Gaya Hidup

Menjadi Imam yang Rela Berkurban di Zaman Modern

Jumat, 06 Juni 2025 - 15:56 | 26.39k
Ilustrasi
Ilustrasi
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Hari Raya Idul Adha bukan sekadar ritual tahunan penyembelihan hewan kurban. Ia adalah momen spiritual yang begitu dalam. Mengajak kita semua meneladani kepasrahan total Nabi Ibrahim AS terhadap perintah Allah SWT. 

Bahkan ketika perintah itu begitu berat. Mengorbankan putra yang sangat dicintainya, Ismail.

Advertisement

Namun Idul Adha bukan hanya tentang kisah lampau. Di balik darah yang mengalir dan daging yang dibagikan, ada pesan universal yang selalu relevan. Tentang pengorbanan, tentang keikhlasan, dan tentang panggilan menjadi imam (pemimpin) dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kurban Sebagai Gaya Hidup

Dalam kisah Ibrahim, kita melihat potret seorang ayah, seorang pemimpin, yang diuji pada titik paling dalam dari cintanya. Sebuah pertarungan batin yang barangkali tidak akan kita alami dalam bentuk yang sama. Namun,  sangat mungkin kita alami dalam bentuk-bentuk lain hari ini.

Hari ini, kita mungkin tidak diminta menyembelih anak. Tapi apakah kita bersedia mengorbankan ego, kenyamanan, dan ambisi pribadi demi sesuatu yang lebih besar. Sesuatu itu bisa berupa keluarga, komunitas, dan nilai-nilai yang kita yakini benar?

Kurban sejatinya adalah tentang itu. Melepaskan apa yang paling kita genggam untuk sesuatu yang lebih tinggi nilainya.

Itulah mengapa Idul Adha begitu relevan untuk direnungkan kembali dalam konteks modern.

Menjadi Imam dalam Keluarga: Kurban Waktu dan Diri

Bagi seorang ayah, atau siapapun yang memegang peran sebagai kepala rumah tangga, menjadi imam bukan hanya soal memimpin sholat berjamaah. Ia adalah panggilan untuk menjadi teladan dalam kesabaran, kasih sayang, dan keteguhan hati.

Kurban dalam keluarga hari ini bisa berarti menunda kesenangan pribadi demi hadir penuh dalam pertumbuhan anak. Bisa berarti melawan ego saat konflik terjadi, dan memilih diam demi menjaga kedamaian. 

Bisa juga berarti menyisihkan waktu dari kesibukan kerja hanya untuk mendengar cerita istri dan anak, meski tubuh sudah lelah luar biasa.

Nabi Ibrahim tidak hanya memerintah Ismail untuk taat. Ia terlebih dahulu menunjukkan taat yang konkret—sampai di titik bersedia mengorbankan apapun, termasuk anaknya, demi ketaatan kepada Allah. 

Keteladanan ini menjadi dasar spiritual bahwa kepemimpinan dalam keluarga tidak bisa dilepaskan dari kerelaan berkorban.

Menjadi Imam dalam Pekerjaan: Kurban Prinsip dan Etika

Di dunia kerja, tantangan menjadi imam bahkan bisa lebih kompleks. Di tengah tekanan target, kompetisi, dan kadang godaan untuk bermain “jalan pintas”, kita dipanggil untuk menjadi pemimpin yang jujur, adil, dan punya integritas.

Berkurban di sini bisa berarti menolak godaan untuk mengambil keuntungan dengan cara tidak halal. Bisa juga berarti memperjuangkan nilai kejujuran meski harus berhadapan dengan sistem yang tidak ramah pada integritas. Atau sesederhana berbagi pekerjaan dengan rekan yang sedang kelelahan, meski itu tidak masuk deskripsi tugas kita.

Menjadi imam di tempat kerja adalah tentang melayani lebih dulu, bukan dilayani. Kita menjadi pemimpin bukan untuk mendapatkan kehormatan, tapi untuk menciptakan ruang kerja yang manusiawi, adil, dan membawa kebaikan bagi banyak orang.

Menjadi Imam dalam Komunitas: Kurban Kepentingan Pribadi

Dalam masyarakat yang makin terfragmentasi oleh perbedaan, kita juga dipanggil untuk menjadi imam yang merangkul, bukan memecah. Di sini, kurban bisa berarti mengorbankan kepentingan kelompok sendiri demi kemaslahatan bersama. 

Bisa berarti berdiri membela yang tertindas, walau suara kita jadi minoritas. Bisa juga berarti rela bekerja di balik layar tanpa nama disebut-sebut, demi perubahan yang berarti.

Tantangan terbesar dalam berkurban di ruang publik adalah ketulusan. Apakah kita melakukannya sungguh-sungguh demi kebaikan, atau sekadar citra? 

Semangat Idul Adha mengajarkan, bahwa kurban yang diterima Allah bukan yang paling besar nilainya, tetapi yang paling dalam keikhlasannya.

Kurban sebagai Jalan Menjadi Imam Sejati

Menjadi imam sejati dalam dunia modern bukanlah tugas ringan. Dunia hari ini dipenuhi dengan godaan untuk hidup bagi diri sendiri. Namun justru di sinilah relevansi kurban menjadi nyata. 

Ia menjadi panggilan untuk hidup tidak hanya bagi diri kita sendiri, tetapi juga bagi mereka yang kita pimpin, kita cintai, dan kita layani.

Idul Adha mengingatkan kita: kepemimpinan sejati tidak lahir dari kekuasaan, tapi dari kerelaan untuk berkurban demi yang lain. Nabi Ibrahim tidak diperingati karena kekuatan, tapi karena kepatuhan. Dan Ismail dipuji bukan karena pencapaiannya, tapi karena ketaatannya.

Mari kita bertanya kepada diri sendiri hari ini:
Apa yang bisa saya korbankan, agar orang lain bisa hidup lebih baik?

Apa yang harus saya lepaskan, agar saya bisa menjadi imam yang lebih sejati?

Semoga semangat kurban tidak berhenti di tempat penyembelihan. Tapi terus mengalir dalam keputusan-keputusan kecil harian kita. Di rumah, di kantor, dan di masyarakat. 

Dan semoga dengan itu, hidup kita pun menjadi kurban yang hidup, yang harum di hadapan Allah dan membawa berkah bagi sesama.

”Selamat  Idul Adha. Taqabbalallahu minna wa minkum”. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Khoirul Anwar
Publisher : Rifky Rezfany

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES