada usia muda itu, mereka diperbolehkan memilih senjata atau perlengkapan lain yang sesuai dengan kebutuhan. Semuanya canggih dan sangat imajinatif," katanya.
"Perjalanan petualang pun segera dimulai. Anak-anak kita mulai beraksi. Setiap berhasil menaklukkan lawan-lawan yang mengadang sepanjang perjalanan, mereka akan dielu-elukan. Bahkan, diapresiasi dengan tambahan senjata atau perlengkapan yang lebih canggih," tambahnya.
Nah, ketika gagal, anak-anak juga tidak dihukum atau dicaci maki. Sebaliknya, malah dihidupkan kembali, disuruh mencoba lagi, coba lagi, dan coba lagi. Sampai berhasil.
Lalu, ketika anak-anak berhasil mengalahkan, apresiasinya sungguh luar biasa. Ada tepuk tangan yang gemuruh dengan pesta kembang api dalam game itu. Anak-anak betul-betul disanjung sebagai pahlawan. "Mereka pun bisa bertemu para hero lain dalam pesta para juara yang mempertontonkan kehebatan mereka," ujarnya.
Dunia Nyata
Menurut Rhenald Kasali, itulah dunia game anak-anak. Sangat apresiatif. Bagaimana dengan dunia nyata yang mereka hadapi sehari- hari?
"Selain instruksi gurunya yang satu arah dan sering tidak jelas, ketika anak melaporkan bahwa nilai ulangannya jelek, orangtua dan guru sering bere- aksi berlebihan. Budaya pengajaran kita masih amat gemar menghukum. Orangtua pun gemar menegur Sebagian mungkin marah-marah," katanya.
Padahal, kata dia, untuk melaporkan nilai ulangannya yang jelek, anak-anak perlu membangkitkan keberanian. Mereka juga cemas akan menghadapi murka orangtuanya.
"Berbeda, bukan, dengan dunia game yang tidak mengenal hukuman? Sebaliknya, anak-anak kita ditantang untuk mencoba lagi. Kalau gagal lagi, coba lagi, coba lagi, dan coba lagi. Begitu terus sampai berhasil," katanya.
"Lalu, bagaimana kalau nilai ulangan anak Anda bagus? Nilainya 100? Apa yang Anda lakukan? Sebagian orangtua mungkin memuji, sebagian lainnya hanya berdeham kecil, 'Ehm, bagus.' Namun, anak-anak kita jeli. Meskipun kita mengucapkan kata bagus, mereka bisa merasakan tidak adanya ketulusan di situ. Lalu, di sekolah, mereka juga dikucilkan dengan average students, dijadikan ancaman dan menjadi anak yang kurang gaul," jelasnya.
Menurutnya, berbeda dengan dunia. Dengan nilai ulangan 100, kalau di dunia game, mungkin anak-anak sudah dielu-elukan.
Ia menjelaskan, sejak kecil anak-anak dibesarkan dan membesarkan anak-anak dalam lingkungan yang miskin apresiasi. Alhasil, anak-anak menjadi begitu sulit memuji, tetapi sangat mudah mengkritik.
"Kita paling suka mencari-cari kekurangan orang lain, tetapi sulit sekali untuk melihat kelebihannya. Apalagi, kalau orang lain itu adalah pesaing kita," jelasnya.
"Itulah dunia nyata kita. Oleh karena itu, tidak heran kalau sekarang kita menyaksikan dunia sekitar kita yang sibuk bertengkar. Pemerintah dengan DPR atau DPRD. Polisi dengan KPK. Hakim dengan jaksa. Satpol PP dengan masyarakat. Semua saling berebut dan amat kekanak- kanakan. Meski kompetensinya tidak bermutu, jabatan dipaksakan pada badannya. Dan, sebagainya. Melelahkan," ujar Rhenald Kasali. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ferry Agusta Satrio |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |