Kesehatan

Cak Prof Ulum, Sang Profesor 'tanpa' Ginjal

Selasa, 08 Maret 2022 - 11:48 | 142.07k
Prof. Dr. Ihyaul Ulum, S.E., M.Si., Ak., CA (Foto: Dokumen TIMES Indonesia)
Prof. Dr. Ihyaul Ulum, S.E., M.Si., Ak., CA (Foto: Dokumen TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – What? Cak Prof Ulum "tanpa" ginjal? Sudah setahun? Ah yang benar!

Kabar itu langsung mengagetkan saya. Apalagi pas ngobrol soal Hari Ginjal Sedunia. Diperingati setiap tanggal 10 Maret. Itu berarti Kamis, lusa. 10 Maret 2022. 

Saya pun langsung menanyakan ke sahabat saya itu. Deg-degan. Plus sedikit penasaran.

"Iya Mas. Bener," ucapnya di ujung sinyal telepon sana.

Jleb. Kaget. Sumpah benar-benar kaget. Padahal beberapa minggu sebelumnya masih komunikasi. Tak ada kabar. Apalagi mengabari. Tentang sakitnya itu.

"Saya ini ndak sakit Mas. Sehat kok!". 

Nah ini lagi. Kalimatnya itu membuyarkan lamunan saya.
Tentang imajinasi kondisi Cak Prof. 

Betapa tidak. Saya membayangkan kalau sahabat saya ini terkulai lemas. Tak berdaya di tempat tidur. Atau duduk di kursi roda. 

Ternyata tidak sama sekali. Baik-baik saja. Cak Prof sendiri juga mengakui itu. 

"Kita ini orang-orang sehat Mas, namun dua kali seminggu harus cuci darah. Hemodialisis. Itu saja! Kita sehat kok!"

Kalimat itu dilontarkan Cak Prof. Penuh semangat. Getarannya sampai di telinga. Energinya powerfull. Pula diiringi tawa renyah.

Prof-Ulum.jpgProf Ulum saat sedang cuci darah dua kali seminggu, tiap Selasa dan Jumat.

"Banyak orang mengira kalau pasien cuci darah itu pesakitan. Tidak bisa ngapa-ngapain. Tergeletak di atas tempat tidur. Tanpa aktivitas. Lho, wong sehat gini lho, katanya sakit! Tidak. Tidak sakit!” katanya lagi.

Betul juga Cak Prof. Awalnya saya sendiri juga berpikiran begitu. Apalagi ini bareng-bareng lagi bicara Hari Ginjal Internasional. 

Padahal ada pula sahabat dan salah satu keluarga mengalaminya. Sudah 20 tahun mengandalkan hemodialisis. Cuci darah. Seminggu dua kali. Dan sampai sekarang saudara sehat-sehat saja. 

Dulu juga almarhum Mas Nidhom Hidayatullah, sahabat saya yang lain. Juga begitu. Sehat-sehat saja. Meski harus cuci darah dengan pil yang dimasukkan ke selang di perutnya. Fine-fine saja.

Cak Prof Ulum juga. Sehat sekali. "Mungkin karena kurangnya edukasi tentang cuci darah ya. Atau karena asumsi-asumsi yang salah yang berkembang di masyarakat tentang cuci darah. Ada banyak ‘celetukan’, pertanyaan (atau pernyataan) yang seringkali kurang tepat," kata Cak Ulum. 

Bahkan, kata Cak Prof lagi, ada yang cerita bahwa orang kalau sudah cuci darah itu tinggal menunggu waktu saja. Ibarat antrean. Sudah dapat nomor urut. 

"Saya sering bilang pada diri saya sendiri; tidak ada kepastian yang sakit mati duluan. Atau yag kelihatan sehat hidup lebih lama.
Tidak ada syarat harus sakit sebelum mati. Mati itu sebuah kepastian, siapapun akan mati. Kapan pun. Di mana pun. Dengan cara apapun."

Betul juga Cak. Kalau sudah waktunya nyawa pisah dari raga, tak ada yang bisa halangi. Yang sehat-sehat pun bisa. 

Ikhwal kisah Cak Prof ini terjadi setahun lalu. Awal Maret 2021. Pas setahun hari-hari ini. Di Maret 2022.

Tak ada gejala apapun dirasakan Cak Ulum. Hanya tiba-tiba dia ambruk. Dibawa ke rumah sakit. Bahkan sempat koma nyaris tiga hari. 

Diagnosanya mengagetkan. Ternyata fungsi ginjalnya hanya tinggal 15%. Itu berarti dia harus cuci darah. Untuk kelangsungan hidupnya. Dua kali seminggu. Tiap Selasa dan Jumat.

Cak Prof kaget. Begitu juga keluarga. Sempat shock juga. 

"Awalnya, tentu saya "protes" dan "tidak terima" atas vonis tersebut. Manusiawi dong. Saya merasa baik-baik saja selama ini. Tapi akhirnya saya bisa menerima," kenang Cak Prof.

Atas vonis itu, dokter juga bingung. Kok bisa. Tensi normal. Gula darah normal. Kolesterol bagus. Semua normal-normal saja. 

Genetik? Juga tidak ada riwayat. "Itulah. Dokter aja bingung. Apalagi saya," kelakarnya.

Namun semuanya bisa normal kembali. Cak Prof bisa menata emosinya sendiri. Pula psikologisnya. Termasuk keluarga.

"Saya mulai bisa menerima jalan hidup ini. Ya, saya memaknainya sebagai jalan hidup. Takdir!. Saya jalani dan saya syukuri. Alhamdulillah sampai sekarang sehat dan bahagia," ucap Cak Prof.

Aktivis dan Profesor Langka

Cak Prof Ulum. Kadang saya hanya memanggilnya Cak Prof. Sejak dikukuhkan sebagai Guru besar akuntansi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). 

Nama lengkapnya sendiri, Prof Dr Ihyaul Ulum, SE, MSi, Ak, CA. Dikukuhkan sebagai profesor pada 17 September 2020. Masa ganas-ganasnya Covid. Makanya pengukuhannya di ruang terbuka dalam sidang terbuka. Di halaman kampus putih UMM.

Cak Prof ini sahabat karib. Kami cukup akrab. Sudah seperti saudara. Dulu waktu masih muda kurusnya sama. Sekarang juga sama. Kuru. Kurukan daging (tertimbun daging, gemuk).

Prof-Ulum-1.jpg

Cak Prof sangat gesit waktu itu. Soulmate-nya Mas Sudarmaji. Media Officer Arema itu. Mereka teman se-fakultas. Di FE UMM. Sama-sama aktivis 98. 

Kami bertiga sering runtang runtung. Mungkin karena usia sepantaran. Sama-sama kelahiran 1976. Tepatnya, Cak Ulum lahir di Paciran, Lamongan, 2 Juli 1976.

Bedanya, sekarang Cak Ulum sudah mencapai cita-cita akademisnya yang tertinggi. Profesor. Guru besar. Alhamdulillah. Sangat senang punya sahabat seusia sudah jadi guru besar.  

Dulu kami sama-sama pernah bergelut di dunia aktivis "malam" era 2000-an. Di Kota Malang. 

Eits. Jangan negative thinking dulu. Aktivis "malam" di sini bukan macam-macam lho. Tapi teman diskusi sampai malam. 

Banyak juga lainnya. Ada Mas Nazar - Pak Nazarudin Malik, sekarang WR 2 UMM. Ada Mas Fauzan (Pak Dr Fauzan, sekarang rektor UMM), Mas Wahyudi (Pak Dr Wahyudi Winarjo), Mas Wahyu Hidayat, Mas Sudarmadji, Mas Yunan Saifullah, dan banyak lainnya. 

Kita biasa ngumpul sampai menjelang dini hari. Di Rumah Baca Cerdas (RBC), kawasan Ruko Permata Jingga. Yang didirikan Prof Malik Fadjar itu. 

Cak Ulum ini ilmuwan yang aktivis. Sejak muda tak mau diam. Tapi begitu kerja. Diam. Tak bisa diganggu. 

Mungkin urusan angka kali ya. Jadi harus ekstra konsentrasi. Jeli. Rapi. Teliti.

Jadinya ya gini. Profesor akuntansi yang jarang ada. Spesial pokoknya. 

Iya. Spesial. Kalau akuntan kan biasa urusan angka-angka. Ini Cak Ulum juga ngurusi yang tanpa angka. Lalu diangkakan.

Iseng kadang saya menyebutnya profesor intangible assets. Ngitung asset value yang tidak kasat mata. Guru besarnya memiliki fokus keahlian pada intangible assets yang berupa ini intellectual capital. 

Sederhananya gini. Dalam sebuah perusahaan ada aset tampak dan tidak tampak. Tangible assets dan intangible assets. 

Gedung, mobil, duit, karyawan, itu aset tampak. Sedang trust, brand, image, skill, inovasi, itu adalah aset intelektual. Ia tak tampak. Tapi nilainya bisa melebih dari yang tampak.

Contoh riilnya itu seperti Gojek, Grab, dan sebangsanya. Mereka punya intangible assets yang sangat besar melebihi aset nyatanya. 

Cak Ulum fokus di sana. Profesor asal Lamongan ini bisa menghitung intangible assets itu. Diukurnya. Lalu bisa dilabeli.

Cak Prof bikin yang namanya modified value added intellectual coefficient. Disingkat MVAIC. Itu sebuah model pengukuran intellectual capital performance. Atau kinerja modal intelektual.

Panjang kalau diskusi ini. Tapi Cak Prof sangat menguasainya. Makanya skill profesor akuntansi seperti ini langka. Dan, beberapa waktu ke depan saya akan intens diskusi soal ini. Intangible assets. Berkaitan dengan unit baru TI; metatimes dan metantara.

Pokoknya angkat jempol banyak-banyak. Sampean adalah manusia pilihan!

Kami sahabat-sahabat Sampean sangat salut semuanya. Ya dengan semangat, kesabaran, keuletan, dan keistiqamahan Sampean.

Tetap semangat Cak Prof Ulum. Sahabat-sahabatmu ini bangga pada Sampean. Spirit masa-masa muda dulu jadikan semangat hidup. Dan, jangan lupa, saat Sampean sedikit lelah, jangan lupa, kami siap nge-charge semangat Sampean. (khoirul anwar)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES