
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Miliki hati yang menolak maksiat, ga seneng maksiat. Apalagi bisa melarang dengan tangan. Sebab pengaruhnya pada rizki dan doa. Bisa kehalang. Misal, ada acara TV yang ngumbar aurat, ada yang maen judi, ada bar atau diskotik yang buka, miliki hati yang “perduli”, lalu minimal doa.
Sebab kalau kita permisif. Gapapa, situ ini yang ngumbar aurat. Situ ini yang menikmati aurat. Situ ini yang judi… Bukan saya, bukan kami… Situ yang mabok koq, situ yang zina koq. Bukan saya, bukan kami. Situ yang korupsi. Dosa, ya dosa situ. Yang penting bukan saya…
Advertisement
Nah, kalau permisif kayak gitu, maka khawatirlah bahwa apa yang dikhawatirkan Rasul, bisa terjadi… Apa tuh?
Yakni ketika kalian berdoa, ga kunjung dikabulkan. Ketika tau-tau kesusahan dihadirkan. Ketika rizki begitu seret…
Kita barangkali bukan pelaku dosa itu, dan bukan penikmat juga. Misal, bukan termasuk penikmat tayangan TV yang akhlaknya kaco… Atau bukan pelaku judi, zina, mabok, dan lain-lain., dan juga bukan penikmat. Tapi karena kita cuek aje, maka ya kena juga azab itu…
Sungguh, akan datang satu masa, di mana yang kena azab, kena asapnya azab, bukan hanya yang berdosa di antara kalian… Namun bukan berarti lalu kita dateng ke sana, ke tempat-tempat maksiat, atau bertindak anarkis. Bukan. Itu juga ga arif. Ga bijak.
Yang dimaksud tulisan ini, milikilah hati yang minimal menolak. Jangan membiarkan. Apalagi ikut menikmati. Daaaannn
Dan kalau pun bisa mengubah dengan tangan, adakan pendekatan, beri pendidikan, beritahu, ajak dengan cara-cara yang santun… Dan selamatkan juga anak-anak, keluarga, dan keluarga-keluarga Indonesia, dari maksiat, dengan pencerahan, pendidikan, dan nasihat.
Bukan dengan kekerasan. Tapi kekerasan sendiri, bukan ga boleh dipake. Kalo udah kelewatan, ya kudu dipake itu kekerasan. Gapapa. Cuma, maju dulu dengan cara-cara yang elegant, terapi pencegahan, dan punya hati yang tidak membiarkan. Jangan cuek.
Misal, ketika liat TV yang kaco-kaco, acara musik, yang auratnya terbuka masyaAllah, apakah kita langsung jebret, ambil remote, matiin TV? Atau sekalian matiin listriknya? He he he. InsyaAllah dah, jadi gelap. Ga perlu langsung begitu. Kita akan jadi musuh anak.
Lakukan, misalnya dialog… Nah, di sini emang perlu ilmu. Tentang apa yang dilarang Allah dan yang diseru-Nya. Termasuk soalan aurat.
Sebab kalo engga punya ilmu, maka ayah, ibu, anak, akan menganggap gapapa terbuka aurat, memperlihatkan, dan melihatnya.
Ngobrol dulu dengan anak. Kasih tau. Nak, punya mata, dari siapa? Siapa yang ngasih ngeliat? Apa tujuan Allah, Yang Punya Mata?
Apa ridho tuh Allah, Nak? Jika kamu make mata itu buat ngeliat pundak, paha, belahan dada, para penyanyi itu?
Apakah ridho Allah bila kamu memakai mata kamu buat melihat acara TV, yang pahanya kemana-mana? Sedang kamu harusnya kasian dengan mereka?
Ajak anak buka Quran, buka hadits-hadits, tentang azab Allah buat mereka yang memperlihatkan auratnya, dan menikmatinya. Sementara wajah kita tetap tersenyum. Yakin, jika diberitahu dengan hati, maka seribu kali tontonan itu ada, ga bakal ditonton.
Lalu ajak anak mendoakan mereka-mereka itu. Doakan. Jangan membenci. Sebab barangkali ga ada yang ngasih tau. Dianggepnya gapapa.
Di sini yang saya maksudkan, tanggung jawab dakwah itu luas. Hingga ketika diri, anak, keluarga, selamat, itu ga cukup.
Diri, anak, keluarga, dah ga liat, tapi orang lain masih melihat, acara TV masih berlangsung, lalu kita gimana? Minimal mendoakan. Doakan yang pada di TV, dan doakan keluarga-keluarga lain di Indonesia, supaya mengerti dan selamat. ‘n do something.
Misalnya, bikin buku saku, lalu sebar. Bikin pamflet, isi tentang perintah dan larangan persoalan aurat. Aktif dakwah. Inget, yang santun.
Begitu juga terhadap dosa-dosa yang lain, maksiat-maksiat yang lain. Lakukan seperti contoh yang saya berikan. Atau lebih kreatif lagi.
Ada sih yang kita ga boleh kompromi. Speed-nya kudu ditambah, misalnya ketika berhadapan dengan narkoba. Saya setuju dengan Mas Jody Waroeng. Bila terlambat pencegahan dan penanganan, kita bakal kehilangan anak kita.
Ok, mudah-mudahan paham ya? Saya sangat tidak menganjurkan kekerasan. Dakwah yang cantik. Yang memikat. Yang tidak membuat takut. Tapi sekali lagi, bukan berarti ga boleh. Tinggal persoalan kapan nya saja. Sebab terlalu lembek juga, diinjek.
Nah, di sini saya melihat, yang tidak ada batasnya. Yakni doa. Doa deh, supaya Allah bisa nyelametin, ngasih hidayah, dan ampunan.
Penuhi hati anak-anak kita, dengan pengajaran akhlak, dan juga contoh yang baik dari kita sebagai orang tuanya. Sementara, fiqh, ga dilupakan. Jangan sampe juga anak-anak kita tumbuh dengan kalimat-kalimat yang bahaya, “Yang penting jilbabin hati, ga perlu jilbabin kepala”.
Fiqh, akhlak, kudu serasi. Supaya ga juga bilang: “Mendingan ga shalat, daripada shalat tapi nipu…”. Wuah… Sepintas kayak benar…
Jangan sampe anak-anak kita berpandangan keliru. “Lebih baik ga Islam, ga usah bertuhan, tapi ga korupsi…”, wuih, bahaya, bahaya… Itu karena ga seimbang. Jadilah Nak, muslim yang shalat, ya ga nipu. Ya muslim, ya ga korupsi. Ya jilbab, ya cantik hati.
Eh eh eh, udah kebanyakan. Udah dulu ya. Doa ya. Pagi siang sore malam. Doa lebih hebat dari segala metode, cara, dan strategi.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Publisher | : Rochmat Shobirin |
Sumber | : YusufMansur.com |