Doa Antara Kardus Berkas dan Kelapa Muda Penjual Degan di Yogyakarta

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Terik siang Yogyakarta, jalanan tidak begitu ramai sejak kebijakan social distancing diberlakukan karena pandemi Covid-19 pada pertengahan tahun 2021 lalu. Di ujung jalan dekat lampu merah timur GOR Amongrogo, Sardon, seorang penjual degan (kelapa muda) tersenyum ceria. Seorang pembeli akhirnya datang memborong beberapa butir kelapa sedari pagi.
Pria berusia sekitar 42 tahun itu sudah 5 tahun lebih berjualan kelapa muda dan juga berdagang kardus bekas di rumahnya. Beberapa kardus pun ditaruh di ruangan berukuran 4x3 meter yang digunakan untuk berjualan.
Advertisement
Siti Erna, istri Sardon, membantu membuka warung sejak pukul 8 pagi. Di tengah kondisi yang sulit akibat Covid -19, Sardon juga merasakan dampaknya. Biasanya ia menjual 50 butir kelapa muda dalam sehari, terlebih jika cuaca cukup panas bisa lebih dari 50 kelapa terjual. Kini pria menjelang paruh baya ini harus lebih bersabar.
“Mungkin saat ini kita disuruh bersabar dulu, akhirnya saya coba putar jam kerja untuk lebih sering melihat "yang di atas", sekarang kalau sudah Maghrib kita tutup warung untuk salat jamaah dan ngaji bareng sama anak-anak, kalau biasanya kan kita masih buka sampai malam,” terang dia.
Pasangan suami istri ini bukanlah asli dari Yogyakarta, mereka asli dari Kuningan, Jawa Barat. Sardon memutuskan membawa serta keluarganya ke Yogyakarta karena anaknya diterima untuk melanjutkan pendidikan di Yogyakarta.
Awalnya, Sardon sendiri yang merantau. Sejak tahun 2000 lalu ia memutuskan hijrah dari Jakarta tempat kerjanya dahulu ke Yogyakarta mencoba peruntungan membuka usaha bubur kacang hijau (burjo). Lambat laun usaha burjo-nya mengalami kerugian, pendapatannya terus menurun sedang biaya operasional terus naik.
Akhirnya Sardon tidak bisa melanjutkan usahanya lagi. Kondisi pailit dirasakan dia sampai untuk makan hari itu juga bingung mencarinya darimana. Akhirnya suatu waktu ia bertemu teman lamanya yang jualan kelapa. Berkat temannya itu Sardon itu sampai kini jualan kelapa muda. Teman Sardon menawarkan untuk berjualan kelapa, saat itu ia tidak membawa uang sama sekali tetapi disuruh bawa saja kelapanya oleh temannya tersebut. Akhirnya Sardon pun membawa 10 butir kelapa dan dijual di pinggir jalan. Namun sepertinya keberuntungan belum berpihak padanya.
Sardon kembali menemui temannya dan menceritakan kalau kelapanya hanya terjual dua butir saja, sang teman justru menawari Sardon untuk membawa lebih banyak kelapa agar jika stoknya banyak lebih banyak juga menarik pembeli.
Akhirnya harapan mulai muncul dalam dirinya. Sardon kembali bersemangat membawa kelapanya menuju rumah, melewati area persawahan dengan mengendarai sepeda motor. Saking semangatnya terjatuh ke sawah bersama dengan kelapa-kelapa hingga menimbun badannya di lelumpuran sawah.
“Saking semangatnya saya itu sampai jatuh, untung ada yang nolongin, saya tidak bisa bangun itu karena tertimpa motor dan kelapa. Kalau niatnya sudah baik itu ada saja, anak-anak vespa nolongin saya dan diantar sampai rumah,” kisah Sardon sambil menepuk-nepuk dahi mengingat kejadian perjuangan-perjuangan hidupnya.
Hidup Sardon bisa dikatakan sudah jungkir balik. Kondisi sulit kembali dialami Sardon dan Siti tatkala sang anak yang sudah di bangku kuliah kembali harus membayar biaya semesteran, belum ada uang sama sekali apalagi anak yang nomor dua juga sudah mulai masuk TK.
Sardon amat bingung hendak mencari biaya anaknya darimana, sementara ia tidak ingin anaknya sampai berhenti atau terpaksa cuti karena tidak mampu membayar.
Waktu seperti itu, Sardon hanya terus berdoa sambil terus membuka warungnya. Keesokan harinya berbondong-bondong orang datang memborong kardus setelah kotak suara untuk pemilu diputuskan memakai kardus.
“Pas pemilu kemarin kan pake kardus, dari UGM itu borong kardus kesini, sering tidak disangka-sangka semuanya kuasa Allah. Kalau ditanya sekarang punya duit, ya tidak,” terang Sardon melanjutkan ceritanya.
Begitulah kehidupan jungkir balik keluarga Sardon. Apapun yang menimpa dirinya selalu berusaha keras untuk tidak menyerah pada keadaan. Kini di tengah situasi yang semakin sulit Sardon hanya bisa berharap agar jualannya terus laku karena anaknya harus tetap sekolah. Belum lagi juga untuk membayar kontrakan rumah yang walau hanya sepetak dan apa adanya tetap membuat dia harus mencari biayanya cukup keras.
Kekuatan doa menjadi modal utama keluarga Sardon. Tidak menyerah dan berusaha sampai titik penghabisan dan semaksimal mungkin lalu menyerahkan semuanya pada Allah adalah prinsip hidup keluarga Sardon yang terus dipegang erat. Kekuatan doa itu yang membuat Sardon dan istrinya masih sempat memikirkan orang lain dengan bersedekah.
Sardon dan Siti Erna adalah jamaah PPPA Daarul Qur’an Yogyakarta. Keduanya, juga pernah mengikuti program Riyadhoh 40 hari bersama KH Yusuf Mansur di tahun 2018 lalu. “Saat itu juga saya pertama kali sedekah di PPPA Daarul Qur’an dan minta didoain biar anak saya ketrima di kampus negeri. Alhamdulillah pas pengumuman anak saya diterima di UGM,” kisah Siti.
Di tengah kondisi yang tidak mudah sekarang ini, Sardon hanya berharap agar usahanya tidak berhenti sampai di jualan kelapa saja. Dia berkeinginan menambah usaha yang lain mengingat anak-anaknya sudah mulai membutuhkan banyak biaya untuk pendidikan mereka.
Saat ini, Sardon masih terkendala dan belum bisa mewujudkan keinginannya untuk kembali menekuni bisnis sepatu dan sandal karena terkendala modal. Namun tanpa henti dia selalu panjatkan untuk dibukakan lagi pintu rezekinya demi anak-anaknya dapat sekolah dan beli laptop mengingat sekarang belajar sudah dipindahkan menjadi daring.
Pasutri ini pun amat bersyukur menerima bantuan paket bahan pokok pada pertengahan April lalu dari PPPA Daarul Qur’an yang menyasar pada masyarakat rentan di Yogyakarta.
“Alhamdulillah, terima kasih sekali kami sangat bersyukur, sangat membantu di saat seperti ini,” ucap Siti.
Masyaallah, mendengar perjalanan hidup keluarga Sardon kita menjadi bersyukur sekaligus berduka bahwa nyatanya di sekeliling kita masih banyak orang yang benar-benar butuh bantuan namun tidak sampai meminta-minta demi menjaga martabatnya di hadapan Sang Pencipta. Juga tentang kisah Sardon dan Siti yang tetap bersedekah dan berbagi kepedulian di tengah kesulitan. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |
Publisher | : Rochmat Shobirin |