Indonesia Positif

Gubes Hukum Tata Negara UB Sebut Ada Kejanggala Soal Batas Usia Capres-Cawapres

Jumat, 20 Oktober 2023 - 17:48 | 21.72k
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UB, Prof. Dr. Muchamad Ali Safa’at, S.H., M.H. (FOTO: Humas FH UB for TIMES Indonesia)
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UB, Prof. Dr. Muchamad Ali Safa’at, S.H., M.H. (FOTO: Humas FH UB for TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengeluarkan serangkaian putusan terkait pengujian undang-undang (judicial review) mengenai konstitusionalitas Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mengatur batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan MK ini telah menimbulkan berbagai pro kontra di kalangan masyarakat.

Pada Senin, 16 Oktober 2023, MK membacakan beberapa putusan yang termasuk dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 169 huruf q tersebut. Salah satu putusan yang menarik perhatian publik adalah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang mengabulkan sebagian permohonan dengan menyatakan bahwa konstitusionalitas usia "paling rendah 40 (empat puluh) tahun" bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah."

Prof. Dr. Muchamad Ali Safa’at, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, turut memberikan pandangannya terkait putusan MK tersebut. Ia mengidentifikasi sejumlah kejanggalan dalam beberapa putusan MK yang menguji konstitusionalitas Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

Pertama, Prof. Ali menyebut bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menambahkan norma baru, yang seharusnya tidak sesuai dengan konsep awal MK yang berfungsi menguji norma yang sudah ada. Ia menyoroti bahwa dalam putusan ini, permohonan untuk menambahkan norma baru yang sebelumnya tidak ada telah dikabulkan. Seharusnya, menurut Prof. Ali, MK hanya seharusnya menguji norma yang telah ada dan menilai apakah norma tersebut konstitusional atau tidak.

Kedua, Prof. Ali menyebut bahwa putusan MK tidak dapat dilepaskan dari konteks politis, terutama karena putusan ini dikeluarkan saat tahap pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. Putusan tersebut secara jelas menyebutkan pihak yang akan diuntungkan, seperti Gibran Rakabuming, yang merupakan anak Presiden Jokowi dan keponakan Ketua MK, Anwar Usman.

Ketiga, Prof. Ali mencatat bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak diambil secara bulat, dengan adanya dissenting opinion dan concurring opinion antar majelis hakim. Hal ini menimbulkan variasi pendapat dalam putusan MK, yang bisa membingungkan dalam menentukan pendapat yang harus diikuti.

Keempat, Prof. Ali menyoroti adanya sejumlah aspek yang dianggap tidak biasa dalam Putusan MK, seperti proses pembentukan putusan, proses persidangan, hingga berbagai faktor yang terkait dengan putusan tersebut.

Prof. Ali juga menyentuh persoalan open legal policy dalam Putusan MK, yang seharusnya tidak berubah dalam waktu singkat. Perubahan substansi putusan MK biasanya memakan waktu yang lama dan harus didukung oleh argumentasi yang lebih kuat.

Prof. Ali menegaskan bahwa perubahan putusan MK yang terjadi dalam waktu singkat dapat menimbulkan pertanyaan tentang kemungkinan intervensi dari pihak yang berkepentingan. Idealnya, perubahan putusan MK seharusnya disebabkan oleh perubahan kondisi atau argumentasi yang lebih kuat. (ADV)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES