Gaya Hidup

Gol A Gong Apresiasi Buku 'Tak Ada Agama di Meja Makan' Karya Rella Mart

Minggu, 28 Januari 2024 - 17:23 | 36.02k
Rella Mart (kiri) bersama Gol A Gong saat acara bedah buku Tak Ada Agama di Meja Makan, Minggu (28/1/2024).(Foto : Hamida Soetadji/MG-TIMES Indonesia)
Rella Mart (kiri) bersama Gol A Gong saat acara bedah buku Tak Ada Agama di Meja Makan, Minggu (28/1/2024).(Foto : Hamida Soetadji/MG-TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Minat menulis saat ini semakin marak. Terlebih dunia digital membuka lebar peluang bagi para penulis yang ingin menuangkan karyanya dalam bentuk buku. Lalu, kapan seorang penulis dikatakan sebagai penulis?

Hal itulah yang dibahas dalam agenda literasi bertajuk 'Meluaskan Karya' di Balai Pemuda Surabaya. Acara ini menarik karena mengambil diskusi mengenai sebuah karya literasi yang saat ini semakin mudah dibuat. Karya tersebut dibuat tanpa melalui tayang di media terlebih dahulu.

Advertisement

Keberanian menulis inilah sebetulnya yang harus dilakukan. Dan 'Tak Ada Agama Di Meja Makan' karya Rella Mart merupakan bukti karya yang tidak banyak melakukan pertimbangan dalam proses menulis. Proses otentiklah yang dibutuhkan dalam menulis. 

Melahirkan karya otentik atau original tidaklah mudah. Harus melalui berbagi fase pengalaman hidup atau mengamati kehidupan sehari-hari.

Seperti yang dilakukan Yusron Aminulloh, tokoh literasi nasional. Dirinya adalah pengamat kehidupan. Sehingga ia pun memahami karya Rella Mart atau karib disapa Ella.

"Jujur dalam karya, orang berkarya  yang bertentangan dengan dirinya malah tidak bisa melukiskan dengan hati. Ini yang saya  lihat dalam diri Ella. Otentik," ujar Yusron, Minggu (28/1/2024).

Ada proses persenggamahan pada masa kecil dalam diri Ella. Lalu diproses menjadi tulisan dan original. Cerita yang tidak dilahirkan dengan unsur kesengajaan.

Hal ini berbeda pandang dengan Duta Baca Indonesia Gol A Gong. Menurutnya, karya Ella sangat berani menghadirkan hal yang terbilang sensitif. Namun tulisannya tidak mengandung SARA. "Menulis berdasarkan teori sastra. Cerita pendek harus tuntas. Meriset dirinya. Pelaku selalu disebutkan (Ella)," katanya.

Sementara Daniel Mahendra dari penerbit Epigraf menambahkan seorang penulis pada tahun 1990-an diuji oleh media. Naskah yang belum tayang di media tidak bisa dikatakan bahwa dirinya adalah seorang penulis.

"Pada saat saya melahirkan buku, banyak yang bertanya apakah karya saya sudah pernah dimuat di media," tuturnya dalam bincang literasi Meluaskan Karya. 

Namun dirinya menilai karya Ella sudah bisa dikatakan sebagai karya seorang penulis. Meskipun karyanya tidak melewati media manapun. 

Ella sendiri mengatakan dirinya sejak sekolah dasar (SD) sudah terbiasa menulis cerita. Lalu berkembang menjadi cerpen pada usia remaja hingga dewasa ini.

Proses yang dialaminya tidak lepas dari persoalan kehidupan yang ia jalani. Berkarya menurutnya adalah kewajiban. "Tidak ada alasan untuk tidak berkarya. Menulis dibarengi dengan membaca yang disiplin," kata penggemar warna orange ini. 

Awalnya karya Ella seringkali  diterbitkan sendiri karena dirinya takut dengan ketidak aslian dalam cerita yang ia tuliskan. Sisi original yang ia jaga selama ini. 

Berbagai karya kini banyak bermunculan di platform digital. Gol A Gong mengatakan tingkat levelnya pembaca tinggi. Platform digital membebaskan gaya tulisan. Tidak ada kurator. 

"Jika terjebak dalam teori penulisan akan menghambat karya itu sendiri. Bukannya sekarang bebas untuk menulis tanpa ada kurator (platform digital). Maka tidak ada hambatan untuk menulis. Namun jangan lupa meninggalkan sisi original dalam cerita," ujarnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES