Cerita tentang Misteri Watu Kere, Batu Sakti di Pacitan
TIMESINDONESIA, PACITAN – Di sawah Desa Ngromo, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan berdirilah sebuah batu besar yang namanya cukup membingungkan, Watu Kere.
Kere, menurut bahasa Jawa, artinya miskin. Mungkin orang luar akan bertanya-tanya, bagaimana bisa batu diberi nama kere? Bukankah kere itu biasanya nasib, bukan nama?
Advertisement
Sutami, warga Dusun Kedungpring yang sudah berusia 76 tahun, menjadi pencerita pertama. "Kata kakek saya dulu, banyak orang kere sering ngiyup (berteduh) di situ, jadi dinamakan Watu Kere," katanya, Jumat (8/11/2024).
Warga Kedungpring, Sutami saat bercerita tentang asal-usul Watu Kere. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)
Bayangkan saja, di tengah sawah luas dengan angin yang kadang menusuk tulang, batu besar ini rupanya jadi tempat berteduh bagi mereka yang kurang beruntung.
Tidak jelas apakah kere itu benar-benar miskin atau hanya kere dalam hati, namun batu ini jadi saksi bisu nasib manusia.
Dan, yang lebih menarik, Watu Kere bukan hanya kenangan bagi warga Ngromo. Dari Banyuwangi sampai Surakarta, batu ini ternama sebagai tujuan khusus, terutama pada bulan Suro.
"Ramai kalau bulan Suro, banyak orang dari luar melakukan ritual, ada yang bakar kemenyan," kata Sutami lagi, kali ini dengan nada sedikit serius.
TIMES Indonesia juga sempat menengok langsung lokasi Watu Kere ini. Di sekitar batu, ada pompa air dan pipa pralon yang mengalirkan air dari sumber mata air yang keluar dari sekitar batu. Mata air itu adalah berkah lain dari batu ini.
"Sumber mata air ini dimanfaatkan warga sini untuk kebutuhan sehari-hari," tutur Sutami sembari menunjuk pralon itu.
Meski terkenal di kalangan ‘jiwa-jiwa kere’ dan para pencari makna mistis, keberadaan Watu Kere ini ternyata belum banyak diketahui oleh masyarakat di luar Nawangan dan Bandar.
Jadi, bagi sebagian warga Pacitan yang tinggal agak jauh, batu ini masih jadi misteri yang tak terjamah.
Uniknya lagi, Watu Kere ini mengisahkan kehidupan yang sederhana. Dia bukan sekadar batu, namun semacam monumen hidup, menyimpan cerita masa lalu dan menampung doa-doa orang yang datang. Sebuah benda mati yang justru lebih hidup dalam memori dan hati masyarakat.
Tidak hanya sebagai batu sakti, Watu Kere juga memegang cerita keseharian yang tidak terlalu glamor. Ia adalah bukti bahwa alam sering kali menyimpan makna, sekaligus menjadi tempat berlindung dari hujan, panas, dan mungkin juga dari kehidupan yang keras.
"Kami ingin Watu Kere ini dikenal lebih luas agar dapat menjaga dan melestarikan warisan budaya ini," ujar Sutami.
Sekali waktu, jika Anda sedang singgah di Pacitan, cobalah mampir ke Watu Kere. Lihat, rasakan, dan siapa tahu, Anda akan pulang dengan hati yang lebih ringan atau malah makin kere... ya, kere dalam arti yang lebih filosofis. Sebab dalam batu itu, ada cerita panjang tentang ketahanan, penerimaan, dan kehidupan. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Rizal Dani |