Gaya Hidup

Renungan Minggu: Kala Taat Menjadi Titik Balik

Minggu, 11 Mei 2025 - 07:07 | 40.46k
Ilustrasi
Ilustrasi
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Pagi hari di danau Tiberias. Kabut tipis menggantung di atas permukaan air. Perahu-perahu kecil tampak mengayun perlahan, lelah ditinggal malam. 

Di salah satu perahu itu, ada Petrus dan kawan-kawannya. Mereka memancing semalaman, namun hasilnya nihil. Jala kosong. Hati pun ikut kosong.

Advertisement

Bukan pertama kalinya mereka melempar jala. Mereka adalah nelayan kawakan. Tapi semalam, semua keterampilan seolah tak berguna. Tak ada satu ikan pun yang masuk. Lelah, lapar, kecewa.

Begitu juga hidup, bukan? Ada masa-masa kita merasa sudah melakukan segalanya—bekerja keras, berdoa, berharap—namun hasilnya tetap kosong. 

Jala dan Kehidupan

Seperti melempar jala ke laut hampa. Rasanya ingin menyerah. Ingin kembali ke hal-hal lama yang setidaknya bisa ditebak. Seperti Petrus, yang kembali ke perahu setelah hari-hari kebangkitan yang membingungkan.

Namun pagi itu berbeda. Di tepi danau, berdirilah seseorang yang awalnya tak mereka kenal. Ia hanya berkata, “Tebarkanlah jalamu di sebelah kanan perahu.”
Dan mereka menurut.

Taat.
Sesederhana itu.
Tebar jala di sisi yang berbeda.

Bukan strategi yang luar biasa. Bukan metode baru. Hanya berpindah sisi. Tapi di sanalah mujizat terjadi. Jala mereka penuh. Penuh sampai hampir koyak. 

Dan tiba-tiba, mereka tahu siapa yang berdiri di pantai itu. “Itu Tuhan!” seru Yohanes.

Petrus, yang dulu menyangkal, kini meloncat dari perahu. Ia berenang. Ia tidak sabar menanti perahu bersandar. Ia ingin segera bertemu. Karena saat mujizat terjadi, hati tak bisa menunggu.

Begitulah hidup orang percaya. Mujizat bukan soal keajaiban spektakuler. Kadang ia muncul dari ketaatan kecil. 

Dari keputusan untuk tetap percaya meski hasil belum nampak. Dari kesediaan untuk berpindah sisi—dari logika ke iman, dari keluh ke pujian, dari rutinitas ke pengharapan.

Dan Tuhan tidak hanya hadir untuk memberi ikan. Ia hadir untuk menyapa hati.

Ia menyalakan api, memanggang ikan dan roti—sebuah sarapan sederhana namun penuh makna.
Ia memanggil Petrus, mengajak berbicara secara pribadi.

“Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”

Pertanyaan ini muncul tiga kali. Sama seperti tiga kali Petrus pernah menyangkal-Nya. Tapi ini bukan penghakiman. Ini adalah pemulihan. 

Setiap “ya” dari Petrus seakan menambal robekan dalam relasi mereka. Dan Yesus pun berkata, “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”

Kasih bukan hanya kata-kata. Ia adalah perintah. Ia menjadi panggilan.

Kalau kamu mengasihi Tuhan, kamu akan menggembalakan. Kamu akan peduli. Kamu akan mengangkat, bukan menjatuhkan. Kamu akan menyapa yang sunyi, merangkul yang tersisih, menguatkan yang lemah.

Sementara itu, di bagian lain kisah, para rasul menghadapi tantangan. Dalam Kisah Para Rasul 5, mereka diadili, dimarahi, bahkan dilarang untuk mengajar dalam nama Yesus. 

Tapi jawaban mereka sungguh sederhana dan kuat:
“Kami harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia.”

Taat. Lagi-lagi kata itu muncul. Taat bukan ketika semua mudah. Tapi justru saat jalan terasa sempit. Saat dunia tidak mendukung. Saat kita harus memilih: nyaman atau setia.

Yang menarik, setelah dipukul dan dihardik, para rasul tidak pulang dengan murung. Mereka justru bersukacita. Ya, bersukacita karena dianggap layak menderita demi nama Yesus.

Itulah buah dari ketaatan. Bukan hanya mujizat lahiriah, tapi juga sukacita batiniah. Damai yang tak bergantung pada situasi. Semangat yang tak padam walau dunia gelap.

Refleksi Diri

Hari ini, kita pun diajak untuk berefleksi. Ketika segala usaha kita terasa sia-sia—sudahkah kita membuka ruang bagi Tuhan?
Sudahkah kita bertanya, bukan sekadar “apa lagi yang harus kulakukan?”, tapi “apa yang Tuhan kehendaki?”

Karena terkadang, solusi bukan soal lebih keras bekerja, tapi lebih lembut mendengarkan.
Lebih siap taat.

Dan ketika Tuhan bertanya, “Apakah engkau mengasihi Aku?”, kita diajak menjawab bukan hanya dengan mulut, tapi dengan tindakan. Dengan pelayanan. Dengan menggembalakan. 

Siapa domba-domba kita? Bisa jadi anak yang rewel. Orang tua yang mulai pikun. Rekan kerja yang menjengkelkan. Atau bahkan diri sendiri, yang terus butuh dibimbing dalam kasih.

Kesimpulannya, Tuhan tidak menuntut kesempurnaan. Ia hanya ingin hati yang mengasihi dan bersedia taat.

Dari situ, mujizat bisa tumbuh. Dari situ, sukacita bisa mengalir. Dari situ, hidup bisa berubah.

Taat bukan beban. Tapi jembatan.
Menuju pemulihan. Menuju kelimpahan. Menuju Tuhan itu sendiri.

Doa Penutup

Tuhan Yesus,
Ketika hidupku seperti jala yang kosong,
ajarku untuk tetap percaya dan menantikan kehadiran-Mu.
Bila Engkau memintaku berpindah sisi, beri aku hati yang taat.
Ketika Engkau bertanya, “Apakah engkau mengasihi Aku?”,
biarlah jawabanku bukan hanya suara, tapi juga perbuatan.
Ajari aku menggembalakan mereka yang Kau percayakan,
dan setia pada panggilan-Mu meski jalan tidak mudah.
Aku percaya, ketika aku taat, Engkau hadir dengan mujizat-Mu.
Amin. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Khoirul Anwar
Publisher : Rifky Rezfany

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES