Kesehatan

Stop Stigma Negatif ke Penderita Epilepsi, Siloam Hospitals Bali: Bisa Sembuh

Kamis, 28 Maret 2024 - 09:50 | 38.96k
Siloam Hospitals bersama pasien epilepsi yang telah menjalani operasi saat memperingati Purple Day. (Foto: Susi/TIMES Indonesia)
Siloam Hospitals bersama pasien epilepsi yang telah menjalani operasi saat memperingati Purple Day. (Foto: Susi/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BALI – SIloam Hospitals mengajak masyarakat untuk lebih mengenal penanganan epilepsi dalam rangka memperingati momentum Purple Day atau Hari Epilepsi International.

Dr I Gusti Ayu Made Riantarini, SpN,  selaku dokter spesialis neurologi atau spesialis saraf yang menangani pasien epilepsi di Siloam Hospitals mengimbau agar masyarakat tidak memberikan stigma buruk bagi penderitanya.

Advertisement

Ia juga menuturkan betapa bermanfaatnya jika penanganan epilepsi diketahui secara luas oleh publik.

"Karena dengan lebih mengenal epilepsi , tentu akan turut mendorong keluarga penderita lebih terbuka terhadap  penanganan yang lebih tepat," tuturnya, Kamis (28/3/2024).

Kegiatan Purple Day merupakan bagian dari kampanye internasional sejak 26 Maret 2008 di Kanada yang kemudian diikuti 85 negara.

Dalam media gathering bersama sejumlah awak media, Siloam memberikan edukasi agar masyarakat tidak mempercayai Mitos terhadap penanganan epilepsi.

"Harapannya agar memberi manfaat terhadap komunitas dan kualitas hidup pasien semakin lebih baik," ujarnya.

Dijabarkannya, epilepsi merupakan keadaan dimana aktivitas sel saraf di otak terganggu, yang menyebabkan munculnya bangkitan kejang.

"Gangguan pada sel listrik di otak yang berlebihan ini dapat menimbulkan serangan berulang /perubahan tingkah laku yang bersifat sementara," jelasnya.

I Gusti Ayu Made Riantini menambahkan bahwa  epilepsi dapat terjadi sebagai akibat dari kelainan genetik atau cedera otak yang dialami, seperti trauma atau stroke.

Faktor risiko lainnya antara lain usia, genetik, cedera kepala, kejadian kejang demam ,  autoimun, dan tumor otak.

Penderita epilepsi terdata sebanyak 65 juta penduduk di dunia, 1 dari 100 orang dan di Indonesia terdapat 150 ribu kasus per tahun.

"Dari angka tersebut, secara spesifik 50 persen penyebab epilepsi tidak diketahui," imbuhnya.

Dalam kegiatan tersebut dijelaskan pula data kunjungan Pasien Epilepsi di Siloam Hospital Bali periode 2018 hingga 2023, yang terus mengalami kenaikan kunjungan, yaitu dimulai pada tahun 2008 untuk 442 pasien dan tahun 2009 sebanyak 981 pasien, kemudian pada tahun 2010 yang terus mengalami kenaikan sebamyak 1.593 dan data terakhir yaitu di tahun 2023  sejumlah 3.510 penanganan dan kunjungan.

Diterangkan dokter spesialis bedah Siloam Hospitals Bali, dr Dewa Putu Wisnu Wardhana, MD, PHd, FICS, FINSS (Neurosurgeon) bahwa ada beberapa modalitas yang dapat digunakan dalam deteksi epilepsi dan penyebabnya.

"Cara pertama yaitu melalui pemeriksaan EEG atau Elektroensefalografi dengan cara merekam aktivitas elektrik sportan dari otak, selama periode tertentu (30 menit), dari elektrode yang dipasang di kulit kepala," paparnya.

Kemudian cara kedua melalui  MRI (di kepala) dimana hal ini untuk menilai anatomi otak dan menyingkirkan kelainan otak lain sebagai penyebab epilepsi.

Penyembuhan umum dilakukan melalui pemberian obat anti kejang yang diminum sesuai jenis kejang, usia jenis kelamin, dan kondisi metabolik

"Dimulai dengan satu macam obat dosis terendah dan diminum secara teratur," ungkapnya.

Siloam juga menghadirkan Dr dr Made Agus Mahendra Inggas, SpBS, dokter bedah saraf Siloam Group yang mengungkap metode penanganan yang lebih advance untuk mengatasi epilepsi dengan terapi VNS dan DBS.

Ia menjelaskan tentang VNS terapi  (juga disebut stimulasi saraf vagus) telah disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) sebagai terapi tambahan untuk orang dewasa dan anak-anak berusia 4 tahun ke atas untuk mengobati kejang fokal atau parsial yang tidak merespons obat kejang.

"Ini disebut epilepsi yang resistan terhadap obat atau epilepsi refrakter," tutur Agus Mahendra.

Ia menambahkan, stimulasi saraf vagus (VNS) dapat mencegah atau mengurangi kejang dengan mengirimkan energi listrik ringan dan teratur ke otak melalui saraf vagus.

Sementara itu, terapi stimulasi otak dalam (Deep Brain Stimulation/DBS) merupakan penggunaan alat untuk membantu mengendalikan kejang.

"Dilakukan pembedahan untuk memasang alat tersebut, kemudian diprogram di klinik rawat jalan oleh dokter spesialis epilepsi," jelasnya.

Pembedahan dilakukan dengan melihat gangguan pusat titik lokasi kelistrikan di otak pasien. Metode ini tentu dipilih berdasarkan indikasi yang sangat kuat dengan mempertimbangkan risiko dan benefit yang bisa dialami oleh pasien

Siloam Hospitals Bali merupakan salah satu rumah sakit unggulan akan penanganan saraf dan bedah saraf di bidang epilepsi.

Dr Dewa Putu Wisnu Wardhana, MD, PHd, FICS, FINSS (Neurosurgeon) dan Dokter Spesialis Saraf, I Gusti Ayu Made Riantini, jadwal praktiknya dapat diketahui melalui aplikasi MySiloam.

Ini diakui oleh I Kadek Dwi Jana putra, keluarga salah seorang pasien epilepsi asal Batubulan Gianyar yang baru saja menjalani operasi di Siloam Hospitals.

Ia menjabarkan bahwa putrinya NKSD (15), mengalami kejang sejak usianya masih 3 bulan dan sudah berobat ke berbagai rumah sakit untuk mengakhiri penderitaan putrinya.

"Sampai akhirnya kami diperkenalkan di Siloam metode terapi penurunan dosis obat yang mulai dari 6 macam obat hingga 3 macam obat," jelasnya kepada sejumlah awak media.

Kini, sejak 7 bulan pasca menjalani operasi, sang anak sudah tidak mengalami kejang dan berharap ini menjadi awal kesembuhan bagi putrinya dari epilepsi agar dapat menjalani hidup yang normal seperti anak seusianya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hendarmono Al Sidarto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES