Indonesia Positif Universitas Islam Malang

Penelitian Dosen Unisma: Salah Paham Matematika Bukan Karena Tidak Pandai, Tapi Karena Otak Kita Ingin Selalu Benar

Senin, 19 Mei 2025 - 11:45 | 10.85k
Tim Dosen Unisma Malang saat melakukan penelitian di kelas bersama mahasiswa. (FOTO: AJP TIMES Indonesia)
Tim Dosen Unisma Malang saat melakukan penelitian di kelas bersama mahasiswa. (FOTO: AJP TIMES Indonesia)
FOKUS

Universitas Islam Malang

Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Apakah Anda pernah merasa yakin betul dengan jawaban matematika Anda, padahal ternyata salah? Atau tetap bersikeras dengan cara sendiri meski sudah dijelaskan cara yang benar? Ternyata, hal semacam ini bukan hanya terjadi pada anak sekolah, tapi juga pada mahasiswa calon guru matematika.

Inilah yang ditemukan dalam sebuah penelitian menarik dari tim dosen Universitas Islam Malang (UNISMA), yang dipimpin oleh Dr. Surya Sari Faradiba, M.Pd., bersama Dr. Alifiani, M.Pd., Fadhila Kartika Sari, M.Pd., dan Isbadar Nursit, M.Pd. Penelitian ini didanai oleh hibah internal FKIP UNISMA tahun 2024, dan mengungkap bahwa kesalahan berpikir dalam matematika seringkali bukan karena kurangnya kemampuan, melainkan karena adanya “pertentangan dalam pikiran” atau yang dikenal dengan istilah disonansi kognitif.

Advertisement

Disonansi kognitif adalah rasa tidak nyaman ketika seseorang menemukan bahwa apa yang diyakini selama ini ternyata salah. Dan alih-alih menerima yang benar, banyak orang justru memilih membela keyakinan lamanya. Dalam penelitian ini, seorang mahasiswa tetap ngotot dengan cara hitungnya sendiri, meskipun sudah diperlihatkan cara yang benar—karena dia sudah terbiasa melakukannya sejak lama.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

“Ini bukan hanya soal matematika. Ini soal bagaimana otak manusia cenderung ingin merasa benar, meskipun kenyataannya tidak begitu,” ujar Dr. Surya.

Temuan ini ternyata tak hanya relevan bagi dunia pendidikan. Masyarakat umum pun bisa belajar banyak. Misalnya, dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai orang yang sulit menerima pendapat berbeda. Bukan karena mereka keras kepala semata, tapi karena otak mereka sedang berusaha melindungi ‘rasa benar’ yang sudah tertanam.

Dengan memahami cara kerja pikiran seperti ini, kita bisa menjadi lebih bijak dalam berkomunikasi, tidak mudah menghakimi, dan lebih sabar dalam menghadapi perbedaan pendapat—baik itu di lingkungan kerja, keluarga, maupun media sosial.

Penelitian ini juga memberi pesan penting: bahwa belajar itu bukan hanya soal menambah pengetahuan, tapi juga soal berani mengoreksi diri. Semakin kita terbuka terhadap kemungkinan salah, semakin besar peluang kita untuk tumbuh.

Dan tentu saja, bagi para pendidik dan orang tua, hasil riset ini bisa jadi bahan renungan: bahwa membantu anak memahami pelajaran bukan hanya soal memberi jawaban, tapi juga mendampingi mereka saat mereka merasa bingung dan bertentangan dengan apa yang mereka yakini.

Penelitian ini menjadi pengingat bahwa memahami cara berpikir orang lain bukan hanya berguna di ruang kelas, tetapi juga dapat mempermudah hidup kita dalam membangun hubungan yang lebih pengertian dan saling menghargai. (*)

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES