Indonesia Positif Ketahanan Informasi Pendidikan

Strategi Politik Darah Mleccha Mahapatih Gajah Mada

Senin, 06 Mei 2019 - 12:23 | 501.80k
Buku: Mahapatih Mangkubhumi Majapait Pu Gajah Mada. (FOTO: Istimewa)
Buku: Mahapatih Mangkubhumi Majapait Pu Gajah Mada. (FOTO: Istimewa)
FOKUS

Ketahanan Informasi Pendidikan

Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Sejatinya setiap manusia yang akan lahir tidak dapat memilih sosok orang tua yang akan melahirkan, golongan, dan status sosialnya. Manusia hanya dapat menerima sepenuh hati tentang diri dan identitas sosialnya sesaat setelah dia dilahirkan ke muka bumi. Apakah dirinya akan lahir dari keluarga yang sangat terhormat ataukah dirinya akan lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja bahkan dianggap hina. 

Ketika manusia lahir dari keluarga terhormat dia akan mempertahankan kehormatan keluarga, tetapi tidak ada jaminan dia akan menjadi orang yang terhormat. Demikian juga dengan sosok manusia yang lahir dari keluarga yang sangat sederhana, kehidupannya bisa terus menjadi keluarga yang sederhana, tetapi banyak di antara mereka yang menjadi orang yang sangat terhormat bahkan mencapai status kelas sosial paling tinggi. 

Advertisement

Buku yang ditulis oleh Agus Sunyoto ini merupakan gambaran tentang perjalanan kehidupan manusia yang lahir dari keluarga sederhana bahkan dianggap hina, tetapi dalam perjalanan hidupnya mampu menunjukkan kecerdasan, kelincahan, dan kehibawaannya sehingga menjadi sosok yang sangat disegani dan sangat dihormati oleh raja.

Buku yang disarikan dari seratus dua puluh delapan sumber primer ini mengupas rahasia terdalam Mangkubhumi Majapahit yang selama ini menjadi berbincangan para ahli sejarah. Gaya naratif digunakan dalam penulisan buku ini dapat memudahkan pembaca dalam memahami isi sekaligus kandungan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya.

Selain itu, penggunaan istilah dalam bahasa Jawa Kawi maupun Sangsekerta masih banyak digunakan dalam buku ini sehingga menjadi bagian penguat fakta-fakta yang diuraikan oleh penulis.

Sosok Mahapatih Gajah Mada yang dideskripsikan dalam buku ini tidak hanya sebagai sosok pemberani di medan laga melainkan sebagai sosok yang mememiliki kecerdasan kesecerdasan seimbang antara spiritual, intelektual, dan emosional. Oleh karena itu, buku ini terkesan jauh dari berbagai bentuk kekerasan seperti buku-buku serial Gajah Mada pada umumnya.

Agus Sunyoto mengawali tulisannya dari Desa yang cukup jauh dari Kotaraja Majapahit bernama Mada. Madali adalah nama kecil Mada, sosok yang hampir kehilangan status kehormatan sosialnya lantaran lahir dari hasil dari perkawinan blasteran antara ibunya Nini Andwangsari putri seorang prajurit Ra Krti (Bekel Pengalasan Kepercayaan Sri Maharaja Kertanegara) dengan Perwira Tartar golongan Mleccha (golongan asing yang termasuk kasta keenam) sekaligus golongan Wwang Kilalan (seorang pelayan, abdi, pembantu dan hamba) kasta keenam atau kasta kedua di bawah sudra. Kelahiran Madali yang kelak bernama Mada dianggap lebih rendah dari Wwang Kilalan yakni berkasta Tuccha (kasta yang dianggap hina). 

Masa kecil Madali memiliki kenyataan yang sangat pahit. Status sosialnya membelenggu interaksinya dalam bergaul dengan sesama. Hinaan dan makian yang ditujukan kepadanya sebagai seorang tuccha tidak menjadikannya sebagai sosok introvet, justru sebaliknya membuatnya termotivasi untuk memahami alam sekitarnya mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman.

Anak Jawi Kepateh (perkawinan yang tidak seimbang karena lebih tinggi kasta sang istri daripada suami) yang disandangnya menjadikan pengabdiannya belitu tulus kepada setiap orang yang berjasa kepadanya. Kejujurannya dalam segala hal membuat banyak orang terkagum-kagum kepadanya, tetapi juga tidak banyak yang tidak tertarik bahkan terancam atas keberadaannya. 

Sosok Madali yang religius selalu digambarkan pada saat ingin memutuskan sesuatu yang menyangkut masa depan dirinya dan orang lain. Saat kesedihan menyelimuti perasaan Madali, Punden satu-satunya tempat untuk mencurahkan segala hal kesedihannya. Punden Buyut Keling sebagai tempat petilasan Ratu Banakeling yang berkedaton di hutan Sukhalima.

Tempat inilah sebagai tempat pertama diterimanya rotan pusaka bernama ‘Kaki Penjalin’ selain kain dadar yang diberikan kakeknya dan lencana emas serta belati bergagang gading peninggalan ibunya.

Setelah Madali diusir dari desanya lantaran garis keturunan yang dianggap sangat hina, maka pemakaman ibunya Nini Andwangsari yang menjadi tujuan utamanya. Dari tempat pemakaman ibundanya, dia mengunjungi pemakaman Aria Rangga Lawe (sosok yang sangat berjasa dalam pendirian Kerajaan Majapahit).

Tempat inilah yang memberinya pengetahuan tentang sosok pembabat alas sebelah utara Sungai Brantas yang tidak sepenuh hati mengabdikan dirinya pada Negara. Akhinya meninggal karena dianggap sebagai penghianat Negara. Pada bagian ini Agus Sunyoto betul-betul menempatkan Ibu sebagai tempat memohon restu sebelum penguasa (raja).

Gambaran lain dari kisah awal ini adalah makna kematian. Setiap orang pada akhirnya harus meniggalkan dunia fana ini. Apakah seseoran akan kembali pada alam kesejatian dengan cara hina ataukah sebaliknya penuh dengan makna.

Pada bagian berikutnya, bakat kesenian dan jiwa wirausaha Madali juga dideskripsikan dengan sempurna dalam buku ini. Dalam mencari jati dirinya, Madali sempat menjadi kuli keranjang, menjadi penganyam, dan mengabdi pada seorang keturunan Cina Endro Tanoyo yang juga dianggap sebagai kilalan meskipun dia sebagai seorang saudagar. Bersama Endro Tanoyo, Madali mengenal jenis-jenis barang perdagagan, tempat kapal-kapal besar bersandar, bahkan dia juga mengenal makna filosofis dari peperangan.

Tidak hanya mengenal makna filosofi seni peperangan tetapi seni Endro Tanoyo juga mengajarkan berbagai literasi dan formasi pertempuran termasuk alat-alat yang digunakan dalam peperangan kepada Madali. Bukti kepedulian Entro Tanoyo pada Madali tidak sebatas itu, anugerah nama Mada yang diberikan olehnya juga sebagai bukti kecintaannya karena dia berkeyakinan bahwa di dalam diri Mada mengalir dari kesatria titisan dari kakeknya Ra Krti.

Perjanan karir Mada menjadi seorang prajurit bermula ketika terjadi kerusuhan di Kota Tuban yang merengut ayah angkatnya Endro Tanoyo dan sebagian sahabatnya sama sekali tidak menyiutkan perasaan Mada tentang ganasnya kehidupan.

Kerusuhan yang diakibatkan oleh bajak laut ini menadi perantara pertemuannya dengan Pu Sona Petak yang merupakan pembesar prajuri Majapahit. Pu Sona mangangakat menjadi pembantunya di medan perang, tetapi kehadiran Mada yang tiba-tiba, meninggalkan rasa kecemburuan sosial bagi bawahannya yang lain. Kecemburuan teman-teman sesama bawahan Pu Sona kepada Mada, hampir membuatnya mati terbunuh saat terjadi bencana di dalam hutan. 

Dari peristiwa tersebut, Penulis memperkenalan skenario Tuhan yang tidak bisa ditebak oleh nalar manusia. Hal inilah yang terjadi pada Mada saat menjadi target kecemburuan teman-tamannya, justru menjadi jalan bagi Mada menuju titik terang menjadi salah satu pembesar Wilwatikta.

Kajadian yang hampir merengut nyawaya di dalam hutan membawa Mada pada sosok Janggan Lilitasmara yang terkenal sebagai pemburu margasatwa tanpa senjata. Bersama sosok bijak Lilitasmara inilah Mada diperkenalkan dengan berbagai strategi dalam peperangan mulai dari Bhuya (taktik dan strategi dalam perang), Kanaya Bhuya (taktik gelar perang udang raksasa), Makara Buya (taknik gelar perang hutan), Kagendra Byuha (taktik gelar perang burung garuda), Cakra Byuha (taktik perang cakra), Bajrapanjara Biuha (taknik gelar perang sangkar intan), dan lain (hal 130).

Ketangkasan Mada saat Patih Daha Arya Tilam saat menyelamatkannya dari terkaman harimau semakin menuntunnya pada kesejatian dirinya sebagai sosok sejati kesatria. Setelah Patih Arya Tilam mengetahui sosok Mada yang masih berdarah prajurit dan melihat keberaniannya dia dipersilakan untuk mengabdi di Daha sebagai seorang prajurit. Deskripsi tersebut memperkuat sosok Mada yang kecerdasannya tidak didapatkan secara gratis, melainkan karena ikhtiarnya yang tak mengenal lelah dalam mencari tahu berbagai hal yang berkaian dengan kehidupan.

Kehidupan tidak selamanya terjal dan menyesakkan. Hal inilah ugkapan yang pantas untuk memaknai kehidupan. Sosok Mada sebagai orang yang mulai mengenal lingkungan dan kehidupan istana dideksripsikan secara bijak. Kehidupannya bersama Patih Arya Tilam membuat Mada semakin mengenal hakikat kehidupan sejati bahkan kebijaksanaan dalam memenuhi tuntutan kehidupan.

Kecercasan Mada yang terlihat sejak usiah empat belas tahun ini semakin meyakinkan Patih Arya Tilam tentang sosoknya yang akan menjadikan kekuatan besar di Majapahit. Kegigihanya dalam membaca literasi memperkenalkan dirinya pada Kitab Purwadigama Dharmasastra dan Manawa Dharmasastra. 

Kitab Purwadigama Dharmasastra merupakan kita Undang-Undang Hukun Pidana dan Perdata yang dijalankan semenjak Prabu Seminingrat Jawawisnuwardhana, sedangkan Manawa Dharmasastra dihimpun secara sistematis oleh Bhagawan Brighu yang juga menjadi dari ilmu hukum (Hal 197). Sesaat setelah itu timbul keinginannya untuk menyempurnakan kitab-kitab tersebut setelah melihat berbagai hal yang ada disekitarnya dan hal yang terjadi pada dirinya serta pada status yang disandangnya. Namun, dia tidak mengetahui dari mana memulainya.

Gambaran Mada sebagai seseorang yang cerdas secara intelektual juga dimbangi dengan kecerdasan spiritualnya. Hal ini dibuktikan dengan tapa brata yang sering dilakukannya pada saat-saat perasaannya gundah saat ditunjuk sebagai penyempurna kitab tersebut. Kali Punden Dewashimha dipilih mejadi tempat persemediannya.

Dari tempat inilah dia mulai terinspirasi mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan kitab-kitab hukum dan upaya untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan bagi umat manusia. Baginya ujian dan cobaan hanyalah sekedar tempaan untuk membuktikan jati diri yang sebenarnya. 

Semenjak pengabdiannya pada Patih Arya Tilam di Daha membuat Mada semakin dewasa dalam berpikir. Kini usianya yang sudah beranjak dewasa membuatnya berbagai hal termasuk ketertarikan kepada lawan jenisnya. Kejadian mengerikan yang menimpa kareta di Alas Gadungan membangkitkan darah keprajuritannya untuk menyelamatkan kereta naas yang salah satu roda belakangnya lepas. Penyelamatan gadis cantik bernama Dyah Gitarja Nararya Tribhuana yang ada dalam kereta menjadi simbol darah muda seorang Mada yang mulai tertarik pada lawan jenis. 

Bagian akhir dari buku ini ialah peristiwa kematian Pu Patih Arya Tialm. Setelah kematian Pathi Arya Tilam, Madalah satu-satunya yang bisa diutus dari Daha untuk menyampaikan berita tersebut pada Sri Maharajasa Jayawarddhana. Hal yang tak pernah terlintas dalam pikirannya, sosok yang lahir dari Jawi Kapateh dan lahir dari perkawinan Pratiloma berdarah Mleccha, sosok yang tidak pernah dikenal orang di Wilwatikta kemudian diangkat menjadi Patih Taruna Daya sebagai pengganti Patih Arya Tilam yang bertugas untuk menyempurnakan Kitab Purwadigama Dharmasastra dan Manawa Dharmasastra. Pada bagian ini, terdapat nilai implisit bahwa Tuhan sangat berkuasa memberikan kehormatan seketika pada manusia dan sebaliknya dapat mencabut kehormatan manusia seketika.

Setelah pulang dari Kedhaton Sang Hyang Baruna di Barunadwipa dan menyempurnakan Kitab Purwadigama Dharmasastra dan Manawa Dharmasastra menjadi Kitat Kutaranawa Dharmasastra yang jumlahnya sembilan belas bab (hal 236). Kitab inilah yang membuat pembesar Majapahit sangat kagum dan bangga pada Pu Patih Mada.

Berselang beberapa waktu setelah penyempurnaan kitab tersebut, Patih Mada di panggiil menghadap Sri Maharajasa. Dalam pertemuan yang sangat mengharukan tersebut Sri Maharajasa berlinang air mata lantas berkata pada Patih Mada “Tidak ada satu pun penilaian yang dapat kuberikan terhadap hasil perjuangannmu yang begitu tidak ternilai kecuali rasa pedih di kedalaman lubuh jiwaku sewaktu sadar bahwa engkau buka putraku. Adai Sang Hyang Widhi menganugrahi putra engkau, sungguh saat ini aku rela menutup mata meninggalkan dunia ini” (hal 269). 

Saat mendengar pujian Sri Maharajasa terhadap dirinya yang dipandang berlebihan Patih Mada bersila, menegapkan tubuhnya, dan mengangkat tangannya, lantas dia bersumpah. “Hong nihanta Sanghyang Widhi hunimgan sembah ning hrdaya sira Sang Tunggal malar i helem anemwa Sunyata ...” (Hamba bersumpah  demi kemulyaan Sang Hayang Widhi, bahwa hamba adalah putra sejati Majapahit, ibunda dan ayahanda hamba adalah Majapahit. Kakek hamba adalah Majapahit, istri dan anak hamba adalah Majapahit, hamba adalah abdi Majapahit, hidup dan mati hamba akan hamba persembahkan kapada Majapahit [hal 270]).

Dengan disaksikan oleh  Sri Maharajasa Jayawardhana dan keluarga permakisuri termasuk putra dan putri raja, Patih Gajah Mada diangkat menjadi Guru Pengajyian Majapahit yang harus didengar semua petunjuk dan arahannya oleh siapapun. 

Buku ini sangatlah bagus untuk dijadikan referensi utama yang berkaitan dengan pengetahuan sejarah, sastra, dan ilmu hukum yang pernah ada di nusantara. Kita akan disuguhi dengan pengetahuan sejarah yang betul-betul baru terutama yang berkaitan dengan Undang-Undang Majapahit yang disempurnakan oleh Patih Gajah Mada dan sumpahnya. Apabila dalam pengetahuan umum kita mengenal Gajah Mada dengen sumpah ‘palapa’, dalam buku ini kita akan disuguhi dengan ‘hong nihanta’ totalisme Gajah Mada dalam mengabdikan diri pada Negara.
 
Adapun yang belum tuntas dalam buku ini dari sisi istilah yang digunakan ialah sematan kata ‘Gajah’ yang menjadi bagian dari nama Patih Mada. Kedua, istilah ‘Nusantara’ belum dedeskripsikan secara ekplisit. Bagian lain yang perlu dituntaskan, misalnya kisah asmara Patih Mada dengan Sang Dyah Gitarja Nararya Tribhuana dan penyatuan nasantara dengan metode ‘persemakmuran’. Sungguh buku ini sangat mengispirasi kita sebagai orang mengaku cinta Tanah Air. Hanya dengan ikhtiar dan doalah mansia yang biasa-biasa akan menjadi luar biasa dalam mencapai cita. (*)

Judul buku    : Mahapatih Mangkubhumi Majapait Pu Gajah Mada
Pengarang    : Agus Sunyoto
Penerbit    : Pustaka Pesantren Nuasantara
Edisi    : 2019
Hal    : 324 hlm: 18 x 24 cm
ISBN    : 978-602-5699-59-7

buku-2.jpg

Dr. Moh. Badrih, M.Pd 
Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UNISMA

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES