Aktivis PMII Pertanyakan Kontruksi Perkara Korupsi DPRD Kota Banjar Rp3,5 Miliar

TIMESINDONESIA, BANJAR – Perhitungan kerugian negara sebesar Rp3,5 Miliar atas perkara dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi pada anggaran Sekretariat DPRD Kota Banjar Tahun 2017 sampai 2021 rupanya tidak hanya dinikmati sendiri oleh Ketua DPRD yang kini telah menyandang status sebagai tersangka.
Kerugian yang disebut Sri Haryanto, SH, MH, Kepala Kejaksaan Negeri Kota Banjar, usai menetapkan DRK sebagai tersangka merupakan hasil perhitungan kerugian yang dihitung oleh Inspektorat Daerah.
Advertisement
"Dari nominal 3,5 miliar rupiah yang dinikmati pimpinan dan anggota DPRD, setiap orangnya memiliki jumlah yang berbeda-beda. Kami harap dengan kesadarannya sendiri agar mereka melakukan pengembalian secepatnya kerugian negara tersebut," imbau Kajari.
Inspektur pada Inspektorat Daerah Kota Banjar, Agus Muslih, saat dimintai keterangan mengungkap bahwa nilai tersebut merupakan akumulasi dari seluruh penerima tunjangan, termasuk semua anggota dewan dan pimpinan.
"Jadi bukan hanya Ketua DPRD Banjar saja karena perhitungan kerugian negara tersebut mencakup tunjangan yang dinikmati seluruh anggota dewan selama lima tahun," jelasnya, Rabu (23/4/2025).
Kendati nilai dari kerugian sudah dibuka pihak Kejaksaan, Agus Muslih enggan merinci besaran jumlah kerugian yang harus dikembalikan setiap anggota maupun pimpinan DPRD.
"Semua data sudah ada di penyidik kejaksaan," ungkapnya.
Terkait berapa orang yang harus mengembalikan kerugian, Agus menyebut ada puluhan anggota DPRD periode dari 2017 hingga 2021 yang telah tercatat harus mengembalikan kerugian walau dirinya enggan menyebut secara gamblang.
"Pastinya banyak karena anggota dewan pada masa itu juga ada yang mendapatkan PAW juga," imbuhnya.
Inspektorat Kota Banjar sebelumnya disebut Agus secara rutin melakukan pengawasan ke Sekretariat DPRD sebagai salah satu OPD besar.
"Termasuk BPK ya. Kita setiap tahun lakukan pengawasan tapi kan tidak spesifik ke arah sana tergantung dari ruang lingkup dan tujuan pemeriksaan," tandasnya.
Instruksi pengembalian kerugian tunjangan oleh Kajari, ditanggapi Rully Indra, mantan Anggota DPRD Kota Banjar tahun 2018 hingga 2019 dari fraksi PDIP yang mendapatkan jatah PAW usai Nana Suryana terpilih sebagai Wakil Wali Kota Banjar.
Rully menyebut sejak menjabat pada bulan Mei 2018, dirinya tidak tahu menahu adanya kenaikan gaji maupun tunjangan yang diterimanya.
"Saya pribadi menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat kota Banjar karena sebelumnya saya dilantik PAW pengganti pak Nana Suryana pada bulan Mei 2018 dan menjabat hingga 2019 sehingga saya tidak mengetahui saat itu dalam proses kenaikan tunjangan," paparnya.
Rully menambahkan bila ternyata selama saya menjalankan tugas ada sesuatu yang dia terima dan tidak di ketahui olehnya bahwa ada bagian yang bukan merupakan haknya, maka dirinya siap mengembalikan.
"Jika secara hukum d putuskan ada yang bukan hak saya yang telah saya terima, saya harus tunduk pada keputusan hukum dan saya siap mengembalikan. Tentunya dengan kejelasan mekanisme dan dasar hukum perhitungan yang pasti," ungkapnya.
Hal lainnya disampaikan Awaludin, Aktivis PMII yang mempertanyakan kontruksi perkara dugaan tindak pidana korupsi tunjangan rumah dan tunjangan transportasi DPRD Kota Banjar.
"Kami pada satu sisi mempertanyakan kontruksi perkara yang menjadi pertimbangan penentuan tersangka DRK, jika seandainya tindakan tersangka diduga melakukan kesewenang-wenangan melawan hukum, di sisi mana tersangka melakukan kesewenang-wenangan dimaksud?" tuturnya.
Pernyataan kapidsus yang menyatakan bahwa tersangka mengajukan kenaikan tarif harga sementara yang memiliki kewenangan untuk menghitung standar harga HPS itu adalah diranah eksekutif sampai dengan proses penandatanganan perwalnya pun oleh eksekutif dipertanyakan pula oleh Mantan Ketua PMII ini.
"Pertanyaan saya adalah sejak kapan DPRD menentukan standar harga yang dianggap terlalu tinggi. Bukannya yang menghitung standar Harga HPS adalah eksekutif? secara otomatis penandatanganan dan persetujuan perwalnya oleh eksekutif dan disini legislatif posisinya hanya penerima manfaat atas dampak kebijakan perwal dimaksud," cetusnya.
Untuk itu, Awaludin mendorong pihak kejaksaan negeri Kota Banjar agar segera menjelaskan kontruksi perkara penentuan tersangka DRK pada dugaan tindak pidana korupsi tunjangan rumah dan tunjangan transportasi secara profesional agar tidak terkesan penentuan tersangka syarat politis.
"Kalau memang ada tindakan intimidasi oleh DPRD, apakah itu hanya dilakukan oleh DRK secara tunggal? bukankah kebijakan atau rekomendasi kebijakan legislatif itu diusulkan secara kolektif kolegial?" Tuturnya lagi.
Selanjutnya, Awaludin juga mempertanyakan ada atau tidaknya peranan penyimpangan eksekutif karena apabila hasil perhitungan appraisal itu tidak murni sekalipun, kenapa tidak dikaji ulang sebelum penetapan perwal.
"Maksud saya mempertanyakan kepada kejaksaan negeri Kota Banjar agar dijelaskan lebih detail terkait kontruksi perkara dengan profesional. Lantaran yang eksekusi kebijakan perwalnya adalah eksekutif," tandasnya.
Pihaknya meyakini eksekutif pun dengan secara sadar dan diduga sama-sama memiliki niat abuse of power.
"Kenapa pada saat diduga ada penekanan, sehingga hasil perhitungan standar harga tidak murni, tidak diungkap di publik oleh eksekutif? Sebagai usaha perumusan kebijakan itu dilakukan secara transparan dan partisipatif," jelasnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Sholihin Nur |