Forum Dosen

KDRT: Kekerasan dan Kebahagiaan dalam Hukum

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:25 | 21.34k
Enik Isnaini, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum Unisla
Enik Isnaini, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum Unisla
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Dalam kehidupan berkeluarga, rumah tangga idealnya menjadi tempat berlindung yang penuh cinta, kebahagiaan, dan keamanan bagi setiap anggota keluarga. Namun, pada kenyataannya, tidak semua rumah tangga mampu mewujudkan ideal tersebut. 

Di banyak kasus, rumah tangga justru menjadi tempat terjadinya kekerasan, yang dikenal sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Fenomena ini menjadi paradoks antara kekerasan dan kebahagiaan, terutama bila dilihat dari sudut pandang hukum.

Advertisement

Kebahagiaan dalam rumah tangga adalah kondisi yang dicapai melalui komunikasi yang sehat, kesetaraan, dan saling menghormati antar pasangan. Namun, ketika salah satu pihak dalam hubungan mengambil alih kekuasaan dan mengendalikannya melalui intimidasi, kekerasan, atau paksaan, kebahagiaan berubah menjadi penderitaan dan ketakutan.

Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, baik itu fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi, jelas bertentangan dengan nilai-nilai kebahagiaan dan kesejahteraan yang seharusnya menjadi pondasi dari setiap hubungan keluarga. Hukum, dalam hal ini, memegang peranan penting dalam melindungi individu dari kekerasan yang mengikis kebahagiaan dan hak asasi mereka.

Peran Hukum dalam Melindungi Kebahagiaan Keluarga

Hukum dibuat untuk memastikan bahwa setiap warga negara, termasuk anggota rumah tangga, dapat hidup dengan aman dan sejahtera. Dalam konteks KDRT, hukum hadir untuk melindungi korban dari kekerasan dan memastikan keadilan ditegakkan terhadap pelaku. 

Di Indonesia, misalnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah salah satu perangkat hukum yang dirancang untuk menjamin hak-hak korban dan menindak pelaku kekerasan.

Dalam sudut pandang hukum, KDRT bukan hanya masalah privat yang bisa diselesaikan secara internal oleh keluarga, melainkan menjadi masalah publik yang harus diintervensi oleh negara. Negara, melalui hukum, mengambil peran untuk memastikan bahwa kekerasan tidak dibiarkan terus terjadi di ruang domestik atas nama privasi rumah tangga. 

Hukum memberikan ruang bagi korban untuk mencari perlindungan, baik melalui pelaporan kepada pihak berwenang, pengadilan, maupun lembaga perlindungan sosial.

Dilema Kebahagiaan dalam Pengambilan Tindakan Hukum

Meskipun hukum berusaha untuk melindungi korban KDRT, tidak sedikit korban yang merasa terjebak dalam dilema antara mempertahankan kebahagiaan semu atau mengambil langkah hukum yang bisa memutus hubungan keluarga. Banyak korban KDRT merasa takut atau ragu untuk melapor karena berbagai alasan, termasuk stigma sosial, tekanan keluarga, ketergantungan finansial, atau harapan bahwa pelaku akan berubah.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan kritis: Apakah hukum, meskipun memberikan perlindungan, benar-benar mampu mengembalikan kebahagiaan korban? Dalam banyak kasus, keputusan untuk melaporkan atau tidak melaporkan KDRT sering kali dipengaruhi oleh faktor emosional dan ketakutan akan dampak jangka panjang terhadap hubungan dan keluarga.

Sudut pandang hukum terhadap KDRT adalah bahwa setiap bentuk kekerasan adalah pelanggaran hak asasi manusia dan harus dihentikan demi melindungi kesejahteraan individu. Namun, hukum juga harus memperhitungkan aspek pemulihan psikologis dan sosial korban. Kebahagiaan keluarga tidak bisa dipaksakan, terutama jika dasar hubungan tersebut penuh dengan kekerasan dan ketidakadilan.

Dalam perspektif hukum yang lebih holistik, upaya pemulihan korban KDRT tidak hanya sebatas penegakan sanksi terhadap pelaku, tetapi juga mencakup rehabilitasi psikologis bagi korban dan pembinaan bagi pelaku. Hukum harus berfungsi tidak hanya sebagai alat untuk menghukum, tetapi juga untuk memulihkan keseimbangan dalam kehidupan rumah tangga dan menciptakan kesempatan bagi korban untuk membangun kembali kebahagiaan yang hilang.

KDRT menggambarkan dua kutub yang berlawanan antara kekerasan dan kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga. Dari sudut pandang hukum, KDRT harus diatasi secara tegas karena melanggar hak-hak dasar manusia. Hukum berperan sebagai pelindung yang memastikan bahwa kekerasan tidak dapat diterima dalam ruang domestik dan setiap orang berhak untuk hidup dalam kebahagiaan dan keamanan.

Namun, tantangan tetap ada dalam pelaksanaan hukum, karena sering kali korban terjebak dalam dilema antara kebahagiaan keluarga dan mengambil tindakan hukum untuk menghentikan kekerasan. Dengan pendekatan yang holistik dan komprehensif, hukum tidak hanya dapat menghukum pelaku KDRT tetapi juga membantu memulihkan kesejahteraan dan kebahagiaan korban.

***

*) Oleh : Enik Isnaini, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum Unisla.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES