Indonesia Positif

Sejarah Versi Negara Dinilai Bias Pelaku Bukan Korban, Eva Sundari Minta Menbud Dicopot

Selasa, 17 Juni 2025 - 19:21 | 5.35k
Eva Sundari. (FOTO: SS Youtube koalisi perempuan Indonesia)
Eva Sundari. (FOTO: SS Youtube koalisi perempuan Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dua tokoh penting, aktivis perempuan Eva Sundari dan sejarawan Andi Achdian, melontarkan kritik tajam terhadap proyek penulisan ulang sejarah nasional yang digagas Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Keduanya menilai proyek ini bukan hanya bermasalah secara metodologis dan etis, tetapi juga mengabaikan peran perempuan dan cenderung membenarkan kekerasan oleh negara di masa lalu.

Eva Sundari menilai upaya pemerintah menulis ulang sejarah nasional mengandung kekeliruan fatal yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Ia menyebut pendekatan yang dipakai justru menyingkirkan perspektif korban, terutama perempuan, dan lebih menonjolkan narasi pelaku.

Advertisement

“Penulisan sejarah ini kok perspektifnya perspektif pelaku, bukan perspektif korban. Dan perempuan ini selalu menjadi objek, tidak pernah jadi subjek,” ujarnya dalam diskusi yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia, Selasa (17/6/2025). 

Ia menegaskan bahwa Pancasila sejatinya menekankan prinsip kesetaraan, inklusivitas, dan gotong royong. Namun dalam proyek sejarah ini, justru terjadi pengabaian terhadap kelompok perempuan sebagai korban. “Kalau perempuan itu dinafikan, artinya ada kesalahan epistemik yang fatal,” tegasnya.

Eva juga mengkritik Fadli Zon secara langsung sebagai Menteri Kebudayaan yang tidak memahami tugasnya dalam memulihkan martabat kebangsaan. “Menteri Kebudayaan itu harus mengembalikan martabat bangsa, dan di dalam bangsa itu ada perempuan korban. Bukan malah membungkam, menghindari, dan menghilangkan,” katanya.

Ia menyebut proses ini sebagai bentuk impunitas baru yang dilembagakan oleh negara. “Sudah budaya impunitas dikuatkan, sekarang budaya eksklusivitas juga dikuatkan,” ucap Eva.

Ia bahkan menyarankan Fadli Zon diganti bila tidak mampu menjalankan tugas berdasarkan semangat Undang-Undang Kebudayaan. “Kalau Mas Fadli Zon enggak mampu karena ini proyek pribadi, ya diganti dong,” sindirnya.

Sejarawan Andi Achdian juga menolak proyek ini dengan alasan serupa. Ia menyebut bahwa sejarah resmi yang ditulis oleh negara kerap menjadi alat “whitewashing”, atau upaya pembersihan kesalahan negara dari catatan sejarah.

“Apa yang kita khawatirkan itu terjadi, terbukti dari pernyataan-pernyataan Menteri Kebudayaan sekarang,” ujarnya.

Andi mengkritik proyek penulisan sejarah ini sebagai upaya yang terburu-buru, tidak berpijak pada kesadaran etis, dan hanya berlandaskan teknikalitas. Ia mempertanyakan motif di balik proyek tersebut.

“Kalau mau menulis sejarah nasional, harus ada kesepakatan moral dan etis yang luas. Itu yang tidak ada dalam rencana kementerian ini,” katanya.

Menurutnya, sejarah nasional tidak bisa ditulis hanya berdasarkan pengumpulan data teknis, apalagi dengan mengabaikan peristiwa traumatik seperti kekerasan terhadap perempuan.

“Tubuh perempuan selalu menjadi target dalam setiap krisis politik. Apakah ini hanya akan ditulis sebagai ekses? Itu sangat membahayakan,” katanya.

Ia menilai narasi yang dibangun pemerintah berpotensi membunuh dua kali para korban. “Kalau kekerasan terhadap perempuan ditulis sebagai ekses kerusuhan saja, itu membunuh korban untuk kedua kalinya,” tegas Andi.

Andi juga menyindir dominasi Menteri Kebudayaan dalam wacana ini. “Yang lebih sibuk menterinya daripada sejarawannya. Apakah ini pandangan pribadi Fadli Zon atau pandangan resmi pemerintah?” katanya.

Baik Eva maupun Andi sama-sama menolak proyek ini dilanjutkan, karena berpotensi memperkuat impunitas, menghilangkan perspektif korban, dan menyusun narasi sejarah yang bias kekuasaan. Mereka menyerukan agar penulisan sejarah dilakukan secara inklusif, transparan, dan berpihak pada kebenaran serta keadilan.

“Demokrasi itu indikatornya ketika keadilan bisa ditegakkan. Keadilan bisa ditegakkan kalau kebenaran dibuka, dan itu hanya bisa dilakukan kalau penulisan sejarah berperspektif korban,” tutup Eva. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES