Indonesia Positif

PKB Ingatkan Revisi UU TNI Harus Berbasis Kebutuhan Nyata, Bukan Sekadar Romantisme Lama

Senin, 10 Maret 2025 - 22:43 | 14.06k
Anggota Komisi I DPR F-PKB, Syamsu Rizal. (FOTO: Dok: Rafyq Panjaitan/TIMES Indonesia)
Anggota Komisi I DPR F-PKB, Syamsu Rizal. (FOTO: Dok: Rafyq Panjaitan/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sejumlah legislator mulai menyampaikan pandangan-pandangannya terkait Revisi UU TNI. Anggota Komisi I DPR RI Syamsu Rizal menyoroti Revisi Undang-Undang No 34 Tahun 2004 (RUU) TNI yang memungkinkan prajurit angkatan bersenjata menempati lebih dari 10 lembaga dan kementerian. 

Menurutnya, hal ini bisa saja diterapkan, tetapi harus didasarkan pada kebutuhan nyata, bukan sekadar formalitas atau rekayasa administrasi.

Advertisement

"Kalau ini sudah berjalan di 10 lembaga, nanti pasti akan ada permintaan lebih banyak. Secara pribadi dan di fraksi kami, sebagian setuju, tetapi harus ada koridor yang jelas," ujar Syamsu Rizal seusai mengikuti RDPU Komisi I DPR RI dengan PEPABRI untuk mendapatkan masukan terkait perubahan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/3/2025)

Legislator Fraksi PKB ini menegaskan bahwa kebutuhan akan personel TNI di kementerian dan lembaga harus melalui mekanisme resmi, bukan permintaan abal-abal. Analisis jabatan yang jelas harus menjadi dasar utama dalam menentukan apakah posisi tersebut benar-benar membutuhkan personel berlatar belakang militer.

Lebih lanjut, Syamsu Rizal menyebut bahwa jika revisi UU TNI disahkan, pengaturannya bisa dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) atau regulasi pelaksana lainnya.

Namun, ia menanggapi skeptis pandangan yang masih mempertentangkan antara sipil dan militer dalam pemerintahan.

"Kalau masih berpikir soal dikotomi sipil-militer atau mengaitkannya dengan dwifungsi ABRI di masa lalu, itu sudah ketinggalan zaman. Buktinya, TNI sekarang juga banyak merekrut tenaga sipil, terutama dalam bidang siber. Bisa saja nanti 50 persen tenaga di unit siber TNI berasal dari sipil," jelasnya.

Menurutnya, yang terpenting bukan soal siapa yang menduduki jabatan tertentu, tetapi apakah posisi itu benar-benar membutuhkan kehadiran personel militer.

Syamsu Rizal juga menekankan pentingnya memahami bahwa perubahan regulasi harus mengikuti dinamika zaman. Dia mencontohkan bagaimana berbagai kebijakan politik masa lalu berubah seiring waktu, termasuk revisi aturan terkait organisasi yang dahulu dianggap terlarang.

"Dulu ada kebijakan tertentu terkait TAP MPR, Gus Dur menghapusnya, dan kita menerimanya sebagai kenyataan politik. Maka sekarang, jangan terpaku pada konsep lama. Kita harus adaptif dengan perkembangan zaman," tegasnya.

Dia mengajak semua pihak untuk tidak terjebak dalam romantisme masa lalu yang justru bisa menghambat langkah reformasi dan modernisasi dalam pemerintahan serta institusi militer.

Sebagai penutup, Syamsul Rizal menekankan bahwa penempatan personel TNI di kementerian dan lembaga negara harus benar-benar berbasis kebutuhan, bukan sekadar kebijakan simbolis. Dia juga menolak pandangan yang masih mempertentangkan sipil dan militer dalam struktur pemerintahan modern.

"Kita harus berpikir ke depan, bukan ke belakang. Kalau memang ada kebutuhan riil, kenapa tidak? Yang penting, ukurannya jelas dan sesuai dengan dinamika zaman," pungkas legislator dapil Sulsel ini. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES