Prespektif ‘Kebahagiaan’ Dikalangan Anak Muda dalam Konsep Nabi
TIMESINDONESIA, MALANG – Jangan memberatkan diri dengan memikirkan perasaan orang lain agar bahagia. Benarkah? Bukanya kita hidup diajarkan untuk menjaga perasaan orang? Inilah yang jadi persimpangan saat memahami arti bahagia dikalangan anak muda saat ini.
Apa sih bahagia itu? Bahagia menurut KBBI adalah perasaan senang dan tentram atau bebas dari segala yang menyusahkan. Bahagia berdasarkan prespektif Islam adalah keadaan seseorang yang ketakwaan kepada Allah SWT berada pada tingkat maksimal, sehingga ia tidak lagi khawatir/cemas dengan kehidupan yang dijalani di dunia maupun kehidupan yang akan dijalani di akhirat, karena telah mempercayakan semuanya kepada Allah SWT. Dan dari Rasulullah SAW menjelaskan bahwa inti dari bahagia adalah bahagia bukan soal seberapa banyak materi/harta yang dimiliki, melainkan seberapa kaya hati kita untuk merasa menikmati dan mensyukuri apa yang dimiliki. “Kaya tidak diukur dengan banyaknya harta atau kemewahan dunia. Namun kekayaan adalah hati yang selalu merasa cukup.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Advertisement
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Dari beberapa definisi tersebut tentu masih banyak definisi bahagia dari sudut pandang lain. Di generasi Z atau bisa dibilang generasi stadium akhir, tidak asing mengetahui overthinking pada remaja hingga dewasa. Semakin famous menyebutkan bahwa ‘kebanyakan overthinking sehingga hidupnya tidak bahagia’. Overthinking adalah? Dikutip dari hellosehat.com overthinking merupakan keadaan dimana seseorang kebanyakan mikir, lain halnya dengan ‘Pemikir’, overthinking ini memikirkan hal-hal sepele yang seharusnya tidak dipikir berat dan seharusnya fokus bagaimana meluruskan/memperbaiki hal tersebut.
Lalu apa hubunganya dengan bahagia? Apakah berarti tidak bahagia? Definisi menjelaskan bahwa bahagia adalah bebas dari rasa susah dan cemas. Jika orang mengalami overthinking, bukan mereka tidak bahagia atau tidak bisa bahagia, namun ada butiran-butiran atau suatu perkara yang menghambat ia terlepas dari rasa cemas yang menjadi salah satu indikator bahagia. Yang dialami muda-mudi sekarang meraka lebih memikirkan ke ‘Bagaimana Kalau…(tidak bisa memenuhi keinginanya atau keinginan irang lain terhadap ia)’ ‘Bagaimana jika….(menjudge negative, tidak menerima keadaan, dll) kita’.
Terlalu memikirkan hal seperti itu membuat tidak sadar bahwa ia harus menjadi kriteria orang lain yang sebenarnya tidak cocok dengan dirinya. Sehingga siapapun itu akan merasa tidak nyaman dengan aktivitas yang dilakukannya, banyak juga yang merasa Tuhan tidak adil dan lain sebagainya, kemudian… ia akan selalu merasa kurang dengan nikmat yang dimiliki, merasa tidak cocok dengan apa yang sebenarnya mampu dilakukanya. Ya, karena nikmat/rejeki/benda-benda yang dimiliki kita berbeda dengan kebutuhan orang lain.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Dari sini muncul awareness dari anak-anak muda yang timbul dari membaca buku, mendengarkan ceramah, mengikuti seminar atau talkshow tentang selfawareness, melihat konten dari seorang ahli di media sosial, dll. Bahwa tidak perlu memikirkan judge orang lain, memikirkan penerimaan orang lain atas diri kita atau memenuhi keinginan atau kriteria orang lain. Kita perlu menerima suara-suara itu sebagai kritikan/sebagai control untuk diri kita tetapi yang perlu difokuskan kemudian adalah bagaimana kita memperbaikinya, menjadi positive people versi diri sendiri.
Sebagai seorang muslim yang meyakini tiada Tuhan selain Allah SWT, tertera jelas diserukan untuk takwa (melaksanakan segala perintahNYA dan menjauhi segala larangaNYA) maka kehidupan yang baik, tentram, nyaman, dan bahagia akan mengikutinya. Perlu adanya pelurusan terkait membuminya kesadaran bahwa untuk menjadi bahagia itu tidak perlu memikirkan orang lain. Sebagai manusia yang memiliki nilai dasar dalam menjalani hidup harus menghargai, menghormati, dan rukun hidup berdampingan satu sama lain, bukan berarti agar kita bahagia maka berbuat hal-hal yang merasa apik untuk diri sendiri tetapi tidak apik atau menyakiti untuk orang lain. Nilai-nilai dasar kehidupan manusia tetap harus ditanakmkan karena dengan menghargai, menghormati, saling tolong menolong, tidak jahat kepada sesama makhluk tidaklah menghambat kebahagiaan diri kita. Sebab, nilai-nilai itu sudah menjadi bagian dari ketakwaan kepada Tuhan.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Kukuh Santoso, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |