Peristiwa Nasional

Bagaimana Jejak Hizbut Tahrir di Indonesia? Imdadun Rahmat Ungkap Risetnya

Senin, 31 Agustus 2020 - 21:27 | 117.71k
Imdadun Rahmat. (Foto: istimewa)
Imdadun Rahmat. (Foto: istimewa)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Penulis Buku Arus Islam Radikal, Imdadun Rahmat mengungkapkan bahwa Hizbut Tahrir (HT) adalah organisasi bawah tanah. Organisasi ini tidak pernah diketahui secara pasti struktur resminya.

“Beberapa tokoh yang muncul adalah lapis ke sekian dari struktur HT yang resmi itu. HT ini adalah organisasi yang tidak transparan dan organisasi rahasia,” jelas Imdad dalam Webinar bertajuk "Jejak HTI dan Klaim Khilafah Nusantara" yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir-Hadis Indonesia (FKMTHI), Media Sangkhalifah.co dan Lembaga The Centre for Indonesian Crisis Strategic Resolution (CICSR), pada Senin (31/8/2020).

Oleh karena itu, publik atau bahkan para peneliti sekalipun hanya bisa mengendus jejak-jejak HT. Sebagai peneliti pun, Imdad mengaku kesulitan mencari tahu soal bagaimana organisasi HT ini sebenarnya.

Wakil Sekretaris PBNU ini pun mengungkapkan soal asal muasal kemunculan HT. Organisasi yang sudah terlarang di Indonesia ini lahir di Yordania pada 1952, sebagai pecahan dari Ikhwanul Muslimin (IM). 

“Tokoh-tokohnya ada Taqiyuddin An-Nabhani, Syekh As’ad, Rajab Bayudi Al-Tamimi, dan Abdul Qodir Zullum. Generasi-generasi awal ini adalah aktivis IM pada mulanya, tapi ternyata tidak puas dengan perjuangan IM, lalu mengembangkan organisasi tersendiri pecahan dari IM, Hizbut Tahrir namanya,” jelas Imdad.

Namun, Imdad menegaskan bahwa kelahiran HT di Yordania sebenarnya tidak mendapatkan izin resmi dari pemerintah setempat. Saat pertama kali HT mengajukan izin kepada pemerintah Yordania, langsung mendapatkan penolakan.

“Penolakan itu karena ideologi dan pemikiran HT sangat bermasalah. Salah satunya adalah karena bertentangan dengan konstitusi dan sistem pemerintahan di sana. Jadi, secara resmi HT tidak pernah lahir kecuali di Indonesia karena mendapat pengesahan dari Kemenkumham pada masa itu dan kini sudah dibubarkan,” ungkap Imdad.

Jadi, Imdad menambahkan, HT bukanlah organisasi yang legal-formal. Kemudian pada 1979, An-Nabhani wafat dan kepemimpinan diteruskan oleh Abdul Qodir Zullum. Pada 2003, digantikan oleh Abu Yasin.

“Saat ini dengar-dengar imam HT adalah Syekh Atha Abu Ar-Rasytah. Sampai saat ini pun, kita tahu sebenarnya organisasi ini berkantor pusat di mana, strukturnya seperti apa, dan oleh siapa saja. Itu tidak pernah terungkap, karena memang statusnya sebagai organisasi rahasia,” jelas mantan Ketua Komnas HAM ini.

Terkait kedudukan organisasi HT ini, Imdad pun masih menerka-nerka. Yakni antara Yordania atau di London, Inggris. Bahkan bisa jadi berpindah-pindah di antara kedua negara itu. Sebagai peneliti, ia mengaku belum mendapat kepastian soal gerakan organisasi transnasional ini.

“Saya belum tahu gerakan internasional digerakkan ke mana. Tapi kemudian menyebar di negara-negara Timur Tengah. Lalu masuk ke negara-negara Eropa seperti di Australia, bahkan ke negara-negara pecahan Uni Soviet dan masuk ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia,” ungkap Direktur Said Aqil Siroj (SAS) Institute ini.

Di Indonesia, pada mulanya HT menjadi organisasi resmi yang mendapat izin dari pemerintah dan bisa bergerak melakukan pengkaderan, kampanye di mana-mana, di kampus, di masyarakat, di lembaga-lembaga pemerintahan, bahkan konferensi Internasional di Gelora Bung Karno, Jakarta.

“Capaian HT di Indonesia ini merupakan sebuah prestasi yang melebihi dari negara-negara lain. Baik dari sisi jumlah pengikut, intensitas aktivitas yang dilakukan, hingga pengaruh ke tingkat politik nasional,” kata Imdad.

Di Indonesia, HT memiliki dua tokoh yang sangat vokal yakni Ismail Yusanto dan Muhammad Khaththath, meskipun kemudian keduanya berselisih paham dan pecah. Ismail tetap di HTI, sementara Khaththath mengembangkan Hizbut Dakwah Indonesia.

“Memang soal pecah dan konflik sebenarnya dari awal sudah bisa diprediksi, karena organisasi ini memang rentan konflik,” jelasnya.

Imdad menjelaskan bahwa kemunculan HT di Indonesia, dibawa oleh dua tokoh penting. Pertama, Abdurrahman Al-Baghdadi. Seorang berkebangsaan Yordania yang mencari suaka ke Australia dan kemudian ke Indonesia. 

“Kedua, Muhammad Mustofa bin Nuh dari Pesantren Al-Ghazali yang merupakan guru dari tokoh-tokoh awal HT di Indonesia, seperti Ismail Yusanto dan Muhammad Khaththath. Kemudian, kedua orang ini berselisih paham dengan gurunya dan membentuk HT di Indonesia,” kata Imdad.

Jadi, menurut Imdad, wajar jika organisasi HT ini sarat konflik karena pada awal berdirinya saja sudah berbeda paham dengan gurunya sendiri. Kemudian Khaththath dan Ismail pun berkonflik dan lahirlah Hizbut Dakwah Indonesia. Sementara Ismail tetap di HTI.

Sejumlah 57 anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), termasuk Indonesia, melarang keberadaan HT. Namun dulu, di Indonesia, HT diberikan kebebasan untuk bergerak dan mengembangkan organisasinya.

“Setelah UU Ormas disahkan kemudian pemerintah membubarkan HT dan dikuatkan oleh putusan pengadilan di tingkat pusat. Kini, resmilah HTI sebagai organisasi terlarang,” ungkap Imdad.

Oleh karena di mana-mana sudah dilarang keberadaannya, maka HT menjadi gerakan yang struktur resminya tidak dapat diketahui. Imdad sendiri mengaku dekat dan berteman akrab dengan Ismail Yusanto. Ia bertemu dengan Jubir HTI sudah lebih dari delapan kali.

“Saya sering bertanya dari hati ke hati sebagai kawan. Sebenarnya pimpinan HTI yang asli itu siapa? Tapi dia sama sekali tidak pernah mengaku. Bahkan dia bilang, saya ini ingin tahu saja dapur orang. Jadi, baik struktur nasional maupun internasional, dirahasiakan dengan rapi,” jelas Imdad.

Bahkan, Imdad menduga-duga barangkali intelijen Indonesia tidak pernah bisa mengendus bagaimana pergerakan organisasi terlarang ini. Ia mengungkapkan, saat ini di semua negara terutama di negara-negara Islam, HT menjadi unsur perlawanan di bidang sosial politik.

“Kini HT tidak memiliki lahan di negara muslim, maka mereka mencari negara-negara liberal yang demokratis untuk bisa mendapatkan kesempatan untuk hidup. HT menjadi unsur distabilisator di negara-negara demokrasi, termasuk di Indonesia. Ini bermasalah dan kita harus waspada,” jelas Imdadun Rahmat. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES