Lukisan Khadir Menjadi Magnet di Malam Pesta Topeng
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Seniman Khadir Supartini atau S Khadir turut unjuk karya dalam pameran Masquerade di Win Hotel Surabaya. Dia menampilkan sejumlah lukisan 'mengoyak mata'. Keeper of The Garden, Rabbit Run, Rabbit Run #1, Rabbit Run (Triptych) dan Matahari Tak Pernah Tenggelam (Triptych) dan patung instalasi kelinci hitam.
Khadir Supartini mengusung karya lukis dalam frame berukuran 200x300 centimeter dan 180x420 centimeter di atas kanvas. Perupa asal Yogyakarta tersebut banyak mengangkat sisi lain kehidupan kaum bawah dalam goresan yang menusuk indra penglihatan.
Advertisement
Sarat campuran warna ungu, merah, hitam hingga kuning neon. Sebagaimana ketertarikan Khadir Supartini dengan orang-orang di pasar yang ingin tampak menonjol di tengah keterbatasan ekonomi. Maupun baliho-baliho di ruang publik yang 'memperkosa' mata namun memaksa setiap orang untuk melihatnya.
"Ini tentang kontradiksi dan banyak hal," ungkap pria berambut gondrong itu di sela pameran pada Sabtu (9/9/2023) malam.
Konsisten mengusung aliran ekspresionis, Khadir membawa kembali Behind The Eye- sebuah tema pada pameran tunggal di Yogyakarta beberapa waktu lalu- untuk ia tampilkan lagi kepada para penikmat seni rupa di Kota Surabaya. Khusus pada malam pesta topeng elegan di mana eksibisi mengajak berdansa mengikuti alunan suara hati.
"Sebenarnya lukisan saya adalah keberpihakan pada kaum-kaum pinggir," kata Khadir.
Ia kemudian mencontohkan Rabbit Run sebagai interprestasi dari hewan setia tapi kerap menjadi kelinci percobaan.
Begitu pula dengan Penjaga Kebun - kesetiaan, ketulusan dan pengabdian pada profesi menjaga lahan milik orang dan masih banyak ditemui di pedesaan maupun pegunungan. Di mana orang-orang kota menanamkan investasi properti mereka. Namun, mereka tetap bersyukur dan bekerja keras di bidangnya.
Matahari Tidak Pernah Tenggelam. Menggambarkan hiruk pikuk kota besar yang enggan terlelap dan larut dalam kesibukan. Bekerja siang dan malam tanpa mengenal lelah.
"Ini adalah mini pameran saya setelah Taman Budaya Yogyakarta kemarin," tutur Khadir.
Karya Khadir memikat banyak pengunjung di tengah nuansa 'pesta dansa' yang elegan dengan balutan gaun hitam dan alunan musik serasa harmonisasi museum-museum seni di Eropa. Mereka seolah tergerak dan terlibat secara emosional.
Melalui lukisan-lukisan dan patung, Khadir mengundang penikmat seni rupa untuk mengeksplorasi makna identitas di tengah pergeseran sosial.
Ia berhasil mengeksplorasi aspek personal dalam lingkup impuls alam bawah sadar dan psikodinamika.
Patung kelinci salah satu spot foto favorit bagi para tamu. Khadir mengatakan, mamalia ini dipercaya melambangkan kesuburan, kebebasan, keberuntungan, kreativitas, kasih sayang dan intuisi.
Hewan ini juga kerap digunakan untuk melambangkan kelahiran kembali dan kebangkitan. Karena kemampuannya bereproduksi dengan cepat kelinci juga menandakan perihal kehidupan yang baru.
Dalam versi lain, kelinci dipakai sebagai cerminan masyarakat yang tidak berdaya karena praktik eksperimen di ranah sosial-politik.
Pada karya-karyanya, Khadir seakan menggabungkan semua makna kelinci tersebut.
Terbungkus dalam seni kontemporer, karya-karya Khadir sebelumnya telah tampil dalam pameran tunggal Behind The Eye di Taman Budaya Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Karya- karya itu tercipta dari suasana hati atau perasaan seniman setelah mengalami perjalanan hidup yang mengasah batinnya sedemikian rupa sehingga memunculkan permasalahan psikologis yang kuat.
Caranya melukis memperlihatkan bagaimana dia merelatifkan representasionalisme dan juga formalisme.
Khadir Supartini atau S Khadir berlatar lukisannya dalam pameran lukis dan instalasi bertajuk Masquerade di WIN Hotel Surabaya, Sabtu (9/9/2023) malam.(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Lukisan-lukisan itu tidak hanya menawarkan perihal-perihal pribadi dari lingkungan terdekatnya, tetapi juga Khadir gunakan sebagai jendela untuk melihat budaya sebagai kebiasaan, praktik sehari-hari, dan moralitas manusia sebagai pelakunya.
Khadir ingin menyampaikan sindiran halusnya terhadap pemapanan struktur sosial dan kelembagaan yang merugikan masyarakat madani yang kini sedang berlangsung. Seperti Keeper The Garden tentang penjaga kebun atau kesibukan kota besar dalam Matahari Tak Pernah Tenggelam.
Khadir ingin menyuarakan kembali pentingnya menyadari keragaman seiring dengan perubahan lanskap budaya nilai-nilai moral, dan sistem kepercayaan di masyarakat yang telah terjebak ke dalam sektarianisme dan intoleransi.
Secara umum bisa dikatakan bahwa karya-karya Khadir menghadirkan kembali dunia yang pernah ia lihat, alami, dan rasakan. Itu adalah dunia yang menyimpan ironi, tragedi, kontradiksi, tetapi juga dramatik dan harmoni.
Hal tersebut nampak pada permainan warna yang ia goreskan. Sepanjang peradaban manusia, kaum seniman mengerti bahwa suasana hati mungkin tidak bisa menentukan warna. Akan tetapi, sebaliknya, warna dipastikan bisa menentukan perasaan.
Di Eropa sejak abad ke-15, kaum seniman telah menggunakan pigmen khusus untuk menyampaikan dan membangkitkan emosi.
Khadir Supartini menyerap warna-warna neon atau meski tidak terlalu tepat, fluorescent - yang cerah dan solid.
Warna-warna ini jarang digunakan pelukis, tetapi mudah ditemukan aplikasinya pada industri, misalnya, tekstil dan percetakan. Warna neon ini menonjol dari warna-warna lainnya. Kemudian hitam, ungu dan merah serta percikan warna lain.
Makna simbolik melalui warna ungu pada kanvas-kanvas Khadir, misalnya, adalah pokok penting dan menarik untuk diperhatikan.
Ungu adalah warna yang dihasilkan dari persimpangan merah dan biru. Warna ini sering dikatakan sebagai warna yang mewakili individu yang artistik dan unik, yang seringkali sangat intuitif dan sangat tertarik pada spiritualitas.
Pecinta ungu dikatakan sebagai penilai karakter yang baik, dan seorang visioner dengan kebutuhan besar untuk berpartisipasi dalam masalah kemanusiaan.
Di sebagian masyarakat dunia, ungu terutama yang mengandung banyak unsur birunya diasosiasikan dengan energi romantis yang ringan, sedangkan ungu yang lebih gelap dapat mewakili kesedihan dan frustrasi.
Di beberapa masyarakat Eropa, ungu dikaitkan dengan kematian dan duka. Karena kelangkaan warna ini di alam dan mahalnya ongkos untuk menciptakannya membuat sebagian lainnya meyakini bahwa ungu memberikan aura supranatural.
Ditempatkan di tengah warna yang lain, warna ungu berpotensi intimidatif. Kaum kerajaan menggunakan ini untuk mewujudkan kekuatan, prestise, dan kemampuan.
Khadir menyadari kekuatan simbolik warna ungu. Bisa diamati bagaimana ungu tampil dominan dan terkadang bercampur dengan biru, hijau, merah dan kuning pada kanvas menciptakan kontras.
Semua warna itu tidak larut, tapi justru saling memisahkan sehingga membangun kesan ruang atau teritori tersendiri.
Pada beberapa lukisan, Khadir memanfaatkan dua-tiga warna kadang bercampur ungu sebagai garis penegas sebuah bentuk, terutama untuk karya-karya yang menghadirkan kepekatan lanskap malam.
Hadirnya warna-warna neon yang kontras itu memperkuat gagasannya untuk menawarkan tema-tema personal.
Antara lain, warna-warna neon tersebut menyiratkan gemerlap urban yang ia jumpai dalam setiap perjalanan malamnya ke pelosok.
Melalui lanskap malam, Khadir menarasikan renungannya tentang paradoks kehidupan para penghuni malam di antara mereka yang gemerlap di bar-bar dan kerja keras kaum pedagang di pasar.
Dalam pameran Masquerade ini, Khadir Supartini tak 'berdansa' sendiri. Eksibisi ini mengajak para penikmat seni berdansa mengikuti perasaan-perasaan yang tertimbun oleh fasad-fasad represif, sifat-sifat dasar manusia yang terbungkus topeng dekorasi dan akhirnya membawamu ke penerimaan diri manusia, yang saling berpura-pura agar dapat saling menerima. Ada 247 Collective, Andreas Bayu, D. Fadhil, E. Meta, F.Dimas, F. Fachri, Gusmen, H.Icon, Oktaviyani, R. Aulie, R. Dewa, R.Misilu, Tan Maidil, Tico Tedja dan dikurasi oleh UYCC Curatorial Team. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Rizal Dani |