Bali Jawi: Samara Jawa, Membawa Semar Kembali untuk Manusia

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Sabtu malam ini, 17/5/2025, gedung Societet Militair di kompleks Taman Budaya Yogyakarta (TBY), sejak pukul 18.30 wib sudah dipenuhi penonton yang mengular dari pintu masuk gedung pertunjukan. Kebanyakan dari penonton itu membeli tiket secara online dengan harga 50k. Sedangkan yang lainnya membeli tiket on the spot seharga 70K. Antusiasme tinggi dari para penonton tersebut membuat jadwal pertunjukan repertoar tari Bali Jawi: Samara Jawa, yang jadwalnya akan dimulai pukul 19.00 WIB, harus mundur beberapa waktu. Pertunjukan baru dimulai pukul 19.30 WIB.
Gedung Societet Militair berkapasitas 300 kursi telah terisi penuh oleh penonton. Suasana tiba tiba hening. Ruangan menjadi gelap. Dari atas panggung tercium bau dupa yang samar-samar menguar menuju area kursi penonton. Bagi Anter Asmorotedjo, ini adalah malam yang teramat sakral, bukan hanya karena sebuah repertoar tari yang akan ia pentaskan. Lebih dari itu, bagi Anter Asmorotedjo trilogi Bali Jawi: Samara Jawa adalah puncak spiritualitas dirinya dalam berkesenian.
Advertisement
Repertoar tari Bali Jawi: Samara Jawa karya Anter Asmorotedjo. (Foto: Eko Susanto/TIMES Indonesia)
Anter Asmorotedjo adalah seniman yang memang dikenal selalu konsisten dalam menggali nilai nilai spiritualitas Jawa. Bali Jawi: Samara Jawa adalah puncak perjalanan spiritualitas Anter Asmorotedjo yang telah dimulai sejak 2018, saat Bali Jawi bagian pertama dari trilogi ini dipentaskan untuk pertama kalinya pada Minggu, 27/5/2018, di atas panggung gelaran ArtJog.
Dalam Bali Jawi: Samara Jawa, Semar bukan sekadar tokoh punakawan dalam wayang purwa. Ia bukan lagi hanya pelipur lara atau juru bijak para ksatria. Di tangan Anter Asmorotedjo, Semar menjelma menjadi simbol energi penjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan jagat buana yang tak terlihat. Semar hadir laksana “roh pengingat” bagi manusia Jawa yang, menurut Anter, mulai tercerabut dari akar budayanya sendiri.
“Semar adalah laku. Bukan hanya tokoh,” ujar Anter Asmorotedjo pada TIMES Indonesia.
Semar, lanjut Anter, adalah manifestasi dari nilai-nilai luhur yang sudah lama ditinggalkan dan dilupakan. Jadi, pertunjukan ini adalah upaya saya sebagai seniman tari untuk mengingatkan kembali, bahwa ada yang sedang hilang dari diri kita sebagai bangsa, sebagai manusia Jawa.
Proses Penciptaan Bali Jawi
Dalam Bahasa jawa bali berarti pulang, dan jawi bermakna Jawa. Anter Asmorotedjo menjelaskan, secara harfiah Bali Jawi berarti "pulang ke Jawa", namun bukan sekadar pulang secara fisik. Frasa Bali Jawi adalah ajakan untuk kembali kepada nilai-nilai, tata krama, falsafah, dan spiritualitas Jawa yang berakar pada harmoni, welas asih, serta kesadaran akan keterhubungan manusia dengan semesta.
Gagasan besar ini tumbuh dari kegelisahan personal Anter Asmorotedjo yang merasa terusik oleh berbagai peristiwa diskriminasi terhadap praktik kepercayaan asli Jawa, terutama ritual pemujaan leluhur yang sering dianggap sesat atau tidak sesuai dengan arus utama keagamaan.
“Padahal di dalamnya tersimpan ajaran luhur, tentang kasih sayang, hormat kepada orang tua, hingga laku batin,” katanya.
Untuk merespons keresahan tersebut, Anter kemudian melakukan proses penciptaan Bali Jawi. Selama beberapa tahun Anter Asmorotedjo turun ke lapangan. Ia menelusuri langsung praktik-praktik ritual di desa-desa, berbicara dengan para pelaku tradisi, merasakan atmosfer spiritual yang selama ini jauh dari keramaian kota.
Anter tidak hanya turun ke lapangan, proses penciptaan Bali Jawi juga menelisik beragam sumber Pustaka yang ditulis para ahli. Anter membaca banyak buku sebagai sumber kajian dalam periode panjang proses penciptaan seperti buku berjudul “Agama Jawa” karya Suwardi Endraswara, “Filsafat Jawa” tulisan Heniy Astiyanto, juga buku berjudul “Moving for Within” tulisan Alma M. Hawkins yang diterjemahkan oleh I Wayan Dibia. Lalu buku “Karya Cipta Seni Pertunjukan” yang memuat tulisan beberapa penulis. Dari buku ini Anter fokus pada Sub judul “Riset Artistik- Koreografi di Lingkungan Akademik” yang ditulis oleh Martinus Miroto.
Adegan Semar yang dirapal mantra oleh penari perempuan dalam repertoar tari Bali jawi: Samara Jawa karya Anter Asmorotedjo. (Foto: Eko Susanto/TIMES Indonesia)
Tidak cukup dengan riset Pustaka, sumber pinciptaan Bali jawi juga terinspirasi dari karya tari yang di dalamnya Anter Asmorotedjo terlibat sebagai penari, seperti karya “Pager Bumi: Jalan Sunyi Manusia Jawa” yang diciptakan sutradara film Garin Nugroho pada tahun 2017. Juga karya tari berjudul “Dancing Shadow” yang merupakan karya koreografer Martinus Miroto tahun 2002. Semua pengalaman itu dikumpulkan, lalu dituangkan ke dalam bentuk gerak, musik, busana, hingga artistik panggung.
Oleh karenanya, pertunjukan trilogi Bali Jawi: Samara Jawa malam ini terasa sangat sakral bagi Anter Asmorotedjo karena pementasan trilogy Bali Jawi: Samara Jawa ini bertepatan pula dengan peringatan 1000 hari wafatnya koreografer Martinus Miroto, yang sejak awal proses penciptaan membimbingnya dalam periode panjang proses penciptaan. Sehingga pertunjukan Bali Jawi: Samara Jawa malam ini juga dipersembahkan oleh Anter Asmorotedjo untuk mengenang Alm. Martinus Miroto.
Samara Jawa Kolaborasi dengan Bunyi Elektronik
Keotentikan Bali Jawi: Samara Jawa tidak hanya terletak pada narasi spiritualitasnya, tetapi juga pada pendekatan estetikanya. Dalam repertoar Bali Jawi: Samara Jawa, kali ini Anter Asmorotedjo menggandeng komposer muda Agung Widanta, yang meramu musik elektronik dengan unsur gamelan tradisional. Hasilnya adalah hamparan bunyi bernuansa mistis sekaligus modern. Hamparan gelombang bunyi yang menyebar di seluruh Gedung pertunjukan berkapasitas 300 tempat duduk itu seperti menciptakan ruang transisi antara dunia spiritual dan realitas sehari-hari. Bunyi itu kadang lindap. Kadang bergerak cepat. Kadang lirih, terasa sedih. Dalam repertoar trilogi Bali Jawi: Samara Jawa malam ini, Agung Widanta sebagai komposer musik pengiringnya layak diacungi dua jempol. Karena nuansa bunyi dari Agung widanta tidak hanya memberi ruh pada jagat panggung melainkan juga meringkus penonton di tempat duduk agar tetap berada dalam ruang sadarnya.
Sementara tubuh-tubuh penari di panggung bergerak mengikuti denyut yang tidak selalu harmonis. Ada ketegangan, ada kekosongan, ada ledakan emosi. Namun dalam pusaran itu, Semar selalu hadir sebagai pusat. Kadang hanya lewat pantulan bayangan, kadang muncul sebagai sosok tua bertopeng. Ia adalah sang samar, yang ada dalam ketidakterlihatan. Yang ada dan tiada. Yang nyata namun samar.
Lebih lanjut Anter Asmorotedjo menjelaskan bahwa gagasan Bali Jawi berlandaskan pada konsep sedulur papat lima pancer dan Sang Hyang Taya. Keduanya adalah ajaran spiritual Jawa yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari unsur jasmani dan ruhani yang saling berkelindan. Dalam dunia yang penuh distraksi dan kehilangan arah, ajaran ini menjadi cermin refleksi yang kuat, ujarnya.
Trilogi yang Menutup dengan Kepergian
Sebagai bagian akhir dari trilogi Bali Jawi, Samara Jawa mengambil tema kepergian Semar, bukan sebagai akhir, melainkan permulaan. Sebuah perpisahan yang mengandung ajakan untuk memulai perjalanan pulang. Dalam salah satu adegan yang menggetarkan, para penari sambil membawa nyala lilin memanggil nama Semar dengan irama rapal, mengutip doa karya Romo Sindhunata:
“Mbulan-mbulan lintang,
Yen aku kelangan samar,
Aku ora bisa nyawang,
Sejatine Pangeran,
Kang nyata ing samar.”
Bait tersebut menjadi titik puncak emosi pertunjukan Samara Jawa. Suasana Gedung pertunjukan hening. Dalam bias cahaya lampu panggung, penonton terhanyut oleh rapal mantra yang lirih. Beberapa dari barisan penonton itu bahkan ada yang matanya berkaca kaca. Bukan karena sedih, tetapi karena merasa disentuh oleh sesuatu yang telah lama terlupakan yakni ingatan akan rumah batin bernama Jawa.
Penutup yang Membuka
Dalam dunia seni pertunjukan yang kerap didominasi oleh estetika populer dan global, kehadiran karya tari seperti Bali Jawi: Samara Jawa terasa seperti oase yang bening sekaligus menyegarkan bagi yang dahaga; bagi jiwa yang kering kerontang. Bali Jawi: Samara Jawa bukan sekadar tontonan, tetapi juga tuntunan, sekaligus bentuk perlawanan kultural terhadap kealpaan kolektif.
Melihat perjalanan panjang proses penciptaannya, mulai dari Bali Jawi hingga trilogy Bali Jawi: Samara Jawa, nampak nyata melibatkan pengalaman subjektif yang belum tentu bisa dirasakan banyak orang. Namun setidaknya, dengan mengangkat nilai-nilai spiritualitas Jawa, Anter Asmorotedjo tidak hanya sekadar menciptakan karya tari. Ia membuka ruang dialog bagi masyarakat untuk kembali menengok jati diri mereka. Bali Jawi: Samara Jawa lazimnya Semar yang hadir tanpa pamrih, karya ini pun mengendap diam-diam, menyapa batin mereka yang siap pulang. Pulang ke rumah batin bernama Jawa. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |