Pemerintah Rencanakan Pengampunan Napi, WIBER Respon Begini
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andiryanto, berencana memberikan pengampunan massal kepada Narapidana (Napi) sebagai solusi overkapasitas lembaga pemasyarakatan (Lapas). Rencana tersebut mendapat sorotan dari berbagai pihak, salah satunya Wadah Indonesia Berbagi (WIBER), organisasi relawan yang berfokus pada pemberdayaan dan pendidikan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dan Napi Perempuan di Indonesia.
Ketua Umum WIBER, Gabby Mayangsari, mengatakan bahwa permasalahan overkapasitas Lapas memiliki persoalan yang lebih mendalam. Ia menyebutkan setidaknya terdapat tiga masalah mendasar yang seharusnya disikapi serius oleh pemerintah, yakni kebijakan pidana yang reaktif, minimnya alternatif pemidanaan, dan kurangnya fasilitas Lapas.
Advertisement
Ia menerangkan banyak Napi adalah pelaku tindak pidana ringan atau pengguna narkotika, yang seharusnya dapat ditangani melalui pendekatan alternatif seperti dekriminalisasi atau rehabilitasi.
Namun, Gabby melanjutkan, sistem peradilan terlalu mengandalkan hukuman penjara, sementara alternatif seperti pidana kerja sosial atau denda kurang diterapkan. Kondisi tersebut diperparah dengan jumlah Lapas yang tidak sebanding dengan kebutuhan populasi Napi.
“Jika akar masalah ini tidak diselesaikan, pengampunan massal hanya akan menjadi solusi sementara yang tidak menyelesaikan permasalahan mendasar,” jelas Gabby, kepada wartawan, di Jakarta (18/11/2024).
Di samping itu, Gabby menyebut setidaknya ada tiga risiko dan dampak kebijakan pengampunan massal. Pertama, risiko keamanan publik. Pasalnya, Napi yang dilepaskan tanpa evaluasi menyeluruh berpotensi mengulangi tindak pidana.
Ia menilik data statistik yang menunjukkan bahwa residivisme tinggi terjadi pada kasus tanpa program rehabilitasi yang efektif.
Selain itu, Gabby menilai, pelepasan Napi berisiko tinggi. Menurutnya, ada potensi dilepaskannya Napi yang masih memiliki pengaruh kriminal kuat, khususnya dalam kasus tindak pidana berat seperti kriminalitas, korupsi, kejahatan seksual, atau narkotika tingkat tinggi.
"Risiko dan dampak yang kedua adalah ketidakadilan sosial. Gabby menyoroti rencana tersebut harus melalui mekanisme seleksi yang transparan dan adil. Selain itu, kebijakan tersebut dapat memicu ketidakpuasan masyarakat dan narapidana yang tidak memenuhi syarat," bebernya.
Selain itu, Gabby juga mengingatkan pemerintah terkait dampak sosial-ekonomi. Menurutnya, rencana tersebut akan menjadi beban ekonomi lokal jika memperhatikan komunitas tempat Napi kembali mungkin lebih banyak yang tidak siap menerima gelombang besar mantan Napi.
Kondisi tersebut diperparah oleh minimnya akses pekerjaan dan membuat banyak narapidana yang dilepaskan tidak memiliki keterampilan kerja yang memadai. Hal itu memperbesar risiko pengangguran dan kriminalitas ulang.
Hasil kajian WIBER menilai bahwa sistem pemasyarakatan saat ini memiliki beberapa kelemahan mendasar. Misalkan program rehabilitasi yang tidak efektif, minimnya pendekatan restorative justice, hingga kurangnya transparansi. “Banyak kasus di mana narapidana mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat tanpa pertimbangan yang jelas,” terang Gabby.
Berbagai masalah tersebut, Gabby menjelaskan, ada beberapa solusi alternatif untuk mengatasi overkapasitas Lapas. Ia menyebutkan perlunya reformasi kebijakan pidana dan penguatan alternatif pemidanaan.
Selain itu optimalisasi program rehabilitasi dan reintegrasi, kerja sama dengan masyarakat, peningkatan fasilitas kemasyarakatan, dan reformasi remisi dan pengampunan.
“Pengampunan harus diberikan berdasarkan evaluasi yang objektif, melibatkan perilaku narapidana selama masa hukuman. Mantan narapidana harus mendapat bimbingan untuk mencegah mereka kembali ke jalur kriminal,” jelasnya.
Gabby mengingatkan pemerintah untuk melakukan kajian mendalam dengan melibatkan ahli hukum, kriminolog, dan perwakilan masyarakat dalam diskusi kebijakan, sebelum pengampunan massal diberlakukan.
“Jika pengampunan harus dilakukan, terapkan secara bertahap berdasarkan prioritas dan risiko residivisme. Lakukan sosialisasi tentang pengampunan massal untuk menghindari kesalahpahaman dan ketidakpercayaan publik,” ujar Gabby, menjelaskan.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Haris Supriyanto |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |