Pajak Atas Waris, Beban Ahli Waris karena Kelalaian Pewaris

TIMESINDONESIA, MALANG – Secara umum, harta merupakan kekayaan yang dimiliki oleh seseorang baik yang berwujud atau tidak berwujud yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari maupun untuk investasi. Harta juga dapat dimasukkan ke dalam sumber penghasilan apabila dari harta yang dimiliki dapat berpotensi untuk mendapatkan keuntungan.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dalam Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap wajib pajak yang memperoleh tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, maka akan dikenakan PPh.
Advertisement
Lalu bagaimana dengan harta yang diperoleh karena sebab waris?
Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, pengertian hukum waris adalah hukum yang mengatur pemindahan hak kepemilikan atas harta peninggalan pewaris, lalu menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagian masing-masing. Pewaris memiliki pengertian orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta benda untuk dibagikan kepada yang berhak (Ahli Waris). Untuk Ahli Waris adalah orang-orang yang berhak menerima warisan dari pewaris. Sementara warisan adalah semua peninggalan pewaris yang berupa hak dan kewajiban atau semua harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia setelah dikurangi semua utangnya.
Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, Pasal 4 ayat (3) bahwa warisan termasuk ke dalam objek pajak yang dikecualikan dalam PPh sehingga dapat dikatakan bahwa harta warisan merupakan harta yang tidak dikenakan PPh. Meskipun harta warisan merupakan objek pajak yang dikecualikan, namun di sana ada syarat yang mengikat, yang kalau syarat ini tidak dipenuhi, maka pengecualian tersebut menjadi batal. Syarat tersebut adalah bahwa ahli waris masih memiliki hubungan sedarah dalam satu garis keturunan lurus (anak kandung atau orang tua kandung), dan harta yang diwariskan tersebut sudah dilaporkan pada kolom harta dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Orang Pribadi (SPT Tahunan OP) pewaris.
Terkait dengan pencantuman harta di SPT Tahunan OP, hal ini menjadi syarat yang logis atau selaras dalam pelaksanaan Undang-Undang PPh yang berarti bahwa harta tersebut diperoleh dari penghasilan yang sudah tuntas kewajiban PPh-nya. Dalam struktur pelaporan SPT Tahunan tersebut, wajib pajak melaporkan seluruh bentuk penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak. Dari penghasilan tersebut, ada yang digunakan untuk konsumsi. Namun, ada juga yang digunakan untuk investasi. Dalam berinvestasi, tidak selalu dari penghasilan langsung, tetapi ada juga yang bersumber dari hutang. Makanya, selain melaporkan harta sebagai wujud investasi, wajib pajak juga harus melaporkan berapa hutang yang dilakukan untuk investasi tersebut dalam tahun pajak yang sama. Terakhir, wajib pajak juga harus melaporkan secara rinci berapa tanggungan yang ia miliki dalam tahun pajak yang sama. Semua hal tersebut harus dilaporkan dalam SPT Tahunan.
Selama ini, banyak wajib pajak dalam laporan SPT Tahunan OP hanya melaporkan penghasilan yang berasal dari pekerjaan rutin saja. Padahal, penghasilan itu bisa saja berasal dari hadiah, pemberian, hibah, waris, penjualan atau pelepasan harta, keuntungan investasi, dan lain-lain. Sementara, kolom isian yang lain seperti kolom harta, utang, dan tanggungan, dikosongkan dengan berbagai alasan. Alasan yang sering kita dengar adalah wajib pajak tidak mengisi kolom harta dan hutang karena kelalaian dan takut pajaknya makin besar. Ini kesalahan besar. Dengan tidak dicantumkan hartanya dikolom harta, maka pada saat harta tersebut akan diwariskan pada saat wajib pajak meninggal dunia, ahli waris tidak berhak untuk memperoleh pembebasan dari pengenaan PPh atas harta waris yang diperoleh dari wajib pajak yang meninggal tersebut. Harta tersebut dianggap diperoleh dari harta yang belum ditunaikan kewajiban PPh-nya. Apalagi jika harta tersebut masih atas nama orang lain. Jadi, pewaris akan menambahi beban PPh atas harta waris yang diterima ahli waris yang seharusnya bisa pewaris hindari.
Dengan telah diberlakukannya Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang efektif mulai 1 Juli 2024, maka harta wajib pajak makin mudah diidentifikasi dengan basis NIK. Ke depannya, semua wajib pajak diharapkan dapat melaporkan semua penghasilan yang diterima atau diperoleh, harta yang dimiliki, dan hutang yang masih harus dibayar pada tahun pajak yang sama. Harapannya, harta yang diperoleh dari jerih payah wajib pajak saat diwariskan betul-betul memberikan manfaat kepada ahli waris tanpa embel-embel kewajiban PPh atas harta waris tersebut karena kelalaian pewaris. Semoga.
***
Oleh: Acob Ahmadi - Penyuluh Pajak Kanwil DJP Jawa Timur III
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |