Gaya Hidup

Renungan Minggu: Damai Itu Datang di Tengah Pintu Tertutup

Minggu, 04 Mei 2025 - 07:42 | 36.12k
Ilustrasi
Ilustrasi
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Hari Minggu pagi, langit cerah. Jemaat mulai berdatangan ke gereja dengan pakaian terbaik mereka. Ada yang menggandeng anak kecil, ada pula yang duduk sendiri, menunduk lama sebelum ibadah dimulai. 

Di luar, hidup tetap berjalan dengan segala hiruk-pikuknya. Tapi di dalam ruang ibadah itu, ada kerinduan yang sama: ingin damai. 

Advertisement

Damai dalam hati. Damai dalam rumah. Damai dalam hidup.

Kesejatian Damai

Damai adalah kata yang indah, tapi tak selalu mudah diwujudkan. Karena dunia kita penuh gangguan. Tak hanya bising dari luar, tapi juga dari dalam: kegelisahan, penyesalan, rasa bersalah, luka-luka lama yang belum sembuh. 

Kita seperti para murid Yesus dalam Yohanes 20:19-31: berkumpul di balik pintu yang terkunci, diliputi ketakutan.
Yesus yang bangkit tidak mengetuk. Ia langsung hadir. Dan Ia berkata: "Damai sejahtera bagi kamu.”

Tiga kali Yesus mengucapkan itu dalam bagian ini. Bukan sekadar sapaan. Tapi kuasa. Sebuah sabda yang mengubah suasana. Sebelumnya ketakutan. Setelahnya sukacita. Para murid tidak hanya tenang—mereka diubah.

Itulah damai yang sejati. Damai yang tidak datang karena situasi tenang, tetapi karena kehadiran Tuhan.

Yesus menunjukkan tangan dan lambung-Nya. Luka-Nya bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk mengingatkan: pengampunan itu ada harganya. Ia sudah membayar lunas dengan tubuh-Nya. 

Dan karena itu, kita yang percaya tak lagi hidup dalam kutukan, tapi dalam kasih. Dalam pengampunan itu, damai tumbuh. Seperti mata air yang mengalir dari tempat terdalam.

Kita hidup dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan. Salah sedikit, dicemooh. Gagal sekali, dilupakan. Tapi Yesus datang dengan cara yang berbeda. Ia tidak menghakimi murid-murid yang lari saat Ia disalibkan. Ia datang memberi damai. Dan Ia mengutus mereka:
“Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.”

Ia bukan hanya memberi damai untuk dinikmati. Tapi juga untuk dibagikan.

Itulah sebabnya kita bukan hanya penerima, tapi juga pembawa damai. Dalam Kisah Para Rasul 5:12-16, para rasul melanjutkan misi itu. Mereka menyembuhkan, memberkati, menyatukan. Komunitas yang dulu tercerai-berai kini hidup dalam satu ikatan kasih. Ketika damai dengan Allah terjalin, relasi antar sesama pun ikut dipulihkan.

Begitu juga dengan kita. Di rumah, di kantor, di gereja—kita bisa menjadi pribadi yang menyejukkan atau menyulut api. Kita bisa menjadi perpanjangan tangan damai Tuhan, atau malah menyimpan luka lalu mewariskannya ke sekitar. Pilihan ada di kita. Tapi panggilan Tuhan jelas: Hiduplah dalam damai sejahtera.

Damai itu bukan untuk disimpan seperti harta karun. Yohanes, dalam pengasingannya di Patmos, menerima perintah untuk menyampaikan penglihatan tentang Yesus yang mulia (Wahyu 1:9-19). 

Ia melihat Sang Anak Manusia berdiri di tengah-tengah kaki dian, dengan suara seperti desau air bah. Dan Yesus berkata:
“Jangan takut. Aku adalah Yang Awal dan Yang Akhir, dan Yang Hidup. Aku telah mati, namun lihatlah, Aku hidup sampai selama-lamanya...”

Pesan ini menjadi pengingat: damai bukan berasal dari situasi yang aman, tapi dari perjumpaan dengan Kristus yang hidup.

Hari ini, kita pun dipanggil menjalani peran sebagai imam, raja, dan nabi:

Sebagai imam, kita mendamaikan. Mendamaikan antara diri sendiri dengan Tuhan, antara keluarga dengan kasih, antara sesama dengan pengertian.

Sebagai raja, kita memimpin dengan cinta, bukan kuasa. Kita menjaga keharmonisan, memperjuangkan yang benar, meski kecil.

Sebagai nabi, kita bersaksi lewat tindakan. Kata-kata boleh sederhana, tapi hidup kita berbicara banyak. Lewat senyum, lewat kesetiaan, lewat pengampunan yang kita berikan meski hati masih sakit.

Kita tidak harus sempurna untuk memulai. Kita hanya perlu membuka pintu. Karena kadang, damai itu datang saat kita berhenti bersembunyi. 

Kita izinkan Tuhan masuk, dengan tangan-Nya yang berlubang, dan suara-Nya yang lembut: "Damai sejahtera bagi kamu.” (*)

Refleksi Penutup

Sudahkah aku sungguh mengalami damai Kristus dalam hidupku?

Atau aku masih mengunci diriku karena takut, kecewa, atau marah?
Apakah aku bersedia menjadi pembawa damai bagi sesama—di rumah, di komunitas, di tempat kerja?

Karena damai sejahtera bukanlah hadiah untuk disimpan, melainkan benih yang harus ditanam dan disirami.

Doa Penutup:

Tuhan Yesus yang bangkit,
Engkau datang membawa damai kepada para murid-Mu yang ketakutan.

Datanglah juga dalam hidupku, pulihkan hatiku, ampuni dosaku,
dan perbarui relasiku dengan-Mu.
Jadikanlah aku alat damai-Mu,
agar melalui kata-kata, sikap, dan perbuatanku,
orang lain boleh melihat wajah kasih-Mu dan mengalami kehadiran-Mu.

Bimbinglah aku untuk setia menjalankan peranku sebagai imam, raja, dan nabi,
demi kemuliaan nama-Mu dan damai bagi dunia ini.
Amin.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Khoirul Anwar
Publisher : Rifky Rezfany

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES