Lahir Tuna Netra, Kini Siap Dampingi Syekh Sudais Makkah

TIMESINDONESIA, TASIKMALAYA – Bahagia nian Eko Fauzan Adiwangsa, saat istrinya Siti Marfuah, positif hamil pada Oktober 2008. ‘’Alhamdulillah, akhirnya datang juga,’’ kata warga Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya, yang telah 3 tahun merindukan kehadiran anak pertamanya ini.
Namun, empat bulan kemudian, kebahagiaan Eko seperti melayang. Saat itu, Februari 2009, sang istri mengalami bleeding (pendarahan) dan tanpa disangka anaknya terlahir. Ajaibnya, si jabang bayi hidup, walaupun dengan peluang bertahan hanya 0,005 persen menurut kalkulasi medis.
Advertisement
Bayi prematur tersebut beratnya cuma 1,2 kg dengan panjang 15 cm. Bagian-bagian tubuhnya belum lengkap. Faza, demikian Eko menamakannya.
Walau begitu, Eko meyakinkan dokter bahwa Faza bisa bertahan dengan keajaiban. "Saat itu, bagaimanapun caranya, berapa pun biayanya, saya minta para dokter untuk membantu anak saya bertahan hidup. Meskipun, para dokter mengatakan peluang hidup anak saya hanya 0,005 persen," kenang Eko.
Padahal, biaya persalinan dini itu mencapai Rp 1 juta per hari. Sedang Eko, hanya seorang karyawan di salah satu bank konvensional di Bandung. Namun Eko pasrah total pada Yang Maha Kuasa.
Untuk biaya rumah sakit, Eko dengan seizin keluarga besarnya menggadaikan sertifikat rumah dan tanah milik orangtuanya. Doa-doa yang terucap maupun terbatin tak putus dipanjatkannya bagi sang anak yang tubuhnya terinkubasi dengan dipenuhi selang infus; tangan, kaki, mulut, hidung hingga telinga tak luput dari selang infus yang mengalirkan nutrisi serta obat untuknya.
Dengan segenap kondisinya, Faza bertahan hingga berumur 7 tahun kini. Kehadirannya pun membawa perubahan positif bagi kedua orangtuanya.
Siti yang merasa bersalah dengan keaktifannya selama mengandung Faza, kemudian mengurangi aktivitas sosial di luar rumah. Ia juga berhenti bekerja sebagai guru demi merawat Faza di rumah.
Eko juga begitu. Ketika Faza baru lahir, ia getol mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kini, Faza lah yang ‘’memaksa’’-nya tetap rajin beribadah. Bocah ini menangis jika ayahnya tidak membaca Qur’an, sholat tahajud, dan shubuhan berjamaah di masjid.
Mata Faza memang tidak dapat melihat. Namun, ia dikaruniai daya ingatan yang tinggi plus suara khas yang merdu. Kelebihan ini disalurkan secara positif oleh orangtuanya, sehingga Faza kini menjadi santri tahfidz Qur’an yang membanggakan.
Kelebihan FAza tak cuma itu. Saat Faza berusia 4 tahun, ia selalu berkata yang sulit dinalar. "Ayah, Faza mau adzan di Masjid Agung Tasikmalaya," kata Faza kecil, saat berusia 4 tahun, seperti ditirukan.
Ketika itu, Eko, sang ayah, menganggap Faza sekadar berceloteh. "Namanya juga bocah kecil," pikirnya kala itu.
Namun, ternyata Faza tak sekali berucap begitu. Hampir setiap hari ia bilang ingin mengaji dan adzan di Masjid Agung. Hingga akhirnya, Eko berupaya memenuhi keinginan putranya.
Pergilah dia menemui pengurus Masjid Agung Tasikmalaya. Setelah berbicara selama hampir satu jam, Eko harus pamitan dengan kecewa. Tanpa gairah, diseblaknya motor sederhana miliknya untuk pulang.
Pengurus masjid memang tidak salah. "Maaf, kami tidak bisa mengizinkan putra bapak adzan di sini. Selain dia masih sangat kecil, kami juga tidak tahu makhroj bacaannya,’’ kata Eko menirukan ucapan pengurus masjid.
Kekecewaan ini justru menjadi pemicu semangat Eko untuk menjadikan Faza penghafal Qur’an. Maka, dia masukkan anaknya ke rumah tahfidz terdekat. Melalui metode sema’an (menyimak bacaan), Faza cepat menghafal Qur’an dengan suara merdu.
Sungguh Allah Maha Tahu Yang Terbaik. Beberapa bulan setelah peristiwa itu, tanpa disangka oleh Eko, Faza mendapatkan undangan untuk menjadi salah satu tamu di acara Tabligh Akbar di Masjid Agung Tasikmalaya.
Mimpi pertama Faza untuk adzan di sana, Allah kabulkan dengan cara yang indah. Ribuan orang menjadi saksi kebesaran Allah yang dilimpahkan kepada Faza.
Tahun berikutnya, Faza berkeinginan memiliki pesantren. "Ah, mungkin ini hanya gurauan saja," pikir Eko lagi. Namun, seringkali Faza mengungkapkan keinginannya itu.
Kemudian, terpikirlah untuk mulai mengajak sepupuh Faza mengaji bersama di rumahnya dan ibunda Faza sebagi gurunya. Alhamdulillah, seiring waktu anak-anak sebaya di lingkungan rumahnya mulai ikut serta mengaji. Kini, tiada hari tanpa ramainya lafal Qur'an di rumahnya.
Meskipun bukan sebuah pesantren, melainkan TPQ sederhana, tetapi Faza sangat bersemangat dengan TPQ di rumahnya. "InsyaAllah, ini adalah awal dari impian Faza punya pesantren,'' kata Eko.
Tak hanya berhenti di sana, tahun 2015 Faza sangat ingin mengaji di hadapan jamaah Masjid Istiqal. Singkat kata, keinginannya terwujud dengan menjadi peserta Wisuda Akbar 6 pada 22 November 2015 yang digelar PPPA Daarul Qur'an.
Di hajatan nasional ini Faza menjadi salah satu wisudawan hafidz yang didaulat oleh Ustadz Yusuf Mansur untuk naik ke atas panggung. Saat itu, tanpa disangka, Faza juga diminta Ustadz Yusuf untuk melafalkan hafalan Alqur’an di hadapan ribuan orang dan para syeikh yang hadir saat itu.
Kini, impian Faza adalah mendirikan masjid dan mengaji di Masjidil Haram bersama Al Imam Syeikh Sudais.
Faza yakin, dengan bersandar kepada Allah SWT, cita-citanya itu bukan hal yang mustahil. Bukankah ia sudah mengalami keajaiban berkali-kali. Kita doakan Faza bisa meraih impian mulianya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Khoirul Anwar |
Publisher | : Ahmad Sukmana |