Hukum dan Kriminal

Vonis Mati Sambo, Prof Sholehudin: Jangan Ributkan KUHP Baru, Mulai Berlaku 3 Tahun Nanti

Senin, 13 Februari 2023 - 21:23 | 49.73k
Ferdy Sambo divonis hukuman mati atas kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Hutabarat atau Brigadir J.
Ferdy Sambo divonis hukuman mati atas kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Hutabarat atau Brigadir J.

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Ferdy Sambo divonis hukuman mati atas kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Hutabarat atau Brigadir J.

Vonis terhadap Ferdy Sambo tersebut disampaikan oleh majelis hakim dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada Senin (13/2/2023).

Pakar Hukum Pidana dan Kriminologi Universitas Bhayangkara Surabaya (Ubhara) Prof M Sholehudin menilai vonis tersebut sudah tepat dan tak perlu publik meributkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru karena KUHP tersebut baru akan berlaku tiga tahun ke depan sejak disahkan pada 6 Desember 2022 lalu. 

Karena menilik mekanisme pidana mati dalam KUHP baru bahwa sepanjang masa percobaan terdapat perubahan sikap dan perbuatan terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan Keputusan Presiden, setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.

Ada pergeseran paradigma dalam KUHP baru terlihat dari sejumlah pasal-pasalnya. Salah satunya soal pengaturan hukuman mati yang berbeda pengaturannya sebagaimana tertuang dalam Wetboek van Strafrecht alias KUHP sebelumnya yang berlaku selama ini. 

Menurut Prof Sholehudin, bahwa vonis mati ini tidak ada kaitannya dengan KUHP Baru karena KUHP baru akan berlaku tiga tahun kemudian. 

"Berlakunya tiga tahun kemudian dan perkara ini kan sudah diputus dan kasus divonis. Kalau perkara ini belum diputus, sementara ada perundang-undangan baru, misalnya KUHP Baru sedang diberlakukan, maka yang digunakan adalah yang menguntungkan terdakwa. Begitu azas hukumnya. Itu namanya azas subsidialitas. Itu ada dalam Pasal 1 Ayat 2 KUHP sekarang yang masih berlaku," kata Prof Sholehudin kepada TIMES Indonesia, Senin (13/2/2023). 

Ia juga mengatakan, perkara persidangan Ferdy Sambo dalam aspek hukum pidana sudah dilakukan cukup baik dan benar sejak awal persidangan sampai pada putusan vonis hukuman mati, disebut memang sudah sesuai dengan fakta hukum. 

"Majelis hakim pun mempersilakan kepada masing-masing komponen dalam sistem peradilan pidana. Yaitu antara JPU dengan terdakwa yang diwakili kuasa hukumnya sudah secara adil memberikan kesempatan yang sama sesuai dengan hak-hak yang telah ditetapkan dalam perkara hukum pidana," ucap Prof Sholehudin. 

Ia melanjutkan dakwaan terhadap Ferdy Sambo bukan hanya melakukan tindak pidana pembunuhan berencana yang terbukti tapi juga kumulatif dan melakukan tindak pidana obstruction of justice meliputi menghalangi proses penyidikan dan menghancurkan barang bukti.

Kemudian, tambah dia, ancaman sanksi pidana terhadap obstruction of justice yang berkaitan dengan ITE sendiri juga belasan tahun. 

"Ini yang memberatkan. Kemudian juga pengakuannya berbelit-belit, tidak jujur dan sebagainya. Itu semua kan dalam fakta persidangan terbukti. Di situlah yang membuat vonis hakim secara maksimal dijatuhkan. Maksimal di sini artinya ancaman pidana maksimal untuk tindak pidana pembunuhan berencana itu sanksi pidana mati," bebernya. 

Prof Sholehudin menegaskan, bahwa vonis mati kepada Sambo sudah maksimal secara yuridis dan juga berdasarkan pertimbangan keadilan. Karena di dalam memutus perkara pidana, hakim bukan hanya berdasarkan minimal adanya dua alat bukti yang sah. Tetapi, hakim juga memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana itu dan dilakukan secara salah. 

"Itu kan di dalam tuntutan jaksa tidak ada hal-hal yang meringankan terdakwa. Nah, di sinilah hakim meskipun tuntutan jaksa itu seumur hidup untuk Ferdy Sambo, tetapi dalam proses peradilan pidana itu ultra petita itu boleh. Artinya, putusan melebihi tuntutan jaksa itu boleh. Beda dengan hukum perdata. Kalau hukum pidana itu boleh, hakim menjatuhkan vonis di atas tuntutan jaksa," jelasnya. 

Begitu pula karena memang dalam persidangan itu Sambo sudah terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan obstruction of justice sehingga hakim menetapkan putusan maksimal tersebut. 

Sebelumnya, Prof Sholehudin juga kerap memberikan pandangan terkait proses persidangan Ferdy Sambo selama ini. 

"Sejak dulu saya juga menyampaikan bahwa terdakwa melalui kuasa hukumnya ini, penasehat hukumnya sendiri itu mungkin ya menuruti. Andai saja tidak menuruti skenario dari terdakwa ini, bisa jadi lain. Kalau melihat fakta-faktanya ya. Terutama soal motif di sini," ujarnya. 

Namun, Prof Sholehudin juga menyoroti bahwa motif pembunuhan tidak diungkap secara jelas oleh majelis hakim di persidangan. 

"Motif tadi hanya diungkap disinggung bahwa Yoshua ini korban yang melakukan perbuatan yang membuat Putri Sambo ini sakit hati. Hanya begitu saja. Tidak diurai dengan lengkap berdasarkan atau merekonstruksi suatu peristiwa yang sudah menjadi fakta hukum dalam persidangan," ujar Prof Sholehudin.

"Contohnya begini ya, memang motif ini tidak menjadi unsur delik dalam dakwaan pembunuhan berencana itu. Sehingga tidak mempunyai kewajiban jaksa itu untuk membuktikan motif," katanya menambahkan. 

Tetapi bagi hakim, lanjut Prof Sholehudin, motif ini penting untuk menjatuhkan vonis dengan dasar keadilan bagi semua pihak. Keadilan itu bukan untuk keadilan korban saja. Namun juga ada keadilan bagi pelaku, bagi korban, bagi masyarakat, juga bagi negara. 

"Nah, setiap tindak pidana apalagi pembunuhan itu pasti ada motifnya. Kecuali kalau pelakunya itu orang gila, nggak ada motif. Tapi kalau orang normal melakukan pembunuhan berencana itu pasti ada motif," ucap dia. 

"Nah, untuk putusan hakim, motif itu sangat penting. Apa yang disebut hakim sebagai motif dalam persidangan itu hanya menutupi saja peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Tapi tidak terbukti pemerkosaan atau pelecehan itu. Malah JPU menyatakan ada perselingkuhan. Nah, saya menganalisis sejak dulu bahwa ini terjadi perselingkuhan. Hanya saja, saya mengatakan perselingkuhan murni artinya Yoshua ini terjebak perselingkuhan," papar Prof Sholehudin. 

Ia menyebut, andai saja sejak awal penyidikan atau awal persidangan terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candhrawati mengaku terus terang akan motif tersebut, maka ia memperkirakan vonis hakim akan berbeda. "Saya rasa akan berbeda. Tidak maksimal, kalau memang motifnya motif perselingkuhan," kata Prof Sholehudin.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES