Hukum dan Kriminal

Eksekusi Mati Meningkat Tajam: Iran, Arab Saudi, dan Irak Jadi Penyumbang Utama

Selasa, 08 April 2025 - 11:30 | 24.28k
foto arsip - Kampanye penghentian hukuman mati oleh  Amnesty lnternational lndonesia pada 2019 silam. (ANTARA News / Azis Kurmala)
foto arsip - Kampanye penghentian hukuman mati oleh Amnesty lnternational lndonesia pada 2019 silam. (ANTARA News / Azis Kurmala)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTAAmnesty International mencatat lonjakan tajam jumlah eksekusi mati secara global pada 2024, dengan lebih dari 1.500 kasus tercatat—angka tertinggi sejak 2015. Tiga negara, yakni Iran, Arab Saudi, dan Irak, bertanggung jawab atas 90 persen dari total tersebut.

Seperti dikutip dari artikel dw.com, dan situs amnesty.id yang dipublikasikan Selasa (8/4/2025), Iran menjadi negara paling banyak melakukan eksekusi, setidaknya 972 kasus, meningkat dari 853 pada tahun sebelumnya. Arab Saudi juga mencatat rekor baru dengan sedikitnya 345 eksekusi, dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Sementara itu, Irak melaksanakan 63 eksekusi, hampir empat kali lebih banyak dibandingkan pada 2023.

Advertisement

Meski begitu, Amnesty menyebut Cina tetap menjadi negara dengan jumlah eksekusi terbanyak di dunia, meski datanya tidak dipublikasikan. Organisasi ini menduga ribuan eksekusi terjadi di sana. Korea Utara dan Vietnam juga dicurigai rutin menerapkan hukuman mati.

Hukuman Mati sebagai Alat Represi Politik

Peningkatan eksekusi di Arab Saudi terjadi di tengah janji reformasi dari Putra Mahkota Mohammad bin Salman yang sebelumnya menyatakan akan membatasi hukuman mati. Namun Amnesty menilai, justru represi terhadap perbedaan pendapat semakin kuat.

Otoritas Saudi diduga menggunakan hukuman mati untuk menekan kelompok minoritas, khususnya komunitas Syiah yang terlibat dalam aksi protes pada 2011–2013. Salah satu kasus kontroversial adalah eksekusi Abdulmajeed al-Nimr pada Agustus 2024 atas tuduhan terorisme. Padahal, dokumen pengadilan menunjukkan ia sebelumnya hanya terlibat dalam aksi demonstrasi.

“Kasus-kasus ini kerap dikemas dengan narasi terorisme oleh media, padahal tujuan sebenarnya adalah membungkam suara-suara kritis,” ujar Chiara Sangiorgio, pakar hukuman mati Amnesty International.

Hal serupa juga terjadi di Iran. Dua orang dieksekusi karena diduga terlibat dalam protes nasional buntut kematian Mahsa Amini tahun 2022. Salah satunya, Mohammad Ghobadlou, adalah pemuda 23 tahun dengan riwayat gangguan mental.

“Mereka yang berani menyuarakan kritik terhadap penguasa menghadapi hukuman paling ekstrem, terutama di Iran dan Arab Saudi,” kata Sekjen Amnesty, Agnès Callamard.

Kasus Narkoba

Lebih dari 40 persen eksekusi pada 2024 berkaitan dengan kasus narkoba. Singapura dan Cina menjadi negara yang masih gencar menerapkan hukuman mati untuk pelanggaran ini. Amnesty menilai kebijakan ini sering kali tidak adil karena menimpa individu dari latar belakang sosial-ekonomi yang lemah.

“Hukuman mati tidak terbukti ampuh menekan peredaran narkoba dan justru menargetkan mereka yang paling rentan,” ujar Callamard. Ia juga menyebut negara-negara seperti Maladewa, Nigeria, dan Tonga perlu mengkaji ulang wacana penerapan hukuman mati dalam kebijakan narkoba mereka.

Namun, ada perkembangan positif dari Malaysia yang memberikan pengampunan kepada sekitar 1.000 narapidana hukuman mati—sebagian besar terkait kasus narkoba—sebagai bagian dari reformasi hukum yang dimulai pada 2023. Negara tersebut juga menghapus ketentuan hukuman mati wajib.

Amerika Serikat: Demokrasi Tapi Masih Eksekusi

Di antara negara-negara demokrasi Barat, Amerika Serikat tetap menjadi pengecualian karena masih menerapkan hukuman mati. Meski jumlah eksekusi hanya sedikit meningkat dari 24 menjadi 25 pada 2024, Amnesty menyoroti tren yang mengkhawatirkan.

Empat negara bagian—South Carolina, Georgia, Utah, dan Indiana—kembali melaksanakan eksekusi setelah bertahun-tahun menghentikannya. Di Alabama, jumlah eksekusi bahkan meningkat dua kali lipat, termasuk penggunaan metode kontroversial gas nitrogen yang dikritik PBB karena berpotensi menyiksa.

Harapan dan Perubahan: Dukungan Global untuk Penghapusan Hukuman Mati

Di tengah kekhawatiran akan tren eksekusi, Amnesty juga mencatat titik terang: hanya 15 negara yang menjalankan hukuman mati pada 2024, angka yang stabil dalam dua tahun terakhir. Ini menunjukkan semakin banyak negara menjauhi praktik hukuman yang dinilai kejam dan tidak manusiawi.

Sebanyak 145 negara kini telah menghapus hukuman mati secara hukum atau tidak lagi menerapkannya dalam praktik. Untuk pertama kalinya, dua pertiga anggota Majelis Umum PBB mendukung moratorium global atas eksekusi mati.

Zimbabwe menjadi salah satu negara yang menghapus hukuman mati melalui undang-undang pada 2024, meski tetap menyisakan celah untuk digunakan dalam keadaan luar biasa. Sekitar 60 narapidana di negara itu diperkirakan akan mendapat pengurangan hukuman. Sejak 2021, enam negara Afrika lainnya juga telah mengambil langkah serupa.

“Apa yang terjadi di Afrika menunjukkan bahwa perubahan itu mungkin. Ini adalah kisah tentang harapan, komitmen terhadap hak asasi manusia, dan penolakan terhadap kekeliruan bahwa hukuman mati bisa menyelesaikan persoalan kejahatan,” kata Sangiorgio. 

Indonesia Masih Pertahankan Hukuman Mati

Di saat semakin banyak negara meninggalkan praktik hukuman mati, Indonesia belum menunjukkan perubahan signifikan dalam kebijakan hukumnya. Meski pelaksanaan eksekusi mati sudah tidak dilakukan sejak Juli 2016, vonis hukuman mati masih terus dijatuhkan oleh pengadilan.

Menurut data Amnesty International Indonesia, sepanjang tahun 2024, tercatat 85 orang dijatuhi hukuman mati dalam 75 perkara. Mayoritas terkait pelanggaran hukum narkotika, yaitu 64 terdakwa dari 57 kasus, sementara sisanya berasal dari kasus pembunuhan, dengan 21 terdakwa dari 18 kasus.

Memasuki tahun 2025, praktik ini masih berlanjut. Dalam kurun waktu Januari hingga Maret saja, pengadilan telah memvonis mati 21 orang dari 21 kasus berbeda.

Salah satu vonis dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Medan, Sumatra Utara, pada 6 Maret lalu, terhadap seorang terdakwa dalam perkara narkotika. Sementara itu, di Pengadilan Negeri Kabanjahe, pada 17 Maret, jaksa penuntut umum menuntut hukuman mati bagi tiga terdakwa dalam kasus pembunuhan seorang jurnalis dan keluarganya di Kabupaten Karo. Namun, dalam sidang putusan pada 27 Maret, dua terdakwa divonis penjara seumur hidup dan satu lainnya dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. (dw/amesty.id)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES