Hukum dan Kriminal

Gugatan Kolonel Ade Permana: PTUN Tegaskan Ranah Militer, Bukan Wewenangnya

Jumat, 02 Mei 2025 - 22:05 | 12.54k
Persidangan Kasus Kolonel Ade Permana tanggal 29 April 2025 lalu. (FOTO: Lingga/TIMES Indonesia)
Persidangan Kasus Kolonel Ade Permana tanggal 29 April 2025 lalu. (FOTO: Lingga/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sengketa hukum yang melibatkan Kolonel Ade Permana kembali mencuat ke publik. Kali ini melalui jalur hukum Tata Usaha Negara. 

Kendati begitu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menegaskan bahwa perkara pemecatan Kolonel Ade bukanlah bagian dari kewenangan PTUN, melainkan sepenuhnya berada di ranah peradilan militer.

Advertisement

Dalam wawancaranya dengan TIMES Indonesia pada 22 April 2025 lalu di PTUN Jakarta, Yulian Prajaguhfta selaku Humas PTUN Jakarta, menjelaskan secara gamblang duduk perkara Kolonel Ade Permana.

“Objek dalam perkara ini adalah keputusan administratif militer tentang pemberhentian Kolonel Ade. Karena itu, sesuai undang-undang TNI dan peradilan militer, ini menjadi ranah peradilan militer,” tegas Yulian.

Yulian menjelaskan, perkara yang awalnya diajukan dengan nomor 42G/2025/PTUN-JKT telah diputuskan oleh Ketua PTUN Jakarta melalui putusan dismisal pada 18 Maret 2025 yang menyatakan bahwa perkara bukanlah kewenangan PTUN karena sifat kasusnya adalah Tata Usaha Militer. 

“Penjelasannya adalah karena sifat kasus yang berjalan sekarang itu berkait dengan tata usaha militer. Kalau kasusnya atau perkaranya terkait tata usaha militer, maka itu adalah sebenarnya apalagi ada tindakan lebih lanjut terkait keputusan administrasi terkait tni aktif maka itu adalah wewenang dari peradilan militer sehingga di dis (dismisal) oleh Ketua Pengadilan,” jelasnya. 

sidang-2.jpgYulian Prajaguhfta (tengah) saat diwawancarai  pada 22 April 2025. (FOTO: Lingga/TIMES Indonesia)

Yulian menerangkan sekarang Kolonel Ade Permana melakukan perlawanan dan kini perkara tersebut berubah menjadi perlawanan terhadap dismisal Ketua PTUN dengan nomor 42/PLW/2025/PTUN.JKT. Gugatan perlawanan ini, lanjut Yulian, bukan lagi menyangkut substansi keputusan Presiden, melainkan terhadap putusan Ketua Pengadilan yang menyatakan bahwa perkara ini bukan kewenangan PTUN. 

“Ini bukan lagi terkait apakah keputusan Presiden itu benar atau tidak tetapi apakah putusan dismisal Ketua itu benar atau tidak,” terangnya. 

Munculnya Dua Kepres
Hal menarik dari kasus ini adalah munculnya dua Keputusan Presiden (Kepres) dengan nomor dan tanggal yang sama, namun berisi substansi berbeda. Dalam praktik hukum, hal ini menjadi polemik. 

Ketika ditanya mengenai keabsahan dua Kepres tersebut, pihak PTUN enggan berspekulasi. “Penilaian mana yang sah, bukan kewenangan kami. Itu ranah Majelis Hakim untuk memutuskan,” jawab Yulian diplomatis.

Yulian menekankan bahwa dalam Kepres tersebut, Presiden bertindak dalam kapasitas sebagai kepala negara, keputusan pemecatan Kolonel Ade berkaitan langsung dengan ranah militer. Karena itu, menurutnya, pengujian keabsahan keputusan tersebut seyogyanya dilakukan oleh peradilan militer.

“Ini bukan seperti sengketa tata usaha negara pada umumnya yang melibatkan individu atau badan hukum sipil. Ini administrasi militer,” jelasnya.

Namun, dalam perkembangan perkara, Kolonel Ade melalui kuasa hukumnya tetap menempuh upaya hukum di PTUN Jakarta. Dalam salah satu pertanyaan media, muncul keresahan terkait nasib prajurit yang telah mengabdi puluhan tahun namun diberhentikan secara mendadak dan dinilai tidak adil. 

Terkait hal ini, Yulian menyatakan bahwa setiap warga negara, termasuk aparat negara, tetap memiliki hak hukum.

“Jika memang nanti perlawanan hukumnya dikabulkan, salah satu hasil dari pengadilan administrasi adalah rehabilitasi. Itu termasuk pengembalian hak kepegawaian, gaji, dan posisi,” terang Yulian. 

Meski begitu, ia mengingatkan bahwa proses tersebut tetap harus melewati mekanisme di peradilan militer.

Kendala e-Court 
Yulian juga menjawab pertanyaan tentang kendala teknis yang muncul selama proses pengajuan gugatan melalui sistem e-Court. Banyak pihak mengeluhkan lambannya respon layanan dan kegagalan upload dokumen. 

Ia menjelaskan bahwa kendala tersebut bukan hanya terjadi di PTUN Jakarta, melainkan bersifat nasional karena adanya gangguan server di Mahkamah Agung.

“E-Court ini masih dalam pengembangan. Gangguan terjadi bukan karena ada intervensi melainkan karena maintenance dari pusat. Jadi bukan hanya PTUN Jakarta, seluruh pengadilan di Indonesia juga terdampak,” jelasnya.

Menanggapi pertanyaan terakhir dari media, apakah Kolonel Ade bisa mendapatkan kembali hak-haknya jika menang gugatan perlawanan, Yulian menjawab dengan prinsip keadilan administratif. 

“Secara normatif, jika gugatan menang, maka salah satu bentuk putusannya bisa berupa rehabilitasi penuh. Tapi sekali lagi, karena ini administrasi militer, maka keputusan akhir tetap berada di peradilan militer,” pungkasnya.

Kasus Kolonel Ade Permana memang menyita perhatian publik. Selain menyangkut karier seorang perwira menengah TNI, kasus ini juga memunculkan pertanyaan besar tentang transparansi hukum, perlindungan aparat negara, dan kejelasan batas wewenang antara peradilan umum dan peradilan militer.

Polemik dua versi Kepres dengan substansi berbeda, pemecatan yang tidak disebutkan dalam putusan militer namun tetap berlaku, serta keluhan atas sistem layanan digital pengadilan, menjadi rangkaian dinamika yang menyertai perkara ini. 

Semua pihak berharap bahwa proses hukum berjalan adil dan sesuai koridor hukum yang berlaku.

Publik kini menanti bagaimana Majelis Hakim akan memutuskan perlawanan hukum yang diajukan Kolonel Ade Permana. Apakah akan dikembalikan ke ranah militer sesuai putusan sebelumnya, atau PTUN akan mengambil sikap berbeda? Waktu dan proses hukum akan menjawabnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hendarmono Al Sidarto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES