Gen Z di DIY Banyak Alami Kesehatan Mental, Pemerhati Sosial: Peran Orang Tua Harus Dikuatkan
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Penderita gangguan kesehatan mental di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menempati urutan kedua di Indonesia setelah Provinsi Bali. Tekanan hidup hingga himpitan ekonomi yang dialami sebagian masyarakat menjadi salah satu alasannya. Mirisnya penderita itu didominasi anak muda (Gen Z).
Meski DIY diberikan julukan Kota Pelajar karena memiliki jumlah remaja dan pelajar yang cukup banyak. Namun, kenyataannya masih banyak kasus kesehatan mental dan tingkat kesehatan mental yang rendah pada remaja DIY.
Advertisement
Merujuk data Dinas Kesehatan tahun 2016, jumlah kasus kesehatan mental di DIY tahun 2016 sebanyak 12,322 dari total penduduk 3,594 juta orang yang mengalami gangguan kesehatan mental berat.
Sejumlah faktor lain, dalam Indeks Kebahagiaan di DIY punya angka yang lebih buruk dari rata-rata nasional. Hal tersebut tak hanya menyangkut aspek ekonomi melainkan juga kesehatan dan pendidikan.
Indeks Kebahagiaan diukur berdasarkan tiga dimensi. Pertama, dimensi kepuasaan hidup – yang dibagi menjadi kepuasaan personal dan sosial. Kedua, dimensi perasaan. Ketiga, makna hidup.
Kendati demikian, berdasarkan survei terhadap penanganan kesehatan mental pada remaja yang dilakukan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2021, penyelesaian masalah yang paling sering dilakukan adalah bercerita pada teman (98.7%), menghindari masalah yang dihadapi (94.1%), dan mencari informasi tentang cara mengatasi masalah dari internet (89.8%).
Mirisnya, sebagian berakhir dengan menyakiti diri mereka sendiri (51.4%), atau bahkan menjadi putus asa disertai keinginan mengakhiri hidup (57.8%).
Pada 2022 silam, menunjukkan gen Z memang menjadi generasi yang paling banyak merasa memiliki masalah kesehatan mental dibandingkan generasi X, dan generasi Milenial.
Dibuktikan, sebanyak 59,1% Gen Z yang merasa memiliki masalah kesehatan mental, sementara generasi milenial hanya sebanyak 39,8% dan Gen X 24,1 persen.
Adapun kesehatan mental sendiri bisa dipengaruhi oleh peristiwa dalam kehidupan yang meninggalkan dampak yang besar pada kepribadian dan perilaku seseorang, yakni diantaranya seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan anak, atau stres berat jangka panjang.
Apakah dari data tersebut menunjukkan bahwa Gen Z memiliki mental yang lemah? Faktanya, setiap generasi memiliki risiko yang sama mengalami masalah kesehatan mental. Hanya saja, Gen Z hidup di era internet yang membuat mereka lebih mudah mencari informasi terkait kesehatan mental. Mungkin saja generasi terdahulu sebenarnya juga merasakan apa yang dirasakan oleh Gen Z.
Akan tetapi, masih banyak dari mereka yang belum mengetahui istilah-istilah terkait kesehatan mental seperti anxiety, burnout, panic attack dan sejenisnya. Apalagi, adanya pandemi selama 2019 hingga 2022 lalu juga berpengaruh pada kondisi mental, terutama pada remaja.
Kondisi yang cukup mencekam pada masa pandemi itulah, terjadi keterbatasan interaksi secara langsung, banyaknya kabar duka, hingga ketidakpastian akan segala sesuatu rentan memicu berbagai masalah kesehatan mental pada generasi Z.
Ditambah, media sosial dan Gen Z adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Namun, jika tidak digunakan secara bijak, informasi pada media sosial bisa berpengaruh terhadap kesehatan mental generasi Z.
“Apa yang terlihat di media sosial sering kali menjadi standar dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Padahal, apa yang terlihat di media sosial tak jarang hanyalah sisi baik dari satu hal saja,” kata Dra Prima Sari pemerhati masalah sosial, ekonomi, dan kesehatan, Sabtu (6/7/2024).
Lebih lanjut, Prima Sari yang juga calon legislatif DPR-RI dari Partai Demokrat untuk daerah pemilihan DIY mengungkapkan bahwa, salah satu dampak media sosial pada remaja terjadi stres karena mereka tidak bisa mengikuti “standar” orang lain.
Karenanya, penting untuk menyaring informasi yang beredar di internet. Penting pula bagi orangtua, apalagi dengan anak-anak di bawah umur, seharusnya memberikan pendampingan kepada anak saat menggunakan internet.
“Bekali anak dengan mengajarkannya cara menggunakan internet dengan bijak serta bermain media sosial dengan aman. Sayangnya, hal ini sering kali menjadi bumerang bagi kesehatan mental generasi Z. Apa yang ditampilkan pada media sosial tidak lepas dari berbagai konsekuensinya. Makanya, semua orang perlu sangat berhati-hati dalam berkomentar, posting, maupun berbagi informasi di dunia maya. Jika menghadapi suatu permasalahan, pertimbangkan kembali sebelum Anda membagikan segala sesuatu ke media sosial. Akan lebih baik jika dincari penyebab utama dari masalah yang sedang dihadapi dan berusaha memperbaikinya dari sana ketimbang berkeluh kesah atau curhat pada media sosial,” papar Prima Sari.
Sepanjang 2023, Angka Bunuh Diri DIY Ada 36 Kasus, Penderita Sebagian Besar Remaja
Sebelumnya, diungkapkan oleh Kapolda DIY, Irjen Suwondo Nainggolan jumlah kasus bunuh diri yang terjadi di DIY selama 2023 cukup signifikan.
Rinciannya yakni yang berusia di bawah 20 tahun terdapat dua kasus, jumlah kasus bunuh diri pada orang yang berusia 20-40 tahun sebanyak 14 orang. Kemudian orang-orang yang berusia 41-60 tahun sebanyak delapan kasus dan di atas 60 tahun sebanyak 12 kasus.
Dikatakan motif bunuh diri beragam, mulai dari gangguan kesehatan mental, sakit menahun, depresi, hingga asmara. Ia pun berpesan agar para mahasiswa menghubungi orang tua mereka jika ada masalah. Menurut dia, orang tua adalah orang yang paling memahami anaknya. "Jumlah bunuh diri periode 2023 ada 36 kasus," kata Suwondo, ketika memberikan Pidato Kebangsaan di Universitas Amikom Yogyakarta beberapa waktu lalu. (*)
A Riyadi
TIMES Yogyakarta
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sholihin Nur |