Indonesia Positif

PKB Kritik Penulisan Sejarah Indonesia: Tak Boleh Kurang Sosialisasi, Sejarah Gus Dur Jangan Setengah Halaman

Selasa, 27 Mei 2025 - 06:22 | 4.80k
Rapat kerja Komisi X DPR RI bersama Menteri Kebudayaan Fadli Zon. (FOTO: ist)
Rapat kerja Komisi X DPR RI bersama Menteri Kebudayaan Fadli Zon. (FOTO: ist)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Andi Muawiyah Ramly, melontarkan kritik terhadap proses penulisan sejarah Indonesia yang tengah dilakukan oleh Kementerian Kebudayaan (Kemenbud). 

Dalam rapat kerja bersama Menteri Kebudayaan Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Andi menegaskan bahwa penyusunan sejarah bangsa tidak boleh dilakukan tergesa-gesa dan minim sosialisasi.

Advertisement

“Jangan sampai penulisan sejarah ini hanya dilakukan dalam waktu enam bulan lalu diluncurkan Agustus. Ini sejarah bangsa, bukan proyek cepat jadi. Harus ada uji publik, seminar, sosialisasi yang luas,” ujar Andi dalam rapat yang digelar di Ruang Rapat Komisi X DPR, Senayan, Senin (26/5/25)

Ia mengungkapkan kekhawatiran bahwa tanpa proses yang inklusif dan ilmiah, penulisan sejarah berpotensi bias dan tidak merepresentasikan berbagai sudut pandang. Salah satu contoh yang disoroti adalah minimnya pengakuan terhadap tokoh penting seperti Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

“Kalau menulis tentang Gus Dur, jangan cuma setengah halaman. Sebutkan juga bagaimana beliau mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua. Beliau diakui sebagai Bapak Bangsa oleh masyarakat Papua, mengakui agama Konghucu, dan memperjuangkan hak-hak etnis Tionghoa,” ujarnya.

Andi juga menyinggung ketidakhadiran tokoh besar NU KH. Hasyim Asy’ari dalam buku sejarah sebelumnya yang sempat beredar. Menurutnya, penghilangan tokoh sentral seperti itu bisa menimbulkan kemarahan publik dan menghilangkan kontribusi penting dalam perjalanan bangsa.

Ia menambahkan, sejarah tidak bisa disusun hanya berdasarkan narasi tunggal, apalagi jika penyusunannya tidak melibatkan akademisi, sejarawan, dan publik secara luas. Ia pun mengingatkan agar Komisi X tidak dijadikan semacam “hakim” dalam menentukan versi tunggal sejarah nasional.

“Saya ingin penulisan sejarah dilakukan dengan cermat, melibatkan seminar-seminar ilmiah, dan disepakati bersama sebagai rujukan nasional untuk diajarkan di sekolah,” tutupnya.

Rapat tersebut merupakan bagian dari pengawasan Komisi X terhadap kebijakan strategis di bidang kebudayaan, khususnya terkait penyusunan buku sejarah nasional yang direncanakan akan menjadi materi ajar resmi di jenjang pendidikan.

Sebelumnya, Pada 19 Mei sekelompok masyarakat yang menamai diri Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyampaikan penolakan terhadap rencana penulisan sejarah resmi oleh pemerintah. Mereka menilai, ada potensi mencuci dosa masa lalu dan terkesan terburu-buru jika deadline-nya sebelum 17 Agustus 2025.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ahmad Nuril Fahmi
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES