Krisis Identitas Remaja Mengkhawatirkan, Pakar Parenting: Mereka Perlu Didengar Bukan Dihakimi

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Krisis identitas kini menjadi bayang-bayang serius bagi remaja Indonesia. Fenomena ini muncul dalam bentuk lemahnya rasa percaya diri, ketidakmampuan membuat keputusan secara matang, hingga keterlibatan dalam tindakan kekerasan. Kondisi ini, menurut para ahli, bermula dari minimnya ruang bercerita di lingkungan keluarga.
“Krisis identitas bisa terjadi saat ruang domestik tak lagi menjadi tempat yang aman bagi remaja untuk bercerita,” ujar Dewi Purboratih, M.I.Kom., M.Psi., praktisi parenting sekaligus konselor remaja, Sabtu (10/5/2025).
Advertisement
Menurut Dewi, pemicu lain yang memperparah kondisi ini adalah konflik internal remaja yang tidak mendapatkan pendampingan yang memadai. Hal ini menyebabkan munculnya perilaku agresif hingga aksi kekerasan, baik sebagai pelaku maupun korban.
“Pendampingan yang tepat membuat remaja merasa aman. Sayangnya, banyak keluhan mereka justru diabaikan oleh orang tua,” katanya.
Dewi menjelaskan bahwa remaja yang sedang mengalami krisis identitas sebenarnya tengah terlibat dalam dialog batin. Mereka kerap mempertanyakan makna hidup dan cara agar bisa diakui atau didengar.
“Pertanyaan seperti 'Apa yang bisa aku lakukan agar aku didengar?' itu seringkali mereka simpan sendiri. Apa yang mereka lakukan sebenarnya adalah upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu,” jelas Dewi yang juga merupakan Parenting Consultant di Sekolah Orangtua Surabaya.
Namun, dalam proses pencarian jati diri ini, remaja sering kali meniru pola perilaku yang salah. Salah satunya, menggunakan kekerasan sebagai mekanisme untuk mendapatkan pengakuan atau otoritas.
“Mereka meniru perilaku kekerasan karena tak menemukan jawaban yang tepat dalam proses pencarian jati diri. Ini bentuk dari kegagalan pendampingan dan lemahnya komunikasi dengan keluarga,” tambahnya.
Menurut Dewi, komunikasi berkualitas dalam keluarga sangat krusial agar remaja merasa didengar, diterima, dan dipahami.
“Ekspresi kegelisahan harus disambut, bukan dihakimi. Ini penting untuk membangun rasa aman dan kepercayaan diri mereka,” tegas ibu dua anak tersebut.
Hilangnya Kontrol Diri dan Lemahnya Sistem Pendukung
Salah satu ciri utama dari remaja yang terlibat kekerasan adalah lemahnya kontrol diri saat menghadapi situasi yang tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Padahal, Dewi meyakini bahwa sebagian besar remaja memahami batasan mana yang diterima atau tidak oleh masyarakat.
Oleh karena itu, melatih keterampilan pengelolaan stres dan membangun kontrol diri menjadi sangat penting.
“Kekerasan jangan sampai jadi refleks utama. Mereka perlu dilatih untuk mengelola tekanan, termasuk lewat aktivitas positif yang membangun kepercayaan diri dan sikap suportif,” ujar Dewi.
Pemulihan komunikasi efektif di dalam keluarga juga dinilainya menjadi fondasi utama dalam proses pendampingan psikososial.
Dalam perspektif psikososial, Dewi merujuk pada teori Erik Erikson yang menyebut bahwa masa remaja adalah fase penting untuk menemukan identitas diri. Proses ini melibatkan pencarian tujuan hidup dan nilai-nilai yang diyakini, termasuk bagaimana mereka ingin dilihat oleh masyarakat.
“Kalau kesempatan bicara di rumah saja tak diberikan, bagaimana mungkin kita bisa berharap mereka tumbuh menjadi generasi emas 2045?” pungkas Dewi.
Ia mengajak semua orang tua dan pendidik untuk mulai membuka ruang komunikasi yang lebih sehat dan empatik bagi para remaja — agar mereka tidak mencari arah dengan cara yang keliru.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Sholihin Nur |