Epidemiolog UI: Penanganan Tepat, Cacar Monyet Sembuh Sendiri

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), dr. Syahrizal Syarif, MPH, PhD, menegaskan bahwa penyakit cacar monyet atau Mpox bisa sembuh dengan sendirinya dalam 2-4 minggu asalkan mendapatkan penanganan medis yang tepat.
"Dengan pengobatan yang tepat, pasien bisa sembuh dalam waktu dua sampai empat minggu," ujar dr. Syahrizal di Depok, Jawa Barat, Sabtu (14/9/2024).
Advertisement
Menurutnya, Mpox yang kini menyebar di Indonesia berasal dari strain Clade 2, yang memiliki tingkat penularan lebih rendah dan tingkat kematian di bawah 1 persen. Sebagai perbandingan, strain Clade 1, yang lebih sering ditemukan di Afrika, memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi, yaitu 5-10 persen. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan bahwa strain Clade 2 yang tersebar di Indonesia memiliki risiko penularan yang lebih rendah dibandingkan Clade 1.
Kewaspadaan pada Kelompok Berisiko Tinggi
Meskipun cacar monyet bukan penyakit endemik di Indonesia, dr. Syahrizal mengingatkan bahwa virus ini tetap berpotensi menjadi ancaman bagi kelompok berisiko tinggi.
“Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan Mpox sebagai Public Health Emergency of International Concern. Mpox berpotensi menyebar terbatas di Indonesia, terutama di kalangan kelompok berisiko tinggi. Oleh karena itu, kewaspadaan dan pencegahan harus tetap dilakukan,” tegasnya.
Gejala dan Tahapan Penyakit Mpox
Mpox memiliki dua fase utama gejala. Pada tahap awal, penderita akan mengalami demam, sakit kepala, batuk, pilek, dan pembesaran kelenjar getah bening di leher dan ketiak. Setelah itu, penyakit ini berkembang menjadi ruam kulit yang kemudian berubah menjadi benjolan berisi nanah sebelum mengering menjadi koreng.
“Lokasi ruam paling sering muncul di wajah, tangan, punggung, dan mulut, namun pada wabah tahun 2022-2023, ruam juga banyak ditemukan di area genital dan anus,” tambahnya.
Penularan Mpox terjadi melalui kontak erat dengan penderita. Mayoritas kasus, sekitar 86 persen, terjadi pada laki-laki yang berhubungan sesama jenis, dengan 6 persen kasus terjadi pada kelompok transgender dan biseksual. Meskipun demikian, Mpox bukanlah penyakit menular seksual, namun penularan lebih mungkin terjadi melalui kontak fisik langsung atau hubungan seksual pada kelompok berisiko tinggi.
Meskipun demikian, dr. Syahrizal menekankan bahwa risiko penularan di masyarakat umum tergolong rendah.
“Mpox tidak menular dengan mudah pada masyarakat umum. Namun, mereka yang merasa mengalami gejala mirip Mpox harus segera memeriksakan diri, karena gejalanya sering kali mirip dengan herpes atau cacar air,” jelasnya.
Pengobatan dan Vaksinasi
Proses diagnosis Mpox dilakukan melalui tes Polymerase Chain Reaction (PCR), dan sebagian besar kasus hanya memerlukan isolasi mandiri selama 2-4 minggu. Pengobatan yang diberikan bersifat simptomatik, seperti penggunaan paracetamol untuk meredakan demam dan bedak untuk mengurangi gatal.
Terkait pencegahan, dr. Syahrizal menegaskan bahwa vaksinasi Mpox tidak direkomendasikan untuk masyarakat umum, melainkan untuk kelompok berisiko tinggi.
“Vaksin Mpox direkomendasikan hanya bagi mereka yang pernah kontak erat dengan penderita. Vaksin ini terbukti efektif hingga 86 persen dalam mencegah penularan, dan diberikan dalam dua dosis dengan jarak 28 hari,” jelasnya.
Meski wabah Mpox tidak diperkirakan akan menjadi pandemi global seperti COVID-19, edukasi terhadap kelompok berisiko tetap menjadi hal penting.
"Deteksi dini, akses yang mudah terhadap tes PCR, isolasi yang tepat, serta pengobatan yang efektif adalah kunci dalam mengendalikan penyebaran Mpox,” ujar dr. Syahrizal. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ferry Agusta Satrio |
Publisher | : Rizal Dani |