Tarian Tide Tide Menjadi Identitas Budaya Suku Galela Maluku Utara

TIMESINDONESIA, MOROTAI – Tarian tide-tide adalah tarian tradisional yang diciptakan pada abad ke-14 oleh Suku Galela di Utara Halmahera, Maluku Utara. Tarian ini dipengaruhi oleh budaya Islam dan Melayu serta menjadi identitas budaya Suku Galela.
Kata Tide-tide sendiri berasal dari bahasa adat suku Galela yang berarti "mengangkat". Saat ditarikan gerakan tangan dan kaki diangkat sehingga terbentuk sebuah gerakan indah nan penuh makna. Asala-muasal terciptanya tarian Tide-tide Galela berawal dari kegelisahan seorang istri yang menunggu suaminya ditepian pantai ketika hendak pulang melaut.
Advertisement
Sang istri melihat gulungan ombak pantai, bunyi dedaunan akibat angin serta kicauan burung segu-segu yang mana tampa disadari terciptalah gerakan tarian Tide-tide yang mengikuti gerak ombak, gerak burung segu-segu dan goyangan dedaunan.
Tarian Tide-tide pada zaman dahulu hanya bisa ditarikan oleh Suku Galela. Jika ada suku lain yang menarikannya maka akan didenda atau dalam bahasa Galela disebut Bobang. Kecuali dibeli atau dipinjam baru dapat ditarikan.
"Makanya ada perbedaan antara tarian Tide-tide suku Galela dan suku Tobelo. Untuk tarian suku Galela gerakan tarinya agak lambat karena mengikuti irama fiol. Sementara suku Tobelo gerakan tarinya agak cepat karena mengikuti irama tifa," ungkap Pembina Sanggar Budaya Gogaro Nyinga Desa Mamua Galela, Halmahera Utara, Muhammad Diadi.
Selain itu, gerakan dalam tarian Tide-tide baik perempuan dan laki-laki berbeda serta penuh makna. Demikian juga gerakan tari (tangan) perempuan yang sudah menikah dan belum menikah juga berbeda makna.
Bahkan jarak antara penari laki-laki dan perempuan pun diatur agar tidak terlalu dekat supaya para penari leluasa untuk menari. Juga dalam menarikan tarian ini tidak diperbolehkan memakai tarupa (sendal), ini bermakna agar para penari memiliki jiwa menghormati tanah leluhurnya.
Gerakan tarian Tide-tide dibagi dalam beberapa bagian seperti, gerakan tari berhadapan, gerakan tangan, gerakan pinggul dan gerakan kaki untuk penari perempuan. Sedangkan bagi penari laki-laki hanya gerakan tangan dan kaki.
Bagi penari perempuan yang sudah menikah, gerakan tangan kiri dan kanan diayunkan naik dari samping secara cepat serta bergantian lalu telapak tangannya diputar ke dalam.
Bagi penari perempuan yang belum menikah alias jomblo, gerakan tangannya diayunkan naik dari samping secara perlahan serta bergantian lalu telapak tangannya diputar kedalam dan tidak menolak keluar.
Sementara gerakan pinggul pada penari perempuan, memperlihatkan keindahan dan keanggunan ciptaan Allah serta rasa memiliki yang dilandasi akhlak yang baik. Begitu pula gerakan kaki pada penari perempuan yang dilangkahkan satu persatu atau dalam bahasa Galela disebut Tetehe secara perlahan ditempat itu, bermakna bahwa seorang perempuan harus berpikir dahulu dalam setiap langkahnya ketika mengambil keputusan didalam hidupnya.
Demikian pun pada gerakan kaki penari laki-laki yang dilangkahkan satu persatu dan tidak boleh tergesa-gesa. Ini bermaksud agar dapat menghormati perempuan dan bijak dalam mengambil keputusan dalam hidupnya. Sementara gerakan berhadapan antara penari laki-laki dan perempuan bertujuan agar penari laki laki tidak boleh mengitari penari perempuan lewat belakang karena dianggap tidak sopan, sehingga penari laki-laki tetap berhadapan dengan penari perempuan.
Sebagai informasi, salah satu tokoh masyarakat Tobelo dari Desa Tobe, Nokis Laluba menjelaskan secara historis tarian tide-tide bukanlah tarian asli dari suku Tobelo, tetapi dibeli dari suku Galela sejak tahun 1933, atau sebelum meletusnya gunung Tarakani hingga sampai sekarang dikenal dengan tarian tide-tide dari suku Tobelo-Galela.
Alasan mengapa suku Tobelo membeli tarian tide-tide, kata Nokis Laluba, kare pada zaman dulu orang tua-tua dari suku Tobelo sangat senang dan menyukai tarian tide-tide sehingga tarian ini dibeli agar dapat ditarikan.
"Kami mengajak majujaruh dan magohidu'uru (cewe dan cowok ) suku Galela agar lestarikan tarian tradisional ini. Sebagai bentuk menghormati leluhur kita. Supaya tarian tradisional Galela tetap terjaga, tidak punah dan diklaim daerah lain. Karena seni tari yang dimiliki suku Galela atau di wilayah Galela memiliki nilai nilai luhur yang terkandung di dalamnya," kata Pembina Sanggar Budaya Gogaro Nyinga, Muhammad Diadi.(*).
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ferry Agusta Satrio |
Publisher | : Sholihin Nur |