Walhi Pertanyakan Dokumen Amdal Proyek PLTA Kayan yang Sulit Diakses

TIMESINDONESIA, SAMARINDA – Proyek pembangunan PLTA Kayan oleh PT Kayan Hydro Energy (KHE) di Kecamatan Peso, Kalimantan Utara, menarik perhatian pegiat lingkungan di Indonesia, salah satunya adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Timur (Kaltim).
Walhi mempertanyakan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) serta Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) pasalnya dokumen tersebut tidak terpublikasi dan sulit diakses.
Advertisement
Menurut Direktur Walhi Kaltim, Yohana Tiko, keseriusan pihak KHE dalam hal keselamatan lingkungan dan masyarakat patut dipertanyakan.
“Dokumen itu kami engga pernah lihat. Sudah 8 tahun KHE masih bingung gitu. Ini yang membuktikan tidak ada keseriusan perusahaan bicara soal keselamatan masyarakat. Ini yang harus ditekankan Gubernur Kaltara maupun Bupati Bulungan. Ya sudah ditinjau ulang saja, bila perlu distop,” ungkap Yohana.
Proyek PLTA Kayan milik KHE ini sudah disiapkan sejak 10 tahun lalu, namun hingga kini tidak ada perkembangan yang berarti. Rencananya, proyek PLTA ini akan menghasilkan pasokan listrik 900 MW untuk tahap satu, 1.200 MW tahap dua, 1.800 MW untuk tahap tiga dan empat, kemudian tahap kelima 3.300 MW yang nantinya sebagian akan disuplai ke ibu kota negara (IKN) Kaltim.
“Sampai saat ini tidak bisa diakses Amdal dan KLHS. Itu ada izinnya enggak itu? Terpublish engga itu? Katanya KHE mau mulai melakukan aktivitas, tapi tidak ada kajian yang lengkap baik KLHS maupun Amdal. Dulu kami pernah meminta,” tambahnya.
Tiko mengatakan dampak proyek tersebut bakal memindahkan dua desa yakni Long Peleban dan Long Lejuh, yang dihuni sekitar 700 jiwa dan 5 desa di bawahnya yang akan dibangun dump kecil.
Karena dasar tersebut, Tiko meminta KHE sebagai pengelola harus mengikuti kaidah persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan atau free, prior and informed consent (FPIC) yang diatur dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.
FPIC adalah hak masyarakat adat untuk mengambil keputusan yang tepat mengenai hal-hal yang mempengaruhi masyarakat, tradisi, dan cara hidupnya.
“Masyarakat setempat engga diberi ruang sehingga masyarakat kehilangan haknya menerima atau menolak tanpa paksaan. Ini kayak kita dipaksa terima sebuah mega proyek yang mitigasi dampaknya kita engga tahu."
Ia mengatakan, masyarakat di dua desa tersebut tidak menerima informasi, pihak perushaan tidak meminta pendapat mereka tentang PLTA Kayan itu. Walhi meminta gubernur dan bupati meninjau ulang atau bahkan menghentikan proyek tersebut.
“PLTA KHE itu bakal menghasilkan listrik 9000 MW itu cukup besar loh. Apa dokumen kajiannya. Amdal dan KLHS mana? Itu bukan syarat adminitrasi saja. Harus dipastikan analisis dampak sosial dan lingkungan. Termasuk analisis risiko bencana,” sambung dia.
Direktur Operasional PT KHE Khaerony mengatakan semua proses sudah dilalui dalam pengurusan izin Amdal. Mulai dari pembahasan di komisi amdal, tim penilai hingga sosialisasi ke masyarakat sampai disahkan menjadi dokumen izin lingkungan.
Bahkan, kata dia, selama proses itu berlangsung pihaknya juga meminta saran dan masukan dari berbagai pihak termasuk masyarakat setempat.
“Jadi kalau dibilang sulit diakses, saya kurang paham ya. Karena untuk akses itu harus bagaimana, saya kurang paham,” kata dia.
“Namun, setelah disahkan jadi dokumen lingkungan, kalau saya tidak salah, apakah itu dokumen publik atau tidak. Tapi saat penilaian kami beri semua salinan ke tim penilai, masyarakat, pemda dan pihak terkait. Dokumen itu dicetak berapa rangkap dibagi di dinas-dinas, pemda,” lanjutnya.
Terkait relokasi dua desa tersebut, Khaerony menjelaskan telah disetujui oleh masyarakat di kedua desa tersebut. “Kita dalam waktu dekat ini, awal September sosialisasi terkait master plan tempat baru,” terang dia terkaut proyekPLTA Kayan.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Rizal Dani |