Begini Tampilan Perubahan Busana Suku Tengger Bromo Era Modernisasi
TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Siapa yang tidak kenal dengan warga Suku Tengger! Suku Tengger di kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur ini sudah ada sejak kerajaan Majapahit yakni di era abad-16.
Suku Tengger memiliki tata bahasa serta sistem kalender sendiri. Tata bahasa Suku Tengger menggunakan bahasa Kawi dan beberapa kosakata bahasa Jawa Kuno. keduanya sudah jarang digunakan masyarakat Jawa.
Advertisement
Beberapa tradisi suku ini terpelihara hingga saat ini. Seperti Upacara Yadnya Kasada, Ritual Meminta Hujan (Ojung), Hari Raya Masyarakat Tengger (Karo), Pawon Tengger dan beberapa lainnya.
Bahkan yang paling mencolok, yakni penggunaan busana warga tengger. Udeng khas tengger selalu mengikat di kepala para pria Suku Tengger. Sementara untuk para wanitanya mengenakan sarung.
Penggunaan sarung itu pun memiliki makna filosifis tersendiri yang menggambarkan wanita penggunanya. Mulai dari remaja belum menikah, sudah menikah, hamil serta wanita yang telah menjanda.
Kendati demikian, masuk era modernisasi, ada sejumlah perubahan busana yang terjadi. Khusunya yang tampak mencolok yakni perubahan busana untuk wanita tengger.
Busana wanita tengger yang mulanya kental dengan penggunaan sarungnya, seiring berjalannya waktu, hal itu mulai ditinggalkan. Khusunya bagi kaum wanita muda atau milenial.
Bahnyak wanita warga tengger saat ini berbusana lebih modern: menggunakan jaket untuk memperhangat diri serta celana panjang.
Pun demikian dengan warga tengger laki-laki. Namun untuk laki-laki masih tampak mempertahankan penggunaan udeng.
Sehinga ketika kita mencoba mengunjungi kawasan Suku Tengger atau ketika hendak berlibur ke Gunung Bromo, jarang ditemukan wanita generasi muda yang masih menggunakan sarung sesuai dengan budaya busana warga Suku Tengger.
Kalau pun ada, hanya segelintir. Dan itupun digunakan oleh wanita yang sudah sepuh atau berumur.
Kades Ngadas, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Kastaman (52) menerangkan, warga tengger, khusunya kaum muda, turut mengikuti perkembangan zaman.
Sehingga memang jarang ditemukan ada warga, khusunya wanita, yang mengunakan sarung dalam kegiatan sehari-harinya.
“Kalangan muda ini juga mengikuti perkembangan zaman. Jadi untuk penghangatnya mengguankan jaket tebal dan celana panjang. Bukan lagi sewek (jarik) dan sarung. Namun untuk yang sudah sepuh, biasanya masih tetap mempertahankannya,” katanya Kamis (28/12/2023) siang.
Kendati demikian, lanjutnya, setiap kegiatan budaya Suku Tengger, warga diwajibkan menggunakan pakaian adat yang telah diwariskan oleh leluhur. Tujuannya agar budaya busana tidak luntur.
Seperti menggunakan pakaian hitam dan udeng bagi laki-laki. Sementara untuk wanitanya menggunakan pakaian hitam, jarik dan sarung.
“Pakai adat itu wajib digunakan ketika kegiatan adat berlangsung. Seperti Kasada, Karo dan kegiatan adat lainnya. Tujuannya salah satunya yakni melestarikan busana adat yang ada,” imbuhnya.
Namun, penggunaan sarung pada pada saat berpakai adat pun mulai berganti dengan selendang. Seperti yang diterangkan oleh Isna Pastiwi Putri (28) salah satu warga tengger dari Desa Ngadas, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.
Menurutnya, di era mdoern ini, banyak wanita muda yang menggunakan selendang sebagai pengganti sarung pada saat kegiatan adat tengger.
“Jadi pengunaan sarung tetap dipertahanakan, namun kebanyakan sudah berganti ke selendang,” lanjutnya.
Menurutnya, biasanya yang menggunakan sarung kebanyakan wanita yang sudah sepuh atau paling tidak berusia di atas 35 tahun.
Kendati demikian, ia bangga menjadi warga Suku Tengger. Serta penting baginya untuk terus mepertahankan budaya yang ada, baik kegiatan adat, keagamaan, maupun busana tengger agar tidak tergerus oleh zaman. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Muhammad Iqbal |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |